Sambut ASEAN Open Sky, Garuda Berbenah

Rabu, 04 April 2012 – 15:59 WIB
JAKARTA – Di Asia Tenggara, pasar penerbangan Indonesia diklaim merupakan yang terbesar. Dengan asumsi pertumbuhan 11-12 persen per tahun, jumlah penumpang diperkirakan mencapai 100 juta pada tahun 2015 ketika ASEAN Open Sky diterapkan.

"Potensi pasar yang amat besar ini membuat Indonesia menjadi incaran maskapai asing. Kami terus berbenah karena saat ASEAN Open Sky diterapkan, persaingan akan semakin ketat," kata Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar di Jakarta.

Menurutnya, pesaing terkuat ketika ASEAN Open Sky diterapkan, yakni kehadiran maskapai-maskapai asing berkelas dunia seperti Singapore Airlines, Thai Airways, dan Malaysia Airlines, juga maskapai bertarif rendah atau low cost seperti AirAsia, Tiger Airways, dan Jetstar.

"Maskapai-maska pai ini, baik yang full service maupun low cost, sudah diakui dunia dengan sejumlah penghargaan yang diperolehnya. Inilah saingan kita pada saat Open Sky nanti," tutur Emirsyah.

Untuk menghadapi persaingan itu, Garuda berencana membeli 194 pesawat hingga 2015. Rinciannya, 50 pesawat untuk Citilink dan 144 untuk Garuda. Selain itu, Garuda terus meningkatkan keamanan dan kenyamanan penerbangan. "Kami menggandeng Eropa, Belanda, dan Singapura dalam hal pengaturan soal keamanan penerbangan sesuai standar yang berlaku," jelasnya.

Emirsyah mengakui, persaingan di tingkat ASEAN akan membuat maskapai nasional kerja ekstra. Sebab infrastruktur bandara-bandara di tanah air belum siap dan komponen biaya bahan bakar avtur yang lebih mahal hingga 10 persen.

Oleh karena itu, ketua umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) ini mengingatkan, saat ASEAN Open Sky pada 2015, pemerintah harus menyiapkan daya saing terkait harga bahan bakar avtur, kesiapan infrastruktur, serta keseimbangan dengan negara ASEAN.  "Jangan sampai kita susah masuk ke negara lain, tetapi mereka gampang ke sini," tuturnya.

Terkait daya saing, Emirsyah menjelaskan, harga avtur di Indonesia lebih mahal 8-10 persen ketimbang bahan bakar di luar negeri. Hal ini karena banyaknya tambahan komponen biaya avtur seperti distribusi hingga ke timur Indonesia, sedangkan jumlah yang didistribusikan lebih sedikit, juga adanya konsesi di bandara.

"Biaya bahan bakar ini menyumbang 35-40 persen dari total biaya maskapai per tahun. Ini perlu diperhitungkan oleh pemerintah jika ingin industri penerbangan nasional tidak kalah bersaing dengan penerbangan asing," jelasnya. (dri)
BACA ARTIKEL LAINNYA... JSMR Lepas Treasury Stock

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler