jpnn.com - SEJAK dini, anak harus diajari mengenal jenis kelaminnya maupun tentang gender. ’’Merunut pada teori perkembangan psikososial Freud, usia 2–3 tahun adalah masa yang paling krusial untuk si anak belajar tentang jenis kelamin,’’ ungkap Srisiuni Sugoto PhD, psikolog senior bidang psikologi perkembangan.
Pada usia itu, anak sedang melalui fase ketiga, yakni fase phallic. Saat itu, kesenangan dan permasalahan anak berpusat pada sekitar alat kelamin. Anak mencari dan menemukan bahwa manipulasi diri bisa membawa kenikmatan.
BACA JUGA: Ini Lhooo...Cara Mandi yang Menyenangkan buat Si Kecil
Tak heran, pada fase itu, anak sering memegang kelaminnya. Mereka juga mulai heran pada anatomi yang berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan, terhadap asal usul bayi, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan seks.
Orangtua bukannya harus membuat hal itu menjadi tabu dengan buru-buru memukul tangan anak saat memegang kelamin. Atau, menghindar saat banyak pertanyaan muncul dengan alasan ’’jorok’’. Pendidikan seksual pertama justru paling bagus datang dari orang tua.
BACA JUGA: Tips Merawat Kulit di Musim Panas
Srisiuni menyarankan, pada usia 2–3 tahun, anak sesekali diajak mandi bersama bunda, kemudian juga sesekali bersama ayah.
’’Saat mandi diberi tahu. Adik kalau punya penis berarti adik laki-laki sama seperti ayah. Bunda tidak punya karena bunda perempuan. Beri tahu juga anatomi yang lain,’’ jelas wakil dekan I Fakultas Psikologi Ubaya tersebut.
BACA JUGA: Guys, Ini Cara Cepat Hapus Noda Haid Pada Underwear
Penyampaian harus pelan-pelan dan menyenangkan sesuai dengan dunia anak. Niatnya memang mengenalkan, bukan berpikiran porno. ’’Jadi, nggak perlu tersipu-sipu orang tuanya,’’ ujar Srisiuni.
Ketika anak punya pertanyaan lanjutan, orang tua bebas menjawab dengan sebenarnya. Sambil mengenalkan, pada masa itu anak juga dibiasakan mengenal boleh dan tidaknya mengumbar area-area pribadi. Saat anak suka memegang kelamin, mereka tidak perlu dikagetkan dengan dimarahi. Tapi, coba alihkan dengan kegiatan menyibukkan tangan yang lain.
’’Kita lihat juga pada teori Erikson. Pada usia itu, mereka sedang masuk fase inisiatif, mencoba segala macam yang baru dan banyak bertanya. Manfaatkan untuk mengajarkan banyak hal,’’ ungkap Srisiuni menyarankan.
Sementara itu, gender adalah hal yang berbeda dengan jenis kelamin. Sifatnya bukan biologis, namun lebih pada aspek nonfisiologis seks serta harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas. Feminin dilekatkan dengan perempuan dan maskulin pada laki-laki. Keduanya seolah-olah mutlak terpisah.
Padahal, bila ditarik garis kepribadian, ujung yang satu feminin dan ujung lainnya maskulin, tengahnya disebut androgyn. Jadi, sesungguhnya kepribadian manusia adalah kombinasi.
’’Justru, kebanyakan orang yang survive dan sukses dalam hidupnya adalah androgyn. Artinya, dia bisa menempatkan diri. Dia menyesuaikan sisi feminin maupun maskulin pada saat-saat yang dibutuhkan,’’ jelasnya.
Bagaimana mengenalkan hal itu tanpa terjebak stigma yang salah? Pertama, orang tua harus melepaskan diri dari pikiran bahwa warna, permainan, hingga profesi terkotak-kotak pada jenis kelamin.
Bila suka warna pink, tanyakan apakah dia suka warna cerah. Tawarkan warna cerah yang lain dan alasannya. Perlihatkan profesi yang juga bisa dikerjakan laki-laki dan perempuan karena figur model konkret itu penting.
’’Hindarkan memberikan penguatan. Anak lelaki bisa suka dandan karena melihat sekitarnya dandan, lalu malah dipuji lucu. Itu tidak baik. Akan tertanam dalam dirinya,’’ ungkapnya. Karena itu, faktor lingkungan juga perlu diperhatikan. (puz/c5/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kesehatan Gigi Ternyata Berhubungan Erat dengan Ereksi, Ini Sebabnya
Redaktur : Tim Redaksi