Menurutnya, perundang-undangan perlu disusun untuk menyelesaikan masalah konflik pertanahan, reforma agraria, hak atas tanah dan di bawah tanah, serta hak masyarakat hukum adat. Selain itu perlu diatur pembatasan atas tanah oleh badan hukum tertentu. “Itu yang masuk dalam substansi RUU Pertanahan,” kata Managam.
Menurut Head of Legal and Public Relation National Land Agency, Kurnia Toha, tanah harus diatur agar bisa mensejahterakan rakyat. Ada sejumlah kementerian yang berkaitan dengan pertanahan antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Pertanian. ”Perlu dikaji 624 peraturan tentang pertanahan yang masih tumpang tindih. Itu bias menghambat reformasi agraria,” katanya.
Di tempat yang sama, Pengajar Hukum Agraria Universitas Diponegoro Semarang, Nur Adhim menjelaskan, pembaruan agraria intinya berisi redistribusi tanah sekaligus menjadi landasan menuju kesejahteraan rakyat. ”Harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang memberikan kesempatan bagi para penerima tanah meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program,” tegasnya.
Nur Adhim menilai UU Pangan yang baru memberi harapan baru bahwa berkaitan dengan impor pangan baru akan dilakukan bila produksi dalam negeri tidak cukup. Oleh karena itu, kebijakan ini akan diharapkan memacu produksi dalam negeri.
”Lembaga yang berkompeten menentukan kebijakan pangan ini berupa Otoritas Tunggal langsung di bawah Presiden, yang selama ini ada beberapa lembaga yang berkompoten di bidang pangan seperti Bulog, Bappenas, BKPN Mentan akan dilakukan revitalisasi, refungsionalisasi dan redinamisasi,” kata Nur Adhim.
Guru Besar Hukum Agraria, Arie Sukanti Hutagalung menekankan harus ada ketentuan mengenai hak milik yang mengatur lembaga jual beli tanah, yang sampai saat ini masih menggunakan ketentuan hukum adat. Arie juga mengusulkan perlunya UU tentang Hak Guna Ruang Bawah Tanah. (fol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Dipecat, Yamanie Harus Diproses Hukum
Redaktur : Tim Redaksi