jpnn.com - AWAL abad V, menjelang keruntuhan kekaisaran Romawi Barat ditemukan sebuah dokumen penting; manfaat dan rempah-rempah untuk pengobatan.
=======
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
=======
BACA JUGA: Indonesia Negara Pertama yang Punya Tentara Pelajar? Yuk Tengok Kisahnya...
Merujuk dokumen itu, lada berkhasiat antara lain untuk mengobati kelumpuhan, linu sendi, masalah saluran pembuangan, radang mulut dan tenggorokan, sakit gigi. Lada juga bisa mengobati sakit kuping. Caranya diteteskan ke kuping.
"Masih banyak lagi penyakit yang diceritakan dalam dokumen tersebut. Pendek kata, tidak ada penyakit yang tidak bisa diobati dengan lada," ungkap Singgih Tri Sulistiyono, sejarawan Universitas Diponegoro, saat diskusi Jalur Rempah-Arus Balik Sejarah, di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini.
BACA JUGA: Kusni Kasdut, Hikayat Bandit Revolusioner
Penjelasan lumayan rinci tentang dokumen yang dimaksud Singgih, termuat dalam buku Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme yang ditulis Jack Turner.
Dalam buku itu, Jack juga menceritakan, catatan medis tentang rempah-rempah juga ditulis oleh Uskup Milan, Santo Benedictus Crispus pada awal abad VIII.
BACA JUGA: Digertak Tentara, Bukannya Takut, Bung Karno Marah Besar...Ini Kisahnya
Menurut catatan lawas itu, orang yang sakit encok dapat meminum campuran cengkeh, lada dan kayu manis. Untuk jantung lemah diresepkan lada.
Ditulis juga di situ bahwa uskup tinggi York, kerap memberikan rempah-rempah untuk penderita sariawan, terutama lada.
Theodore dari Tarsus, uskup tinggi Canterbury (669-690) penuh keyakinan menyatakan, lada yang dicampur dengan kantong empedu kelinci dapat meredakan sakit desentri. Selain itu rempah juga dipercaya untuk mengobati penyakit pes atau black death.
"Meskipun kekaisaran Romawi kemudian runtuh pada abad VI Masehi, namun citra eksklusif dan eksotis rempah-rempah terus mengakar dalam kebudayaan Romawi," papar Singgih.
Firaun dan Romawi
Dalam makalah bertajuk Jalur Rempah: Pelayaran dan Perniagaan Di Nusantara Hingga Kedatangan Bangsa Barat, Singgih Tri Sulistiyono menjelaskan, rempah merupakan tandaman endemik di negeri yang hari ini bernama Indonesia.
Dijelaskan, Banten dan Sumatra menghasilkan lada dan merica. Pulau Banda menghasilkan pala. Cengkeh tumbuh di Ambon dan Ternate. Kayumanis dan kayu cendana terutama dari kepulauan Nusatenggara.
Secara historis, menurut Singgih yang pernah meneliti hal ini, rempah telah digunakan secara meluas di berbagai belahan bumi sejak zaman Mesir Kuno, yakni ketika mengawetkan jasad Firaun Ramses II yang meninggal pada 12 Juli 1224 SM.
"Para abdinya menjejali lubang hidung Sang Firaun dengan biji lada. Penggunaan lada dimaksudkan untuk pengawetan mayat yang sudah merupakan tradisi bagi para Firaun di Mesir," tutur Singgih.
Penggunaan rempah untuk pengawetan mayat dan hal-hal yang bersifat spiritual juga dijumpai di dalam masyarakat Yunani Kuno yang memiliki spiritualitas tinggi dalam penyembahan politheisme dan upacara persembahan kepada Dewa.
Bagi masyarakat Romawi--sebelum agama Nasrani berkembang--rempah punya kedudukan penting untuk pewangi dupa penyembahan.
Selain untuk dupa persembahan, rempah, dalam hal ini kayu manis juga digunakan untuk membakar mayat.
Mencuplik Jack Turner, Singgih mengisahkan, pada 565, penyair Bizatium yang bernama Corippus mencatat pembaluran kaisar Justinianus dengan balsam, dupa, madu, dan ratusan rempah.
"Bahkan ada informasi yang menyatakan bahwa jasad Yesus dibungkus dengan linen dan diminyaki rempah sebagaimana tradisi Yahudi dalam penguburan. Dengan demikian ketika Romawi menempatkan Kristen sebagai agama negara, tradisi penggunaan rempah-rempah untuk alat-alat upacara kematian masih terus berlangsung," papar Singgih. (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... TERNYATA...Bung Karno Mencintai Amerika, Kawan!
Redaktur : Tim Redaksi