Sejenak 'Menikmati' Rumah Aman Yayasan Embun Surabaya

Rumah Banyak Bocor, Makan Sering Kas Bon

Jumat, 21 November 2014 – 02:02 WIB
SEDERHANA: Dari kiri, Joris Lato, Rendra, Rasty, Dodon, dan Hendra di ruang kantor sekaligus kamar rumah aman. Foto: Eko Priyono/Jawa Pos

jpnn.com, SURABAYA - Membantu tidak harus menunggu mampu. Prinsip itu dipegang teguh aktivis Yayasan Embun Surabaya. Mereka menciptakan suasana kekeluargaan bagi yang tidak punya keluarga meski terkadang harus utang kepada penjual sayur keliling.

Laporan Eko Priyono, Surabaya

BACA JUGA: Kadal yang Jadi Mobil Tercepat di Dunia

HUJAN lebat yang turun Selasa malam lalu (18/11) membuat tiga perempuan dan empat pria semburat. Bak petugas pemadam kebakaran, mereka langsung berebut mengambil belasan kain bekas yang tertumpuk di sudut rumah. Dengan gerakan kilat nan gesit, kain itu dibeber di depan ruang kamar yang basah.

Tangisan dua balita yang melengking karena terkejut semakin membuat suasana panik. Ternyata, tangisan itu menjadi penanda bahwa kamar tidurnya basah karena rembesan air hujan. ”Siap-siap meluap, Mas. Di sini ada selokan,” kata Bintang Ramadan sambil menunjuk ke lantai yang tertutup plastik.

Pria yang akrab disapa Dodon itu merupakan salah seorang di antara enam orang aktivis yang menjaga rumah aman Yayasan Embun Surabaya. Rumah di kawasan Surabaya Utara tersebut menjadi tempat persembunyian para korban kekerasan seksual yang tidak punya tempat berteduh.

Di lembaga yang didirikan pada Januari 2013 itu, Dodon tidak sendirian. Ada juga aktivis lain seperti Rendra Oktavian, Herman, Junasri Agus, Rasti Ari Anggraeni, dan Joris Lato. Secara bergantian, mereka menjaga rumah yang kini menjadi tempat persembunyian para korban kekerasan.

Jangan dibayangkan, rumah aman tampak megah, tersembunyi, dipenuhi fasilitas, dan berpenjaga. Sebaliknya, dari luar kondisinya tampak seperti rumah penduduk pada umumnya. Meski dijuluki rumah aman, pintu gerbang selalu terbuka. Siapa pun yang masuk ke rumah tersebut dipastikan langsung diketahui penghuninya. Pintu gerbang besi yang sudah berkarat selalu mengeluarkan bunyi ketika dibuka.

Rumah supersederhana itu terdiri atas empat kamar tidur. Ukurannya tidak lebih dari 2x3 meter persegi. Satu di antaranya dibikin kantor sekaligus tempat tidur serta untuk menyimpan baju para aktivis. Tiga kamar lainnya dipakai tidur 13 penghuni yang sedang menjalani pemulihan di rumah aman. Tidak ada ranjang. Kasur terhampar di lantai hingga hampir memenuhi ruangan.

Usia 13 penghuni warga dampingan beragam. Lima perempuan sudah dewasa serta dua anak di bawah umur yang usianya 14 dan 17 tahun. Salah satunya adalah siswi SD yang diperkosa bapak kandung dan guru sekolahnya. Yang berusia 17 tahun adalah korban kekerasan seksual yang baru ditangani tiga hari ini.

Selain itu, ada enam balita. Tiga di antaranya tidak memiliki bapak. Mereka dilahirkan dari rahim korban trafficking yang hamil meski saat itu masih berusia 17 tahun. Tiga balita lainnya adalah anak seorang ibu yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Para penghuni itu memiliki latar belakang yang beragam. Misalnya, Ayu (nama samaran) yang datang ke Embun ketika masih kelas XII SMA. Dia hamil ketika berpacaran. Pacarnya tidak mau bertanggung jawab dan memaksa Ayu untuk menggugurkannya. Khawatir kehilangan sang pacar, korban menurutinya.

Setelah digugurkan, Ayu hamil lagi dengan orang yang sama. Pacarnya langsung kabur. Perempuan yang tinggal di panti asuhan sejak usia delapan tahun itu tidak lagi memiliki tempat tinggal. Ibunya meninggal, si bapak tidak diketahui rimbanya. Dia akhirnya diantar seorang temannya ke Kantor Yayasan Embun.

Lain lagi Maya (nama samaran). Perempuan 17 tahun tersebut juga menjadi korban trafficking. Setelah proses hukum selesai, Maya dipulangkan ke kampung halamannya di sebuah kabupaten sisi barat Jatim. Tidak lama setelah itu, siswi protholan sebuah SMA tersebut hamil. Nahas, ibu kandung Maya tidak mau menerimanya lagi.

Berbekal sisa uang yang dimiliki, dia membuka internet dan mendapati website Yayasan Embun. Dari informasi itulah, dia mendatangi alamat tersebut ketika kandungan berusia empat bulan. ”Anakku seperti aku. Enggak ada bapak,” ucap Maya dengan nada lirih yang membuat miris. Kini anaknya berusia tiga tahun dan tinggal di rumah aman Yayasan Embun.

Bagi enam aktivis pendamping para korban tersebut, 13 orang itu adalah anggota keluarga. Perhatian yang diberikan pun layaknya di keluarga sendiri. Ada aturan tidak tertulis yang berlaku setiap hari.

Misalnya, urusan masak-memasak. Para korban yang semuanya perempuan memasak secara bergantian. Awalnya, mereka tidak terbiasa memasak. Bahkan, hampir tidak ada yang bisa memasak. Dodon akhirnya turun tangan. Dia mulai membiasakan mengajak mereka memasak.

Meski berbadan tinggi besar dan berwajah sangar, Dodon malah paling jago memasak. Dia yang mengajari semua korban mengolah aneka ragam masakan. Usut punya usut, dia lulusan perhotelan sebuah kampus di Surabaya. ”Ilmunya dipakai di sini,” ucap finalis Cak dan Ning 2003 itu.

Untuk membeli bahan masakan, para aktivis itu iuran. Biasanya, lauk dan sayuran dibeli dari pedagang keliling. Penyebabnya bukan lebih murah. Tapi, mereka bisa ngebon lantaran tidak selalu ada uang yang cukup untuk membeli bahan masakan. Utang dibayar ketika sudah ada uang dengan selisih harga yang masih terjangkau.

Keseharian pendamping dan korban memang terlihat kontras. Bisa dibayangkan, sebagian besar pendamping adalah laki-laki. Tapi, semua korban adalah perempuan. Mau tidak mau, mereka diharuskan memahami dunia keperempuanan. Termasuk memahami perasaan mereka.

Ketika ada yang hamil, semua penghuni memberikan dukungan dan perhatian penuh. Bahkan, ada terapi khusus yang tidak didapati di tempat lain. Khusus ibu hamil setiap hari harus mengepel lantai dengan menggunakan tangan sembari jongkok. ”Itu terapi biar mudah melahirkan,” ucap Rendra. Cara itu sudah dibuktikan belasan perempuan hamil.

Lain lagi anak-anak yang masih sekolah. Setiap hari mereka diharuskan belajar minimal dua jam. Pendamping selalu memastikan mereka belajar setiap hari. Tujuannya, anak-anak tidak berhenti belajar meski hanya sebentar. Para aktivis itu yang mendampingi secara bergantian.

Semua perempuan di sana awalnya adalah korban. Tapi, saat ini tiga orang menjadi pendamping bagi korban yang lain. Mereka belajar dengan cara melihat aktivitas yayasan tersebut dalam menangani para korban. Mulai ikut rapat, belajar mengetik, hingga sekarang aktif mendampingi para korban.

Berbagai kejadian unik mewarnai kehidupan di sana. Rendra menceritakan, pernah ada perempuan hamil yang hampir melahirkan. Ketika dilihat, sudah bukaan pertama. Tapi, ketika dibawa ke rumah sakit, dia tidak kunjung melahirkan. Ternyata, jabang bayi itu baru lahir sebulan kemudian.

Ada juga korban yang datang ke rumah aman dan mengaku mengandung. Perutnya yang membuncit semakin menguatkan bahwa dia memang sedang mengandung. Nana (nama samaran) pun mendapat perhatian khusus agar merasa nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan. Setiap bulan remaja 17 tahun itu diperiksakan ke puskesmas. ”Bidan selalu bilang, bayinya sehat,” ucap Dodon yang mendampinginya ketika memeriksakan kandungan.

Suatu ketika, Dodon dibuat sangat ketakutan karena korban mengeluarkan darah setelah motor yang dipakai memboncengkan Nana melewati polisi tidur. Nana yang mengeluh kesakitan diduga keguguran. Nana dibawa ke sebuah klinik di Dupak, tapi petugas medis angkat tangan karena menganggap kondisinya kritis.

Nana diboyong ke Rumah Sakit Haji dengan menggunakan ambulans. Tapi, karena saat itu tidak ada uang sama sekali, Nana dipindahkan ke Rumah Sakit Bhayangkara. Padahal, Nana sudah masuk ke UGD. ”Saya lebih baik mati daripada ditusuk-tusuk seperti ini,” ucap Dodon menirukan keluhan Nana.

Dari pemeriksaan itulah, kebohongan terungkap. Nana ternyata tidak hamil. Perutnya yang membuncit bukan karena mengandung. Darah yang keluar disebabkan bekas penguretan yang tidak bersih. Padahal, Nana diperlakukan seperti orang hamil selama tiga bulan.

Dodon bahkan pernah kena damprat petugas puskesmas. Sebab, setiap bulan dia memeriksakan perempuan hamil yang berbeda-beda. Perawat itu mengira pria 31 tahun tersebut pria hidung belang yang gemar menghamili perempuan. ”Sampeyan itu lanang tuek enggak tahu diri,” ucap Dodon menirukan.

Joris Lato, aktivis lainnya, menyebut bahwa dirinya menghadapi masalah terkait dengan identitas kependudukan para korban. Sebab, keluarga mereka tidak jelas. Mengurus identitas mereka di kampung asal tidak memungkinkan. Padahal, identitas menjadi syarat mutlak untuk bisa eksis. ”Mereka harus bisa mandiri biar tidak lagi jadi korban,” ucapnya. (*/c6/dos)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler