Saat Peringati Peristiwa Kudatuli, Adi Sutarwijono: PDIP Dijaga dengan Darah, Keringat dan Air Mata

Senin, 27 Juli 2020 – 22:58 WIB
Ketua DPC PDIP Surabaya (tengah) bersama pengurus lainnya menggelar diskusi daring dalam rangka Peristiwa 27 Juli 1996 atau biasa disebut "Kudatuli" di Kantor DPC PDIP Surabaya, Senin (27/7). Foto: ANTARA/HO/PDIP Surabaya

jpnn.com, SURABAYA - DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Kota Surabaya, Jawa Timur memperingati Peristiwa 27 Juli 1996 atau biasa disebut "Kudatuli", yaitu serangan terhadap Kantor DPP PDI di Jakarta yang mengakibatkan perlawanan luas di berbagai daerah.

Ketua DPC PDIP Surabaya Adi Sutarwijono, di Surabaya, Senin, mengatakan Peristiwa 27 Juli menjadi pendidikan sejarah penting bagi kaum muda khususnya kader-kader PDI Perjuangan.

“Ibu Megawati mendorong anak-anak muda bergelut dalam politik pengabdian. Maka anak-anak muda harus melek sejarah. Khususnya kita belajar bahwa kedaulatan PDI Perjuangan ini dijaga dan ditegakkan dengan darah, keringat, air mata, bahkan nyawa, termasuk dalam Tragedi 27 Juli, oleh para pejuang partai yang saat itu disebut Promeg," kata Adi.

Adi mengatakan sejarah adalah fondasi kesadaran politik yang dari sana semua kader PDIP terus berjuang membersamai rakyat dalam suka dan duka, seperti diajarkan Bung Karno dan Megawati.

Karena itu, kata dia, dalam rangka memperingati Peristiwa Kudatuli, PDIP Surabaya menggelar serangkaian kegiatan, salah satunya diskusi daring yang digelar pada Minggu (26/7). Diskusi itu menghadirkan pembicara politisi PDIP Budiman Sudjatmiko dan jurnalis Frans Padek Demon yang meliput langsung peristiwa bersejarah tersebut.

Budiman Sudjatmiko mengatakan Tragedi 27 Juli 1996 menjadi pelajaran terpenting dalam perjalanan bangsa bahwa demokrasi ditegakkan dengan harga sangat mahal, yaitu pertentangan fisik hingga pengorbanan rakyat.

"Maka kita harus menjaga demokrasi Indonesia, menjaga sekuat tenaga," ujarnya.

Peristiwa 27 Juli 1996 ditandai dengan pengambilalihan paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Diponegoro 58 Jakarta dari kepengurusan yang sah di bawah Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan massa PDI pendukung Soerjadi yang disokong oleh kekuatan negara.

Penyerbuan Kantor PDI itu merupakan puncak dari berbagai peristiwa yang mengguncang kemapanan Orde Baru, dimulai sejak Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya pada 1993.

Pemerintahan Orde Baru tidak merestui terpilihnya Megawati, sehingga rezim terus memecah belah PDI. Puncaknya, Pemerintah merestui Soerjadi menggelar kongres tandingan PDI di Medan pada Juni 1996. Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI yang direstui Pemerintah.

"Soeharto tak ikhlas Megawati memimpin PDI. Peristiwa 27 Juli adalah upaya merebut kepemimpinan PDI dari Megawati," ujar Budiman.

Menurut Budiman, Tragedi 27 Juli 1996 menjadi salah satu titik balik perlawanan rakyat dalam merebut demokrasi. "Tragedi itu bukan hanya wujud perlawanan PDI terhadap Orde Baru, tapi juga menandai gerakan rakyat bahwa demokrasi harus direbut bersama-sama," ujar Budiman.

Jurnalis Frans Padak Demon mengisahkan pengalamannya meliput langsung tragedi tersebut. Saat itu, dia adalah wartawan TV Jepang, NHK. "Pagi betul, 27 Juli, saya main tenis di Cinere. Ada pesan lewat pager yang meminta dia meliput ke Kantor PDI di Jalan Diponegoro.

"Frans segera ke Kantor PDI, kantor diserang preman dan tentara," katanya pula.

Tanpa ganti baju dan tanpa mandi, lanjut dia, bergegas menuju Jalan Diponegoro. Keringat masih membasahi tubuhnya. "Saya hanya pakai rompi khas wartawan TV," kata Frans.

Frans mencoba masuk ke Kantor PDI, tapi dicegat tentara. Dia terus berjalan, dan kemudian bertemu salah seorang petugas media Istana. Frans bertanya, sejak kapan petugas itu berada tak jauh dari Kantor PDI, yang kemudian dijawab, sejak malam.

"Saya membatin, kalau sejak semalam, berarti sudah tahu dong mau ada serangan," ujar Frans.

Suasana memanas, karena para pendukung Megawati berdatangan dan mengumandangkan yel yel "Mega Pasti Menang". Mereka kemudian berhadapan dengan tentara.

"Kami mau maju (untuk mengambil gambar) tidak bisa. Ada teman saya dipukul pakai tongkat. Saya juga mau dipukuli, tapi saya teriak kalau saya dari TVRI, akhirnya tidak jadi dipukul. Tapi kami diusir," ujarnya lagi.

Frans terus mengambil gambar bus serta ada kantor dibakar. "Kami dikejar tentara. Kami masuk kampung, disembunyikan warga. Rakyat melindungi. Itu menunjukkan rakyat sudah kesal dengan Pemerintah, dan mereka melindungi orang-orang yang melawan Orde Baru," ujarnya.(Ant/fri/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA JUGA: Mengenang Kudatuli, Pembuka Jalan Megawati ke Puncak Kekuasaan


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler