Saat Rafli Mursalim Merasa Hidupnya Terasa Sangat Hampa

Selasa, 03 Oktober 2017 – 07:02 WIB
M. Rafli Mursalim saat laga Timnas Indonesia U-19 melawan Brunei Darussalam ,13 September 2017. Foto: Dika Kawengian/Jawapos

jpnn.com - Rafli Mursalim merupakan pemain Timnas Indonesia U-19 yang menghabiskan masa remajanya di pondok pesantren.

Meraih prestasi sebagai top scorer Liga Santri 2016, karirnya di dunia sepak bola akhirnya moncer.

BACA JUGA: Berbagi Ilmu dengan Santri, Moeldoko Belajar Filsafat Ngalah

SIDIK MAULANA TUALEKA, Jakarta

PAPAN nama pondok pesantren itu terlihat sudah usang. Tulisan nama pesantren Al Asy’ariyah dengan warna abu-abu pun sudah pudar dimakan usia.

BACA JUGA: Para Pemain Timnas Indonesia U-19 Hari Ini Kumpul di Bekasi

Bila tidak jeli, mereka yang pertama datang ke sana bakal sulit menemukan pondok pesantren di Jalan Raya Mauk, Sukadiri, Kabupaten Tangerang, Banten, itu.

Akses ke dalam harus melewati jalan setapak sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil. Ada tiga bangunan yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan papan nama di halaman depan.

BACA JUGA: Kalah Besar, Begini Kata Pelatih Myanmar

Di gedung bertingkat tiga itu, ada beberapa ruangan yang mulai rusak. Dari kaca jendela yang pecah separo hingga plafon atap kelas yang nyaris ambrol.

Rumput pun seperti sengaja dibiarkan tumbuh liar di pekarangan yang mengelilingi lapangan kecil di halaman.

Beberapa langkah dari situ, ada dua kamar mandi berbahan plastik yang sudah terlihat rusak di sana sini. Ada yang pintunya tidak lagi utuh sampai dindingnya miring separo.

Meski begitu, bangunan utama masih terlihat bagus lantaran baru dicat saat menyambut Agustusan lalu.

Saat Jawa Pos memasuki pekarangan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Asy’ariyah sore itu (25/9), suasana religius terasa sangat kental.

Sejumlah santri dengan berbusana serbahitam duduk berbaris rapi. Masing-masing memegang Alquran sembari melantunkan ayat suci.

Sejak dua tahun terakhir, Rafli Mursalim, striker timnas U-19, memutuskan belajar dan memperdalam ilmu agama di ponpes tersebut.

Rafli menjelaskan, ada banyak alasan yang membuatnya memutuskan menghabiskan masa-masa remajanya di ponpes.

Selain orang tua, Rizal Kulle dan Rita Anggraini, yang memutuskan berpisah, sepak bola tanah air yang kala itu sempat dibekukan FIFA juga menjadi penyebab.

Padahal, saat itu Rafli sedang semangat-semangatnya belajar sepak bola di SSB Villa 2000 Jakarta.

”Saat itu hidup saya terasa sangat hampa. Jadi, keinginan kuat untuk belajar agama pun muncul dari dalam hati,” kata pencetak gol terbanyak di Liga Santri 2016 itu.

”Jadi, pas ada teman yang ngajak mondok untuk memperdalam ilmu agama di pesantren, saya langsung iyakan saja,” tambahnya.

Selama mondok, pria kelahiran Jakarta, 3 Maret 1999, itu mengaku jalan hidupnya semakin terbuka. Hatinya yang dulu bimbang dalam pencarian jati diri mulai lebih tenang dalam mengarungi hidup.

”Dulu sebelum ke pesantren saya gampang emosi. Alhamdulillah, saat ini semua mulai berubah,” ungkap Rafli.

Apalagi, selain memperdalam ilmu agama, ponpes yang memiliki 150 santri dari berbagi pelosok Nusantara itu juga sangat mendukung karirnya sebagai pemain bola.

Sebab, sang kiai, Mahrusillah, juga memiliki hobi bola. Bila ada waktu luang, Kiai Mahrus, sapaan akrab sang kiai, mengajak santrinya bermain bola di lapangan kecamatan. Tiga kali dalam sepekan.

Berkat sering latihan bareng yang berawal dari hobi tersebut, mereka berhasil melambungkan nama ponpes yang didirikan almarhum KH Ahmad Syukri Asy’ari pada 1967 itu.

Ya, momentum emas itu mereka dapatkan saat Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi menggelar Liga Santri secara nasional pada 2016.

Ketika itu Rafli dan kawan-kawan berhasil lolos ke babak semifinal dan akhirnya membawa pulang peringkat ketiga.

Rafli yang sudah berpengalaman menimba ilmu di SSB Villa 2000 sejak berusia lima tahun itu juga sukses menyabet gelar individu dengan menjadi pencetak gol terbanyak dengan 15 gol.

Berkat kualitas individunya tersebut, sulung di antara dua bersaudara tersebut lantas direkomendasikan Menpora ke pelatih Indra Sjafri yang waktu itu sedang mencari pemain untuk berlaga di Piala AFF U-19 di Myanmar September lalu.

”Karena saya menjadi pencetak gol terbanyak di Liga Santri dan usia saya masih cukup, saya disuruh ikut seleksi oleh Pak Menteri. Dan alhamdulillah, berkat doa dan kerja keras, saya berhasil lolos seleksi,” imbuh Rafli.

”Tapi, saya belum puas sampai di sini. Karena saya ingin bermain di timnas senior dan klub besar tanah air,” harap fans berat Manchester United itu.

Meski besar di pesantren, dia masih ingin terus bermain bola. Sebab, menjadi pemain bola profesional adalah melanjutkan cita-cita lama ayahnya yang tertunda.

Saat masih muda, Rizal, ayah Rafli, adalah pemain PSM Makassar Junior dan beberapa kali mengikuti seleksi timnas meski gagal.

Karena itu, saat menyaksikan Rafli membela tim Garuda Nusantara di Piala AFF U-19 di Myanmar beberapa pekan lalu, ayahnya sangat senang bercampur haru.

Apalagi, dalam event tersebut, pengagum striker Barcelona Luis Suarez itu berhasil menyumbangkan enam gol bagi timnas U-19.

Tak pelak, saat kembali dari Myanmar, sang ayah langsung menyiapkan pesta di rumah untuk menyambut sang ”pahlawan keluarga” tersebut. Para teman sesama mantan pemain, keluarga, dan tetangga diundang.

”Rumah jadi penuh terus oleh tamu. Banyak yang berdatangan kasih selamat,” ujar Rafli yang ngebet bermain di Persija dan PSM Makassar itu.

Menurut Kiai Mahrus, selama Rafli dan kawan-kawan bertarung di Myanmar, dirinya selalu mengajak para santri untuk memberikan dukungan doa dari jauh.

Misalnya, bersalawat dan membaca surah Yasin saat pertandingan sedang berlangsung. ”Jadi, kami keluarkan televisi di teras dan semua nonton bareng di luar sambil berdoa,” ujar kiai 40 tahun itu.

Pria yang sepuluh tahun menimba ilmu di Ponpes Tebuireng, Jombang, tersebut memang sengaja mengambil jalan olahraga untuk berdakwah. Salah satunya lewat sepak bola dan pencak silat.

Dengan begitu, hampir semua santrinya memiliki kemampuan di dua cabang olahraga itu. Uniknya, ayah lima anak tersebut tidak meminta sepeser pun biaya dari para santri yang mondok di sana.

Padahal, selain mereka yang memiliki bakat olahraga seperti Rafli, tidak sedikit santri yang berlatar belakang korban penyalahgunaan narkotika yang butuh penanganan khusus selama berada di sana.

”Semua saya gratiskan. Jadi, kalau saya makan nasi jagung, ya semua santri juga makan nasi jagung. Semua sama,” ujar Kiai Mahrus.

Lantas, dari mana dana untuk membiayai santri sebanyak itu? ”Alhamdulillah, rezeki selalu saja datang. Meski tidak banyak, tapi selalu cukup bagi kami,” ungkapnya. (*/c10/oki)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Egy Maulana Vikri Memang Sangat Berpengaruh


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler