KUPANG - Sudah jatuh, tertimpa tangga, tertimpa cat pula. Mungkin pepatah ini cocok dilekatkan pada para penyintas atau korban pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah NTT, periode 1965-2005. Betapa tidak, dari sejumlah kesaksian yang diungkapkan para saksi, banyak kekerasan, baik fisik dan psikis susulan yang dialami pasca mereka menjadi korban pelanggaran HAM. Bahkan berujung pada kematian.
Dalam kegiatan Dengar Kesaksian para korban kasus pelanggaran HAM yang berlangsung di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Sabtu (27/4), sejumlah saksi tragedi pembantaian 1965 mengungkap berbagai kekerasan yang mereka alami, bahkan hingga keturunan kedua dan ketiga.
Beberapa saksi yang berhasil dihadirkan dalam kegiatan tersebut, misalnya, tragedi 1965, masing-masing korban dari Kupang Timur, Kota Kupang, Alor, Sumba Timur dan Amanuban Selatan (TTS) serta Sabu Raijua. Sementara saksi lain dari Sabu Raijua juga mengurai tentang ibu kandungnya yang menjadi korban akibat program Susuk (KB) tahun 1992 lalu. Selain saksi anak korban tragedi 1965, ada pun kesaksian dari beberapa ibu yang merupakan isteri dari para korban pembantaian. Ada pula dua saksi yang mengurai kehidupan kelam mereka sebagai pengungsi tragedi pengungsi Timor Leste.
Dari Alor misalnya, saksi yang namanya tidak ingin dikorankan, berkisah tentang ayah kandungnya yang ikut menjadi korban pembantaian karena dituduh mendukung warga yang juga dituduh sebagai anggota PKI. Tidak hanya ayahnya yang dibantai, keluarga mereka juga ikut menjadi korban stigmatisasi dari masyarakat. Cap sebagai "anak PKI" selalu dilekatkan pada mereka. Bahkan untuk mencari pekerjaan pun dicegah karena memikul stigma tersebut.
"Ketika saya mulai pelayanan sebagai seorang vikaris, ada yang menulis secara jelas di tembok gereja, "anak PKI ko bisa menjadi pendeta atau pendeta anak PKI". Betapa hal itu membuat saya begitu kecewa dan hampir membuat saya berhenti mengejar impian saya untuk menjadi pendeta," kisah saksi tersebut.
Tidak hanya tragedi 1965 yang memakan korban pelanggaran HAM. Kasus eksploitasi sumber daya alam di Mollo Utara kabupaten TTS juga menyimpan cerita pilu dari para korbannya. Salah satunya, yakni Ibu Aleta Baun yang baru saja menerima penghargaan Goldman Inveronmental Prize 2013 pertengahan April lalu. Aleta Baun yang hadir pada kesempatan itu mengisahkan, pada tahun 1990-an, dirinya mengorganisir warga untuk menentang pertambangan batu marmer di GUnung Anjaf Nausuus di wilayah Mollo Utara saat itu. Perjuangannya dilakukan dengan cara mengumpulkan kekuatan dengan masyarakat. Bahkan dengan berjalan kaki berkilo-kilometer di tengah hutan dan bersembunyi di tengah hutan karena menjadi target kekerasan preman-preman yang dibayar oleh perusahaan tambang tersebut.
"Kami berjuang untuk pertahankan alam yang terdiri dari tanah, batu, air dan hutan yang menjadi sumber kehidupan kami. Jadi ketika itu saya selalu diincar untuk dibunuh oleh preman-preman yang dibayar oleh pengusaha tambang. Tapi saya tetap bertahan, bahkan saya harus bersembunyi di hutan dan jarang pulang rumah. Sehingga saya dituduh punya laki-laki lain karena sering keluar. Tapi kami terus mengumpulkan kekuatan melalui kelompok masyarakat adat sehingga kami berhasil menghentikan penambangan marmer di sana," kisah Aleta Baun.
Menanggapi sejumlah kesaksian tersebut, Dr.John Mansford Prior, SVD dari Psat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya, Wairklau, Maumere mengungkapkan, kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah NTT termasuk dalam terorisme. Bahkan kata "kekerasan" pun menurut dia belum mampu mengungkapkan apa yang dialami para penyintas. Pasalnya, akibat dari kekerasan tersebut, penyintas kehilangan lokasi kehormatan dalam masyarakat. Mereka dijauhi dan disingkirkan oleh keluarga sendiri, oleh kenalan dan warga sekampung. Malah tiadk jarang mereka dikutuk pimpinan gereja.
"Jadi kekerasan membawa kematian sosial yang bisa membawa derita lebih payah dari penyakit fisik kronis. Anda mengalami keterasingan karena tidak ada tempat terhormat lagi dalam keluarga, kampung, sekolah, tempat kerja atau tanah leluhur. Hemat saya, kata "kekerasan" belum mampu mengungkapkan apa yang dialami para ibu dan bapa penyintas. Yang anda derita tidak lain dan tidak bukan terorisme, malah terorisme negara," tandas John.
Dia menambahkan, stigmatisasi (PKI) terhadap para korban atau keluarga korban bahkan digambarkan sebagai polusi yang mencemarkan keluarga, masyarakat dan gereja. Menurut dia, walau PKI dan GERWANI adalah organisasi massa yang saat, legal dan terdaftar. Namun siapa saja yang dituduh menjadi anggota organisasi tersebut ditindak di luar hukum. Malah dianggap melanggar hukum, bersalah, berdosa atau orang kriminal.
"Stigma PKI dan GERWANI dianggap cukup untuk menyeret para korban ke luar jalur hukum dan alasan kuat untuk dijauhi oleh keluarga dan masyarakat umum. Martabat para korban dan penyintas dilukasi, mereka mengalami proses dehumanisasi dan karena itu musah dilecehkan," ungkapnya lagi.(mg9)
Dalam kegiatan Dengar Kesaksian para korban kasus pelanggaran HAM yang berlangsung di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Sabtu (27/4), sejumlah saksi tragedi pembantaian 1965 mengungkap berbagai kekerasan yang mereka alami, bahkan hingga keturunan kedua dan ketiga.
Beberapa saksi yang berhasil dihadirkan dalam kegiatan tersebut, misalnya, tragedi 1965, masing-masing korban dari Kupang Timur, Kota Kupang, Alor, Sumba Timur dan Amanuban Selatan (TTS) serta Sabu Raijua. Sementara saksi lain dari Sabu Raijua juga mengurai tentang ibu kandungnya yang menjadi korban akibat program Susuk (KB) tahun 1992 lalu. Selain saksi anak korban tragedi 1965, ada pun kesaksian dari beberapa ibu yang merupakan isteri dari para korban pembantaian. Ada pula dua saksi yang mengurai kehidupan kelam mereka sebagai pengungsi tragedi pengungsi Timor Leste.
Dari Alor misalnya, saksi yang namanya tidak ingin dikorankan, berkisah tentang ayah kandungnya yang ikut menjadi korban pembantaian karena dituduh mendukung warga yang juga dituduh sebagai anggota PKI. Tidak hanya ayahnya yang dibantai, keluarga mereka juga ikut menjadi korban stigmatisasi dari masyarakat. Cap sebagai "anak PKI" selalu dilekatkan pada mereka. Bahkan untuk mencari pekerjaan pun dicegah karena memikul stigma tersebut.
"Ketika saya mulai pelayanan sebagai seorang vikaris, ada yang menulis secara jelas di tembok gereja, "anak PKI ko bisa menjadi pendeta atau pendeta anak PKI". Betapa hal itu membuat saya begitu kecewa dan hampir membuat saya berhenti mengejar impian saya untuk menjadi pendeta," kisah saksi tersebut.
Tidak hanya tragedi 1965 yang memakan korban pelanggaran HAM. Kasus eksploitasi sumber daya alam di Mollo Utara kabupaten TTS juga menyimpan cerita pilu dari para korbannya. Salah satunya, yakni Ibu Aleta Baun yang baru saja menerima penghargaan Goldman Inveronmental Prize 2013 pertengahan April lalu. Aleta Baun yang hadir pada kesempatan itu mengisahkan, pada tahun 1990-an, dirinya mengorganisir warga untuk menentang pertambangan batu marmer di GUnung Anjaf Nausuus di wilayah Mollo Utara saat itu. Perjuangannya dilakukan dengan cara mengumpulkan kekuatan dengan masyarakat. Bahkan dengan berjalan kaki berkilo-kilometer di tengah hutan dan bersembunyi di tengah hutan karena menjadi target kekerasan preman-preman yang dibayar oleh perusahaan tambang tersebut.
"Kami berjuang untuk pertahankan alam yang terdiri dari tanah, batu, air dan hutan yang menjadi sumber kehidupan kami. Jadi ketika itu saya selalu diincar untuk dibunuh oleh preman-preman yang dibayar oleh pengusaha tambang. Tapi saya tetap bertahan, bahkan saya harus bersembunyi di hutan dan jarang pulang rumah. Sehingga saya dituduh punya laki-laki lain karena sering keluar. Tapi kami terus mengumpulkan kekuatan melalui kelompok masyarakat adat sehingga kami berhasil menghentikan penambangan marmer di sana," kisah Aleta Baun.
Menanggapi sejumlah kesaksian tersebut, Dr.John Mansford Prior, SVD dari Psat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya, Wairklau, Maumere mengungkapkan, kasus kekerasan atau pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah NTT termasuk dalam terorisme. Bahkan kata "kekerasan" pun menurut dia belum mampu mengungkapkan apa yang dialami para penyintas. Pasalnya, akibat dari kekerasan tersebut, penyintas kehilangan lokasi kehormatan dalam masyarakat. Mereka dijauhi dan disingkirkan oleh keluarga sendiri, oleh kenalan dan warga sekampung. Malah tiadk jarang mereka dikutuk pimpinan gereja.
"Jadi kekerasan membawa kematian sosial yang bisa membawa derita lebih payah dari penyakit fisik kronis. Anda mengalami keterasingan karena tidak ada tempat terhormat lagi dalam keluarga, kampung, sekolah, tempat kerja atau tanah leluhur. Hemat saya, kata "kekerasan" belum mampu mengungkapkan apa yang dialami para ibu dan bapa penyintas. Yang anda derita tidak lain dan tidak bukan terorisme, malah terorisme negara," tandas John.
Dia menambahkan, stigmatisasi (PKI) terhadap para korban atau keluarga korban bahkan digambarkan sebagai polusi yang mencemarkan keluarga, masyarakat dan gereja. Menurut dia, walau PKI dan GERWANI adalah organisasi massa yang saat, legal dan terdaftar. Namun siapa saja yang dituduh menjadi anggota organisasi tersebut ditindak di luar hukum. Malah dianggap melanggar hukum, bersalah, berdosa atau orang kriminal.
"Stigma PKI dan GERWANI dianggap cukup untuk menyeret para korban ke luar jalur hukum dan alasan kuat untuk dijauhi oleh keluarga dan masyarakat umum. Martabat para korban dan penyintas dilukasi, mereka mengalami proses dehumanisasi dan karena itu musah dilecehkan," ungkapnya lagi.(mg9)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kijang Meledak, 2 Tentara Tewas Terbakar
Redaktur : Tim Redaksi