jpnn.com - Muhamad Gunawan mengidap kanker nasofaring stadium empat. Dia sudah menyiapkan kado istimewa untuk hadiah ulang tahunnya.
Ogun, sapaan akrabnya, akan menaklukkan puncak Gunung Everest setinggi 8.848 meter di atas permukaan laut.
BACA JUGA: Demi Tujuan Mulia, DJ Ini Gelar Party di Gunung Everest
JUNEKA SUBAIHUL MUFID, Jakarta
Keinginan Muhamad Gunawan untuk menaklukkan puncak Gunung Everest itu baru terpikirkan pada Januari lalu.
BACA JUGA: Awas, Toilet Umum Berpotensi Tularkan Kanker Serviks
Ide agak gila tersebut muncul saat Ogun sudah merasa bisa bertahan dari kanker nasofaring stadium empat yang mendera. Dia berpikir hidup sekali harus punya arti.
”Saat ide itu munucul, saya sudah bisa naik gunung lagi. Tahun baru lalu saya naik Semeru,” ujar Ogun Rabu pekan lalu (5/4).
BACA JUGA: Obesitas di Usia Remaja Meningkatkan Potensi Kanker
Pria kelahiran Jakarta, 24 Maret 1958, itu pernah mengalami masa-masa sulit dengan vonis kanker nasofaring.
Penyakit berbahaya yang menyerang hidung (naso) hingga tenggorokan (faring) itu bisa mengancam jiwanya. Apalagi, kanker tersebut sudah masuk stadium empat, sudah menjalar hingga dada bagian atas.
Saat ditemui di depan Stadion Soemantri Brodjonegoro, Kuningan, Jakarta, Rabu sore itu, Ogun terlihat sehat-sehat saja. Tak tampak seperti orang sakit.
Dia mampu memanjat wall climbing di depan stadion itu dengan mudah. Yang sedikit berbeda, rahangnya tampak agak menonjol. Terutama saat tersenyum.
”Sekarang sudah mendingan. Saya lawan terus kanker ini,” ujar ketua Federasi Panjat Tebing Indonesia DKI Jakarta 2009–2013 itu.
Ogun bukan orang baru di olahraga mendaki gunung. Dia pernah turut dalam Ekspedisi Mount Everest Indonesia 1997 bersama anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Keikutsertaan dia itu merujuk pengalaman sebelumnya, pada 1994 Ogun pernah mendaki gunung tertinggi di dunia tersebut.
”Tapi, saat itu saya hanya sampai ketinggian 7.900 mdpl (meter di atas permukaan laut). Sedangkan saat bersama Kopassus, saya mampu naik hingga 8.600 mdpl. Puncaknya tinggal 200 meter lagi sudah kelihatan,” jelasnya.
Anggota Wanadri (perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung di Bandung, Red) itu memang begitu bersemangat saat membahas pendakian.
Dia sudah melakukan pendakian gunung saat masih SMP. Maka, tak heran bila teman-temannya sampai memelesetkan nama panggilannya, Ogun, sebagai Orang Gunung.
Tapi, hobi naik gunung Ogun harus terhenti sementara. Sekitar November 2015 dia merasakan ada yang tak beres dalam tubuhnya.
Selain menyerang bagian tenggorokan, penyakit yang semula dia anggap misterius itu menjalar ke mata. Saat itu dia merasakan benda yang berada di depan matanya seolah menjadi dua.
”Dua-duanya jelas. Seperti botol ini kelihatan dua,” ujarnya sambil memegang botol air yang isinya sudah tinggal setengah.
Ogun menganggap itu sebagai alarm tanda bahaya yang harus diidentifikasinya. Ogun pun memeriksakan keluhannya tersebut kepada temannya sesama pendaki gunung yang dokter, Muhammad Iqbal El Mubarak. Iqbal lalu mempertemukan Ogun dengan dokter spesialis onkologi.
”Elo udah kena kanker nasofaring namanya. Harus segera CT scan dan biopsi,” ujar Ogun menirukan perkataan rekannya itu.
Dia menuruti saran untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. ”Ternyata benar, kanker saya sudah stadium empat,” tuturnya.
Ogun teringat saat kali pertama menemukan benjolan di tengkuknya. Saat itu, 2012, dia menganggap benjolan tersebut sebagai hal biasa.
Tapi, ternyata benjolan tersebut terus membesar. Dia juga mulai merasa sering sakit kepala, hidungnya terasa penuh dengan lendir, tapi saat dikeluarkan tak ada cairan yang keluar.
Tahap berikutnya, dia merasakan fungsi pendengarannya mulai berkurang. Meski begitu, kondisi tersebut belum terlalu mengganggu aktivitasnya. Ogun mengatasi gejala-gejala itu dengan terapi obat-obatan herbal.
”Saya masih bisa ke mana-mana. Bahkan, bisa bantu istri yang ikut tim dokter bikin pengobatan korban gempa di Nepal pada 2015,” ungkap Ogun.
Sekarang dia sudah bisa tersenyum saat menceritakan lagi peristiwa kurang mengenakkan dalam hidupnya itu.
Tapi, dulu, saat kali pertama mendengar vonis dari dokter, Ogun nyaris putus asa. Perasaannya campur aduk, antara stres dan kecewa. Harapan hidupnya seolah sudah pupus.
”Padahal, saya punya anak yang masih SMP. Saya masih pengin lihat dia wisuda,” kenang ayah dua anak itu.
Dalam keadaan kalut tersebut, istrinya, Cecilia Vita, berupaya menguatkan hati Ogun. Ogun pun menjalani kemoterapi dan radioterapi. Senin hingga Jumat dia rutin menjalani kemoterapi.
Semua rambutnya sampai rontok. Berat badannya turun drastis dari 76 kilogram menjadi 52 kilogram.
”Radiasinya di pipi kanan dan kiri serta dada. Kantong liur saya sampai kering. Susah nelan,” ungkap dia.
Total dia menjalani 38 kali radioterapi dan 11 kali kemoterapi. Empat di antaranya full dosis dan tujuh kali dosis ringan.
”Pengobatannya panjang sekali. Untuk itu, saya pakai kartu BPJS. Kalau tidak, bisa amburadul,” tuturnya.
Saat menjalani terapi tersebut, Ogun sering bertemu pasien lain di ruang tunggu. Dia pun mulai menyadari kondisinya. Karena itu, dia ingin terus bertahan hidup. ”Banyak pasien kanker yang akhirnya menyerah,” ujar dia.
Tapi, Ogun terus melawan penyakit yang membuat napasnya tersengal-sengal itu. Bentuk perlawanan tersebut dia lakukan dengan mendaki puncak tertinggi Everest.
Sebab, puncak Everest itulah yang belum benar-benar dia taklukkan sepanjang karirnya dalam pendakian gunung.
Semangat yang membara itu diterima dengan baik oleh tubuhnya. Dia menduga, semangat yang menggebu tersebut memengaruhi daya tahan tubuhnya terhadap gerogotan kanker.
Ogun pun tak ragu lagi untuk kembali ke alam setelah masa terapinya berakhir sekitar Juli 2016. Dia memulainya dengan menjadi asesor pendaki gunung Indonesia di Manado.
Dia juga naik Gunung Semeru (Jawa Timur) meski sempat mendapatkan asupan infus setengah liter karena kondisinya sempat ngedrop.
Lalu, naik Gunung Merbabu (Jawa Tengah), tebing Gunung Parang Purwakarta, Gunung Arjuno Malang, Bukit Hitam Kepahiang Bengkulu, dan masuk ke perkampungan Badui Dalam. Minggu lalu (9/4) dia mendaki Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat tanpa kendala.
Sambil melatih staminanya naik turun gunung, Ogun mulai menyusun perjalanan bertajuk Ogun Roads to Mount Everest. Dengan berbagai pertimbangan sebelum mendaki ke puncak tertinggi itu, dia mesti bisa menaklukkan ’’adik-adik’’ Everest lebih dulu.
Di antaranya, Gunung Yala yang berketinggian 5.520 mdpl, Nayakanga (5.844 mdpl), Carstensz (4.884 mdpl), dan Elbrus (5.642 mdpl). Dia mengagendakan untuk misi penaklukkan puncak Everest itu pada 2018, tepat saat usianya 60 tahun.
Kemarin (13/4) Ogun memulai perjalanan dari Jakarta ke Nepal. Tujuannya adalah Gunung Yala dan Nayakanga yang juga berada di Nepal.
Ogun ditemani istrinya, dokter Iqbal, Franciscus Xaverius Ronaldus (movie art director), Gyaista Sampurno (Taruna Hiking Club Bandung), dan Hamzah Abdul Aziz (komunias Rattle Snack Bandung). Pendakian yang jadi rangkaian Ogun Roads to Mount Everest itu ditargetkan bisa selesai pada awal Mei.
”Kami sekalian ziarah ke makam pendaki Kadek Andana yang jadi korban longsor di Nepal,” jelas dia.
Ogun mengungkapkan, bukan hal yang mudah untuk menaklukkan puncak tertinggi Everest. Meski, ada base camp di beberapa titik seperti North col 7.100 mdpl, camp 5 (7.900 mdpl), dan last camp (8.200 mdpl) sebelum puncak atau Summit Attack di 8.848 mdpl.
Hawa yang sangat dingin dan udara yang tipis jadi tantangan. Belum termasuk badai yang sewaktu-waktu datang.
Dari satu camp ke camp tidak bisa langsung dalam satu jalan. Harus naik, turun, dan naik lagi untuk mengangkut peralatan dan perbekalan. Rata-rata dibutuhkan waktu dua bulan untuk pendakian tersebut.
Iqbal yang turut dalam rombongan itu tertarik dengan perjuangan dan semangat Ogun. Dia juga tertarik dengan proses penyembuhan seorang survivor kanker nasofaring stadium empat yang hobi naik gunung tersebut.
”Kanker nasofaring berkiatan dengan pernapasan. Nah, di puncak Gunung Everest itu udara tipis dan dingin,” kata pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta itu.
Iqbal yang seolah menjadi dokter pribadi Ogun, dalam perjalanan ke Nepal kali ini, dia membawa peralatan emergency.
”Tantangannya, bagaimana kami bisa menjaga agar Ogun tidak mengalami hipotermia dan frostbite (radang dingin kronis),” jelas Iqbal.
Risiko itu bukannya tidak disadari Ogun. Tapi, dia siap menghadapinya. Bagi dia, menjadi pendaki gunung punya makna kontemplatif yang begitu dalam.
Bukan sekadar bangga setelah berhasil menaklukkan gunung. Tapi, bangga bisa menaklukkan diri sendiri.
”Yang ditaklukkan diri sendiri. Takut atau tidak. Mau lanjut atau tidak. Itulah tantangannya,” tutur Ogun. (*/c10/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Abaikan Gejala Kanker Ini
Redaktur : Tim Redaksi