Sejumlah Negara Maju Mulai Meninggalkan Rokok, Ini Alasannya

Sabtu, 21 Agustus 2021 – 01:12 WIB
Ilustrasi asap rokok (Pexels)

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah ahli menyatakan pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction) bisa menjadi salah satu upaya untuk mendukung penanggulangan masalah rokok, baik di Indonesia maupun secara global.

Upaya ini menjadi langkah penting untuk diterapkan, tetapi penerapannya di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah dinilai sulit.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Dokter Reisa Broto Menyebut 10 Daerah, Jenderal Andika Beri Peringatan, Kapan Pengumuman?

Hal ini disebabkan oleh sikap pemangku kepentingan yang kurang terbuka terhadap kajian ilmiah.

Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Badan Kesehatan Dunia (WHO), Profesor Tikki Pangestu menjelaskan konsep pengurangan risiko tembakau sebenarnya bisa menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi merokok di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah.

BACA JUGA: Usai Cabut Gigi Jangan Langsung Merokok, Bahaya Banget!

“Ada potensi bagi konsep tersebut untuk menjadi solusi,” kata Tikki.

Namun, resistensi dari berbagai pemangku kepentingan terhadap hasil penelitian ilmiah ini menjadi kendala untuk bisa menerapkan pengurangan bahaya tembakau di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah, padahal jumlah perokok di negara-negara tersebut sangat tinggi.

BACA JUGA: Bea Cukai Langsa Menyita 1,5 Juta Batahg Rokok Ilegal

Oleh karena itu, Tikki menyarankan agar para pemangku kepentingan bersikap terbuka serta mengedepankan komunikasi untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya mengenai konsep tersebut.

“Memerlukan dialog objektif yang lebih terbuka berdasarkan bukti ilmiah,” tegas Tikki.

Di kesempatan terpisah, saat kegiatan Global Forum on Nicotine (GFN) diselenggarakan secara daring beberapa waktu lalu, tantangan terhadap penerapan konsep pengurangan risiko tembakau juga menjadi sorotan.

Profesor di Departemen Kedokteran Komunitas dan Koordinator Penelitian di Tagore Medical College and Hospital Chennai Sree Sucharita menjelaskan resistensi terhadap konsep tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masalah prevalensi perokok tidak kunjung terselesaikan.

Sree Sucharita mengungkapkan jumlah perokok di India saat ini sudah mencapai 300 juta. Penghalang untuk menerapkan konsep pengurangan risiko tembakau adalah kurangnya kemauan politik.

Selain itu, masih sedikitnya informasi akurat yang diperoleh praktisi kesehatan mengenai konsep ini.

“Akibat kurangnya informasi tersebut, kami kehilangan peluang untuk mengedukasi para perokok mengenai pilihan yang tersedia bagi mereka untuk berhenti merokok,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini produk tembakau alternatif memiliki risiko yang jauh lebih rendah daripada rokok hingga 90% - 95%.

Melalui fakta tersebut, sejumlah negara maju, seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Kanada mendukung penggunaan produk tembakau alternatif untuk menekan jumlah perokoknya.

Senada dengan Profesor Tikki Pangestu, Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Amaliya, juga setuju dengan penerapan konsep pengurangan risiko tembakau untuk membantu mengatasi masalah rokok.

“Dalam menanggulangi epidemi rokok ini ternyata tidak bisa hanya dengan dua opsi saja, berhenti atau mati. Untuk menanggulangi adiksi ini, sangat sulit untuk bisa langsung menghapuskan keperluan nikotinnya sampai nol,” ungkapnya.

Saat ini, masih banyak informasi yang tidak akurat beredar di masyarakat mengenai produk tembakau alternatif. Oleh karena itu, kajian ilmiah memiliki peran penting untuk meluruskan hal tersebut.

Kajian ilmiah lokal masih perlu digiatkan dan butuh dukungan dari pemerintah, bahkan lembaga-lembaga pemerintah juga diminta melakukan kajian independen mengenai produk tembakau alternatif.

“Kajian ilmiah mengenai produk tembakau alternatif masih sangat terbatas di Indonesia saat ini. Jadi harus kita dorong agar semua pihak dapat melakukan dan mengedepankan kajian ilmiah ketika membahas produk tembakau alternatif,” pungkasnya. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler