Sang 'Profesor' Menyesal tak Bisa Berbahasa Inggris

Kamis, 24 November 2016 – 00:56 WIB
Lasiyo saat ditemui di kediamannya di Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, Sabtu (5/11/2016). FOTO: FOLLY AKBAR/JAWAPOS

jpnn.com, BANTUL - IDE Lasiyo membudidayakan pisang di dusunnya membawa kesejahteraan bagi warga. Kesuksesannya menemukan pupuk-pupuk nabati membuat peneliti dari berbagai negara kerap menemuinya.

FOLLY AKBAR, Bantul

BACA JUGA: Rencana Pemugaran Taman Nasional Botanik Australia

Memasuki Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Jogjakarta, aura sejuk langsung terasa.

Deretan pohon pisang yang berjejer rapi di halaman-halaman rumah warga membuat pemandangan di dusun tersebut jadi hijau.

BACA JUGA: Tanaman Ghat Ala Raffi Ditanam Bebas di Bogor

Ribuan pohon pisang yang tumbuh berdekatan itu membuat rumah-rumah warga terkesan nyempil di antara pohon bernama Latin Musa paradisiaca tersebut.

”Rata-rata setiap KK (kepala keluarga) di sini punya seratus pohon pisang di halaman rumahnya,” kata Lasiyo Syaifuddin saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Dusun Ponggok, Desa Sidomulyo, Sabtu (5/11).

Lasiyo, yang kini berusia 61 tahun, merupakan inisiator di balik perubahan wajah dusun yang hanya berjarak 3 kilometer dari pantai selatan Jawa itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, dusun yang memiliki 300 KK tersebut telah menjelma menjadi ”hutan” pohon pisang.

Namanya terkenal sebagai simbol kesuksesan pertanian di Tanah Mataram, sebutan Daerah Istimewa Jogjakarta.

Menurut Lasiyo, gagasan menanam pisang secara masal di dusunnya itu dimulai pada awal 2007. Tepatnya beberapa bulan setelah gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang meluluhlantakkan Bantul dan daerah-daerah sekitarnya.

Nah, di tengah berserakannya puing-puing bangunan yang tersisa di dusunnya, Lasiyo merasa sedih dan terpanggil untuk membantu warga yang menjadi korban.

Selain rumahnya rata dengan tanah, banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Belum lagi, tidak sedikit yang meninggal atau mengalami luka parah.

 ”Saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk membantu para korban,” kata pria kelahiran 17 Juli 1955 tersebut.

Setelah mempertimbangkan beberapa usul, pilihan akhirnya jatuh pada fokus menanam pohon pisang. Pilihan itu diambil bukan tanpa alasan. Selain mudah ditanam, pohon pisang relatif cepat dapat dipanen.

Dengan fakta-fakta tersebut, pemberdayaan pohon pisang di rumah-rumah warga dirasa cocok untuk menambah penghasilan keluarga.

Kebetulan, sebagian besar warga memiliki lahan produktif di sekitar rumahnya. ”Jika pohon pisang yang ditanam banyak, tiap minggu atau bulan ada yang bisa dijual. Dan itu berarti pendapatan bagi warga,” kata Lasiyo.

Mantap dengan alasannya, Lasiyo lantas meminta restu lurah setempat. Tujuannya, pengadaan bibit pohon pisangnya bisa difasilitasi.

Kebetulan pula, ada dana yang dialokasikan untuk membangun daerah-daerah yang menjadi korban gempa. Saat itu, untuk satu bibit, kelurahan memberikan bantuan Rp 5.000.

Meski tidak memiliki keahlian di bidang tanaman pisang, Lasiyo nekat mempromosikan gerakan tanam pisang itu kepada warga dusun. Memang tidak banyak varietas pisang yang ditawarkan ke warga.

Misalnya pisang pulut, klutuk, kepok, ambon, byok, raja, dan uter. ”Dulu istilahnya sak olehe (sedapatnya saja, Red),” kenangnya.

Untung, niat baiknya tersebut disambut antusias oleh warga. Satu demi satu KK menyeriusi tanaman pisang di halaman rumah masing-masing. Untuk memudahkan koordinasi dan konsolidasi, warga kemudian membentuk kelompok tani (poktan) yang dinamai Puspita Hati.

Poktan itu berperan mencarikan jalan keluar bagi masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Mulai soal hama, pemupukan, hingga pemasaran pisang setelah dipanen.

Dalam masalah pemberantasan hama, sepak terjang Lasiyo patut diacungi jempol. Sebab, dialah yang memelopori pembuatan obat khusus hama dari berbagai ramuan organik.

Selain bisa membasmi hama, ramuan tersebut mampu menggenjot kualitas pisang yang dihasilkan.

Siapa sangka, pria jebolan kejar paket B (setara SMP) itu mampu menghasilkan pestisida pertanian yang berkualitas. Di antaranya pestisida nabati yang bisa membuat bonggol pisang sehat dan bebas hama.

Juga ada ramuan perangsang tumbuh kembang pohon pisang yang sanggup memotong masa pembibitan dari empat bulan menjadi dua bulan.

Penemuan ramuan perangsang tanaman itu terbilang cukup unik. Bukan dari buku-buku ilmiah, ide tersebut lahir dari eksperimennya yang berbau spekulatif.

Lasiyo memadukan bawang merah dan kucai sebagai bahan ramuan. Dia sempat menguji coba ramuannya itu di tanaman lain. ”Saat mencangkok pohon melinjo, yang saya olesi (ramuan itu) dalam 1,5 bulan sudah keluar akarnya. Sedangkan yang tidak saya olesi baru keluar enam bulan kemudian,” jelas mantan buruh toko bangunan tersebut.

Tak ingin sukses sendiri, ramuan itu dia bagikan kepada warga di dusunnya. Belakangan Lasiyo juga mulai memproduksi ramuannya tersebut untuk dijual umum.

”Biasanya awalnya mereka saya kasih dulu. Saya tidak mau memaksa orang untuk membeli. Baru setelah cocok, biasanya mereka mau membeli.”

Seiring berjalannya waktu, Lasiyo mulai mendatangkan varietas-varietas pisang lainnya dari berbagai tempat.

Khususnya pisang-pisang lokal Indonesia. Tujuannya, bisa ikut menjaga varietas pisang-pisang lokal itu dari kepunahan.

Saat ini terdapat 18 varietas pisang yang tumbuh subur di Dusun Ponggok. Antara lain raja bagus, raja bulu, raja sere, raja jengkel, kapok kuning, ambon kuning, ambon lumut, raja pulut, raja kidang, kojo atau pisang susu, raja sewu, pulut, klutuk, mas kirana, gabu atau koprek, byok, dan pisang moro sebo.

Nah, dari varietas-varietas tersebut, raja bagus menjadi pisang unggulan Dusun Ponggok. Rasanya yang manis dan dagingnya yang besar serta tidak berbiji membuat nilai jualnya tinggi.

Satu tandan pisang raja bagus bisa dihargai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. ”Lumayan kan buat tambahan penghasilan warga,” tuturnya.

Tak ingin selesai sampai di situ, Lasiyo juga berhasil menemukan cara baru pemanfaatan pohon pisang. Bonggol pisang yang biasanya dibiarkan membusuk setelah ditebang disulapnya menjadi kerupuk. ”Tapi, belum banyak warga yang membuat (kerupuk bonggol pisang, Red). Baru sekitar enam orang,” kata bapak dua anak tersebut.

Belakangan, yang dilakukan Lasiyo selama ini tidak hanya berguna bagi warga di dusunnya. Keberhasilan dia menggerakkan warga membudidayakan pohon pisang menarik perhatian banyak pihak.

Antara lain para peneliti asing yang mengunjungi Dusun Ponggok untuk ”ngangsu kaweruh” langsung kepada Lasiyo.

Para peneliti yang pernah menemuinya berasal dari Australia, Thailand, Belanda, Jepang, Afghanistan, hingga Italia.

”Mereka rata-rata penasaran dengan budi daya pisang di dusun ini dan soal pupuk organiknya. Mereka juga takjub melihat dusun ini yang rimbun dengan pohon pisang,” jelas dia.

Puncaknya terjadi ketika Lasiyo diundang untuk menghadiri konferensi para peneliti dari 70 negara di Italia September lalu.

Dalam konferensi itu, Lasiyo diminta mempresentasikan temuan-temuannya dalam pembudidayaan pohon pisang yang ”di luar ilmiah”, tapi sangat sukses tersebut.

Melalui video yang dipersiapkan empat bulan, ratusan peneliti itu menyimak dengan serius yang dikerjakan Lasiyo selama ini.

Namun sayang, di balik kebanggaannya sebagai ”profesor” pisang di forum internasional tersebut, ada satu hal yang membuat Lasiyo menyesal.

”Saya tidak bisa bahasa Inggris. Sehingga, kalau ada peserta yang nanya sesuatu, penerjemah saya yang menjawab. Pasti jawabannya jadi kurang memuaskan. Terus terang, saya menyesal sampai sekarang,” ungkapnya. (*/c9/ari/sam/jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
pisang   Bantul   pohon pisang   Tanaman  

Terpopuler