jpnn.com, MAKASSAR - Mata Erna tampak masih sembap saat menggendong anaknya yang sedang merengek. Wanita dengan jilbab warna cokelat dan baju batik bantuan dermawan itu adalah satu dari 112 orang korban gempa di Sulawesi Tengah, yang ditampung di Pondok Yayasan Akar Panrita Mamminasa, Makassar, Sulawesi Selatan.
Erna berasal dari Tondo, Kota Palu. Dari 112 orang tadi, 80 di antaranya anak-anak. Selebihnya adalah ibu mereka dan wanita dewasa lainnya.
BACA JUGA: Selamat dari Gempa, 3 Hari Bertahan di Gunung
Sambil menggendong putranya yang masih berusia tiga tahun, Erna bertutur tentang kisah tragis yang dialaminya. Dia menangis ketika bercerita tentang suaminya, yang hingga saat ini belum juga ditemukan.
”Saya dan anak-anak berhasil selamat. Tapi suami saya belum diketahui kabarnya. Saya masih berharap dia baik-baik saja,” kata Erna sambil mengusap air matanya, kemarin.
BACA JUGA: PLN Siap Tambah Pasokan Listrik ke Palu
Dia lalu berkisah kenapa sampai bisa terpisah dengan suaminya. Pada hari Jumat (28/9) siang, Erna bersama tiga orang anaknya tengah berada di rumah. Menanti sang suami kembali dari bekerja.
Guncangan-guncangan kecil akibat gempa mulai terasa. Namun hal itu tak terlalu dirisaukan. Erna dan warga Palu lainnya sudah terbiasa dengan gempa kecil seperti ini.
BACA JUGA: Pasokan LPG tiba, Pertamina Operasi Pasar di Donggala & Sigi
Sampai pada sore hari pukul 16.00 Wita. Guncangan yang lebih besar dari biasanya mulai terasa. Erna mencoba merangkul anak-anaknya, sembari menunggu suaminya muncul dari tikungan jalan yang menuju ke rumahnya.
”Sampai jam lima sore suami saya tidak juga muncul. Menjelang Magrib, gempar besar terjadi. Tidak lama kemudian tsunami terjadi. Air laut sampai ke rumah kami. Kami mencoba menyelamatkan diri. Sejak itulah saya dan anak-anak tidak pernah tahu bagaimana keadaan suami sampai saat ini,” cerita Erna.
Dia berharap, ayah dari anak-anaknya itu bisa ditemukan oleh para relawan.
Di lokasi yang sama, pada sebuah ruangan kecil tempat penampungan Pondok Yayasan Akar Panrita Mamminasata Manggala, kondisi serupa dalami Leni (40). Dengan wajah lesu dan mata agak membengkak, dia pun berbagi kisah.
“Bantu kami, dik. Bantu cari tahu dimana dua anak saya. Mereka masih kecil-kecil. Saya ingin keduanya ada di sini bersama adik-adiknya. Saya mohon, dik,” pinta Yeni penuh harap.
Saat ditanya di mana suaminya kini, Yeni kemudian menatap anaknya yang tengah tertidur pulas di atas kasur kapuk yang sedikit tipis bersama dengan balita senasibnya.
“Saya tidak tahu suami saya di mana, dik. Bagaimana nasibnya, saya juga tidak tahu. Begitu juga dua anak saya. Tiba-tiba saja mereka menghilang dari pandangan saya,” kata Yeni lagi.
Yayasan Akar Panrita Mamminasata memang membuka posko bantuan bagi para pengungsi gempa dan tsunami asal Sulteng. Sejak tiba, bantuan dari warga terus berdatangan. Pemerintah Kecamatan Manggala juga berkoordinasi dengan tim medis Puskesmas setempat guna penanganan kesehatan para pengungsi.
”Senin malam (1/10) mereka tiba. Pagi harinya kami berkoordinasi dengan pihak Puskesmas Antang. Yang kita tangani awal adalah kesehatan anak-anaknya. Untuk bantuan makan minum, siang harinya sudah masuk dari warga yang ada sekitar lokasi penampungan,” kata Lurah Antang Amanda Syahwaldi.
Ketua Yayasan Akar Panrita Mamminasata Ahmad Hidayat mengatakan, seluruh pengungsi yang ditampung di posko ini diberi perhatian khusus. Bahkan murid TK dan SD yang sekolahnya dijadikan penampungan pengungsi, diliburkan beberapa hari.
”Dari siang sampai malam sejak kedatangan saudara-saudara kita di tempa ini, bantuan terus masuk. Jadi kita atur semuanya. Bukan hanya makan minumnya. Tapi juga tempat istrahatnya. Kami sudah koordinasikan dengan semua lintas sektoral yang ada di wilayah. Kemudian untuk bantuan, kami juga bentuk tim untuk mengatur agar sampai kepada para pengungsi,” ujar Ahmad. (jun/rus/bkm/fajar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Atas Nama Kemanusiaan, Tolonglah Kami...
Redaktur & Reporter : Adek