Sebulan, DBD Rengut 3 Balita

Kamis, 21 Maret 2013 – 16:09 WIB
TARAKAN - Demam Berdarah Dengue (DBD) tak bisa dianggap remeh, lambat tertangani bisa berakibat fatal. Seperti yang dialami bocah imut-Muhammad Argan (4)-yang sempat demam 2 hari, lalu kejang-kejang, hingga akhirnya meninggal dunia di ruang ICU RSUD Tarakan Senin (18/3).

Awalnya, keluarga bahkan petugas Puskesmas yang sempat merawatnya tidak menyangka Argan menderita DBD. Sebab, tidak ada tanda-tanda mencolok anak dari pasangan Syamsul dan Lili Fitriani ini terjangkit virus yang ditularkan nyamuk Aedes Aegypti. Sebelum meninggal, Argan mendadak panas. Sang ibu, Lili Fitriani kemudian memberikan obat penurunan panas dengan harapan suhu badan anaknya bisa turun. Tapi, dua hari kemudian kondisi Argan tidak juga membaik. Lili akhirnya memutuskan membawa putra sulungnya itu ke Puskesmas Karang Rejo, Sabtu (16/3).

Petugas puskesmas sempat memeriksanya. Bahkan Lili sempat ditanya dokter yang menangani tentang sakit yang diderita Argan. “Saya bilang, anak saya badannya panas sudah 2 hari. Lalu dokternya hanya ngasih obat parasetamol saja,” kata Lili seperti diberitakan Radar Tarakan (JPNN grup), Kamis (21/3).

Namun belum habis obat penurun panas dari dokter itu, kondisi Argan makin memburuk. Ia kejang-kejang. Minggu malam sekitar pukul 23.00 Wita, Lili dan suaminya membawa anaknya ke Puskesmas Gunung Lingkas. Pihak puskesmas memberi bantuan pernapasan, dan infus. “Tapi kata dokternya harus segera dirujuk ke rumah sakit umum,” kenang ibu dua anak ini.

Malam itu, Argan dirujuk ke RSUD Tarakan. Ia mendapatkan perawatan intensif di RSUD Tarakan. Dan saat itu pula, barulah sang Ibu mengetahui kalau anaknya menderita DBD.  “Anak saya positif DBD dan kondisinya sudah gawat, jadi harus dirawat di ruang ICU (Intensif Care Unit),” kata Lili lagi.

Hanya beberapa jam di RSUD, sekitar pukul 04.30 Wita, dokter mengabarkan kalau Argan sudah meninggal. “Jadi, di IGD itu saya baru tahu kalau anak saya kena DBD. Sewaktu di puskesmas, dokternya tidak bilang apa-apa,” sesalnya.

Ketua RT 7 Lingkas Ujung, H. Nasir mengatakan, atas kejadian yang menimpa warganya tersebut,  pihaknya akan mulai serius membenahi lingkungan. Antara lain tidak membuang sampah sembarangan, dan selalu membersihkan tempat penampungan air agar tidak ada jentik nyamuk.

“Selama saya jadi ketua RT, memang baru kali ini ada laporan kasus DBD. Jadi, saya minta kepada warga khususnya RT 7 untuk lebih waspada,” pesan Nasir.

Pihak Puskesmas Karang Rejo sendiri membenarkan, sewakatu Argan dibawa ke puskesmas hanya diberi obat penurun panas. Itu dikarenakan keluhan sakit yang diderita Argan adalah demam selama 2 hari. Sementara, waktu 2 hari untuk diagnosa DBD belum bisa dilakukan, meski gejalanya adalah demam tinggi.

“Belum ada parameter laboratorium yang bisa menunjukkan positif atau tidak kalau baru 2 hari,” terang Kepala Puskesmas Karang Rejo, dr Ishak Paloga.

Dijelaskannya pula, diagnosa DBD baru bisa dipastikan setelah pasien yang megeluh sakit demam, sudah genap 3 atau 4 hari. Itupun ditunjukkan oleh hasil pemeriksaan sampel darah, jika positif DBD akan terjadi penurunan trombosit secara drastis.

“Pada hari ke-4 itu, biasanya demamnya turun, tapi kalau demamnya turun, anak sudah lari bermain maka tidak apa, tapi demam turun tapi masih lemas, itu bahaya,” ucapnya.

Kepala Seksi Penanggulangan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Tarakan, Tri Astuti Sugiyatmi, juga menyikapi persoalan ini dengan serius. Karena, selain Argan masih ada 2 bocah lainnya juga meninggal akibat BDB bulan ini. Satu di antaranya adalah bayi 6 bulan asal Kelurahan Juata Permai, dan satunya lagi belum bisa dipastikan alamatnya.

“Jika anak panas kita harus selalu waspada DBD, karena daerah kita ini sudah endemis. Sehingga, anak-anak yang mengalami demam harus sesegera mungkin ditangani, sampai betul-betul terbukti positif atau tidak anak tersebut menderita DBD,” imbaunya.
 
Tri Astuti Sugiyatmi mengungkapkan, pihaknya akan melakukan penanganan di area kesehatan, khususnya puskesmas dengan melakukan pelatihan atau Upgreding petugas kesehatan terkait DBD.

Dijelaskannya pula, bahwa fase kritis yang harus diwaspadai ketika anak demam adalah, pada hari ke-4 dan ke-5. Dimana, pada fase tersebut, cairan tubuh pada pembuluh darah akan keluar. Sehingga penanganannya harus dengan cara di infus, untuk memenuhi kebutuhan cairan pada pambuluh darahnya.

“Ini yang harus dipahami oleh semua masyarakat, jangan sampai kita kecolongan, karena kadang kita menganggap bahwa demam anak turun itu berarti sudah sembuh, padahal itulah fase kritisnya,” jelasnya.

Upaya yang paling efektif untuk menanggulagi masalah DBD ini, diakuinya adalah penanganan dari hulu, yakni upaya pencegahan. Mejaga lingkungan agar tetap bersih, dan konsisten terhadap langkah 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur).

“Kalau foging dan larvasidasi, itukan penanganan dari hilir, itu tidak akan maksimal,” ujarnya.

“Kemungkinan akan ada foging, fokus di wilayah yang dilaporkan ada korban,” tutupnya. (yan/ica)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Honorer K2 Masih Ngambang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler