Ruwet Indah

Oleh: Dahlan Iskan

Minggu, 23 Juli 2023 – 07:07 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - BAGI yang suka demokrasi, inilah hiburan nyata: mengubah kota kumuh tidak harus lewat tangan besi.

Anda sudah kenal kota kumuh ini: Dharavi. Kota terkumuh di dunia. Yang jadi lokasi shooting film Slumdog Millionaire. Yang membuat petinju Mike Tyson ngotot ke situ.

BACA JUGA: Akbar Sitorus

Pekan lalu negara bagian Maharashtra membuat keputusan: Adani sebagai pemenang tender pembenahan kota kumuh Dharavi.

Satu provinsi di negara demokrasi ternyata juga bisa bikin keputusan sangat besar. Tanpa mengabaikan demokrasi.

BACA JUGA: Zaytun Sinagog

Demokrasi itu memang ruwet, amburadul dan mahal. Tetapi dengan demokrasi, Korea Selatan bisa maju.

Alasan bagi yang tidak suka demokrasi: Korsel itu beda. Korsel berubah ke demokrasi setelah level masyarakatnya masuk kelas menengah.

BACA JUGA: Wang Semah

Kini India bergerak sangat maju. Padahal sudah berdemokrasi sejak merdeka di tahun 1947. Sejak masih sangat miskin. Memang, kini pun India belum menjadi negara maju. Tetapi sudah terlihat segera ke sana.

Di awal, gerak majunya memang terasa lambat. Tetapi bergerak, bahkan gerak itu belakangan terasa kian cepat.

Kalau kota kumuh Dharavi berhasil jadi kota modern jangan lupakan para pejabat di sana. Sabar tetapi gigih. Gigih tetapi sabar. Semua proses demokrasi dijalankan dengan telaten. Mereka lalui keruwetan yang terlalu ruwet itu.

Program pembenahan kota kumuh Dharavi sudah dicanangkan sejak 1997. Tender dilakukan. Dibatalkan. Dilakukan lagi. Dibatalkan lagi.

Pemerintahan negara bagian Maharashtra silih berganti. Dengan cepat. Tidak ada partai yang pernah menang pemilu lebih 50 persen. Partai terlalu banyak. Hidup mati silih berganti. Termasuk partai lokal.

Setiap pemerintahan negara bagian selalu berbentuk pemerintahan koalisi. Lalu koalisinya pecah. Pemerintahannya pun bubar. Bentuk koalisi baru. Bubar lagi. Begitu melulu. Dari pemilu ke pemilu. Seperti pilu. Tetapi tidak.

Kota Dharavi pun kian padat. Kian kumuh. Saat ini penduduknya sekitar 800.000 orang. Sebagian besar tanpa air dan listrik. Air didapat dari kereta dorong. Atau dari selang yang silang-menyilang.

Listrik dari kabel berwarna hitam dan berstatus gelap. Saya terhibur ketika ke India. Kala itu. Waktu berangkat, saya berwajah muram: pencurian listrik di PLN, di suatu daerah, bisa 12 persen. Di India, di satu daerah, 47 persen.

Waktu itu saya juga heran. Bagaimana bisa, di kota Jakarta, pelanggan listrik 900 watt, punya dua AC di rumahnya. Sampai di India saya terhibur: lebih parah lagi.

India berubah. Perubahan terbesar akan terlihat di Dharavi ini. Kota kumuh Dharavi ibarat nila di tengah susu. Nilanya: Dharavi. Susunya: Mumbai.

Dharavi memang berada di tengah kota metropolitan Mumbai yang kian modern. Di sekitar Dharavi sudah tumbuh gedung-gedung pencakar langit. Mumbai kian jadi metropolitan.

Sekitar 40 tahun lalu Dharavi hanya sebagai kelengkapan Mumbai. Tidak terlalu timpang. Tetapi keberadaan Dharavi di tengah Mumbai sekarang dianggap merusak keindahan susu Mumbai.

Tahun 2019 terpilihlah Uddhav Balsaheb Thackeray. Ia jadi ketua menteri Maharashtra. Semacam gubernur. Partainya partai lokal: Shiv Seha.

Ia hanya mendapat 17 kursi dari 288 kursi di DPRD Maharashtra. Hanya 5 persen. Tetapi ia bisa membentuk pemerintahan. Saat itulah tender revitalisasi Dharavi dibuka lagi. Tender Internasional.

Di seleksi tahap akhir terpilih dua perusahaan. Satu dari Dubai. Satu lagi grup Adani dari India sendiri. Perusahaan Singapore, yang dulu pernah ikut tender, tidak tertarik lagi.

Dari dua itu Adani yang dimenangkan. Salah satu syarat tender adalah: setelah digusur nanti penduduk Dharavi harus mendapat rumah baru. Apartemen. Paling tidak 100 m2. Itu bisa untuk tiga kamar.

Bandingkan dengan luas rumah sederhana (RS) di Indonesia yang hanya 45 m2 dan RSS yang 27 m2.

Di sinilah proses demokrasi penting. Developer tidak bisa menekan rakyat. Padahal rumah mereka saat ini tidak bisa disebut rumah. Banyak yang bentuknya mirip kotak kardus.

Akan tetapi 800.000 penduduk itu adalah sumber suara di pemilu. Mereka punya nilai tawar di setiap pemungutan suara.

Maka developer harus menyediakan rumah bagi 70.000 rumah tangga di Dharavi.

Saking kumuhnya, Dharavi sampai jadi obyek wisata tersendiri: wisata kumuh. Wisatawan harus dalam satu grup 5 orang, tidak boleh sendirian.

Anak di bawah 5 tahun tidak boleh diajak. Tidak boleh pakai sepatu atau sandal mahal; akan lebih banyak jalan kaki, termasuk lewat lorong yang basah. Pakai sepatu kets dianjurkan.

Orang tua juga tidak boleh ikut; kursi roda tidak akan bisa berfungsi. Satu lagi: yang punya sakit jantung juga dilarang ikut. Ambulans sulit menjangkau mereka yang jantungnya mendadak bermasalah.

Begitulah pengumuman itu saya baca. Di media di Mumbai. Pemasangnya: biro perjalanan khusus wisata kumuh Dharavi.

Yang membuat Adani tertarik ikut tender adalah: kawasan Dharavi ini luasnya 259 hektare. Ia memang harus menyediakan rumah gratis sebanyak 70.000 x 100m2, tetapi ia mendapat tanah selebihnya.

Tentu, demokrasi membatasi Adani: seluruh pembangunan kawasan itu harus sesuai dengan proposal tender.

Begitu menang tender, harga saham perusahaan Grup Adani langsung naik 5 persen. Adani yang tahun lalu babak belur dikerjai spekulan pasar modal Amerika ternyata bangkit lagi. Cepat sekali.

Saya masih belum tahu bagaimana cara membuat industri kecil di Dharavi tetap hidup di metropolitan Dharavi nanti.

Di dalam kekumuhan itu kini telah berkembang industri kulit yang terkenal: tas, sepatu, jaket, ikat pinggang dan dompet. Saya pernah punya satu: entah di mana. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Durian Baret


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler