Kalangan bisnis Amerika Serikat telah lama terpikat pada kutipan dari Jack Welch, mantan CEO General Electric, tentang masa depan pasar Tiongkok.
"Kita semua berharap hanya langit yang akan jadi batasnya," ujarnya saat berkunjung ke Shanghai pada 1990-an.
BACA JUGA: Rudal Hipersonik Amerika Serikat Mengerikan, Lima Kali Kecepatan Suara
Dorongan dari Jack Welch tentang peluang tak terbatas ini tak ayal lagi memikat perusahaan-perusahaan AS lainnya ke Tiongkok.
Salah satunya Jeff Bezos, pendiri perusahaan raksasa teknologi Amazon.
BACA JUGA: Hakim Tolak Permintaan Amber Heard untuk Kesampingkan Kemenangan Pencemaran Nama Baik Johnny Depp
Perusahaan itu masuk ke Tiongkok sejak tahun 2004 melalui akuisisi penjual buku online lokal Joyo seharga $110 juta, mengubah namanya menjadi Amazon Tiongkok sebagai platform e-commerce pada tahun 2011.
Namun pada 2019, ketika Tiongkok membuat rekor penjualan online senilai $2,3 triliun dengan lebih dari 900 juta pembeli domestik, Amazon justru mengumumkan akan menutup bisnis domestiknya, dan lebih fokus pada penjualan lintas negara untuk pelanggan Tiongkok.
BACA JUGA: Presiden Sri Lanka Melarikan Diri Bersama Istrinya ke Maladewa
Surat kabar The New York Times melaporkan, meskipun minat belanja online kuat di dalam negeri, namun Tiongkok hanya menyumbang kurang dari 6 persen dari penjualan global Amazon tahun itu.
Bukan hanya pasar perdagangan online Amazon gagal mencapai tujuannya di Tiongkok, tapi juga pasar e-book (buku digital) yang bernilai miliaran dolar. Kindle akan meninggalkan Tiongkok
Salah satu produk Amazon, Kindle, diluncurkan di Tiongkok pada tahun 2013, dengan perangkat rak buku virtualnya yang berisi jutaan e-book. Produk ini langsung menarik konsumen Tiongkok yang masih mengandalkan buku-buku bersampul tipis pada saat itu.
Kindle juga mendorong ledakan di pasar e-book Tiongkok. Pemerintah melaporkan bahwa Amazon menduduki 65 persen pangsa pasar pada tahun 2019.
Pada tahun 2021, data pemerintah Tiongkok menunjukkan sektor e-reading telah memperoleh pendapatan $9 miliar, meningkat 20 persen dari tahun sebelumnya.
Lebih dari 506 juta pengguna Tiongkok dilaporkan mengakses eBook tahun lalu, dengan rata-rata setiap orang membaca 11,58 judul buku digital.
Oleh karena itu, ketika bulan lalu Amazon mengumumkan akan menutup toko e-booknya di Tiongkok mulai tahun depan, banyak yang kaget.
"Kami masih berkomitmen untuk pelanggan kami di Tiongkok," kata juru bicara Amazon kepada ABC News.
"Sebagai perusahaan global, kami secara berkala mengevaluasi layanan dan terus melakukan penyesuaian, di mana pun kami beroperasi," katanya.
Amazon ternyata bukan satu-satunya raksasa teknologi AS yang akan hengkang dari Tiongkok. AirBnB juga akan hengkang
Pada bulan Mei, salah satu pendiri Airbnb, Nathan Biecharczyk, mengatakan dalam postingannya di media sosial WeChat bahwa perusahaan itu akan menutup bisnis domestiknya pada 30 Juli. Mereka, katanya, akan fokus pada perjalanan keluar dari Tiongkok sebagai gantinya.
Implikasi keputusan ini menyebabkan AirBnB akan menghapus 150.000 tempat tinggal terdaftar di Tiongkok.
Pada tahun 2020, Biecharczyk menyatakan Tiongkok akan menjadi yang terbesar di Airbnb.
Keputusan Kindle dan Airbnb ini menyusul keputusan perusahaan teknologi AS sebelumnya, termasuk Yahoo dan LinkedIn Microsoft, yang telah menghentikan layanan mereka dari Tiongkok. Google bahkan telah keluar dari negara itu pada tahun 2010.
Perusahaan raksasa AS di luar bidang teknologi kabarnya sedang memikirkan kembali produk digital mereka di Tiongkok saat ini.
Pada bulan Juni, misalnya, merek pakaian Nike mengumumkan konsumen Tiongkok akan kehilangan akses ke aplikasi Runner Club-nya, yang memungkinkan pengguna untuk melacak aktivitas olahraga mereka dan berbagi data dengan teman-teman mereka.
Perusahaan itu mengatakan kepada stasiun TV CNN bahwa mereka masih akan berinvestasi dalam mengembangkan platform digital di Tiongkok, dan akan meluncurkan platform "lokal" untuk para olahragawan Tiongkok di masa depan. Tertekan oleh peraturan yang kian ketat
Karena semakin banyak merek teknologi Barat meninggalkan Tiongkok, sejumlah pengamat menyebut adanya dua undang-undang keamanan data negara itu sebagai faktor penyebab.
Keduanya mulai berlaku pada tahun 2021, yaitu UU Keamanan Data Negara dan UU Perlindungan Informasi Pribadi yang membatasi perusahaan dan individu untuk mentransfer data yang dihasilkan di Tiongkok ke luar negeri.
Undang-undang tersebut juga mewajibkan perusahaan asing untuk melokalkan penyimpanan data mereka dan mematuhi pemeriksaan dari regulator pemerintah.
Artinya, Pemerintah Tiongkok akan dapat mengakses data pengguna melalui perusahaan media sosial milik Tiongkok seperti TikTok.
Pekan ini, TikTok mengakui data pengguna Australia dapat diakses di Tiongkok, tapi menyatakan: "Kami tidak pernah memberikan data pengguna Australia kepada pemerintah Tiongkok ... dan tidak akan memberikannya jika kami diminta."
Kendra Schaefer, konsultan dari Trivium Tiongkok yang berbasis di Beijing, mengatakan upaya pengetatan peraturan telah memaksa beberapa perusahaan teknologi untuk melepaskan fitur yang dulunya menjadi sumber keuntungan mereka.
Laporan Dewan Bisnis AS-Tiongkok pada bulan April menunjukkan 81 persen perusahaan AS yang disurvei khawatir tentang kebijakan keamanan data Tiongkok.
Kendra Schaefer menyebutkan selain UU keamanan data, banyak perusahaan teknologi Barat mengalami pengetatan peraturan Tiongkok selama beberapa tahun terakhir.
"Airbnb menghadapi masalah signifikan di Beijing, Shanghai dan kota-kota besar dalam hal peraturan persewaan yang ketat," katanya.
Amazon juga menghadapi masalah lisensi karena menerbitkan buku di e-reader.
Pada tahun 2021, laporan Reuters menunjukkan upaya Amazon menyelesaikan masalah ini dengan meluncurkan proyek Buku Tiongkok, yang mensyaratkan kemitraan dengan organ propaganda Partai Komunis Tiongkok dalam mempromosikan buku-buku Presiden Xi Jinping.
Amazon diketahui telah menghapus komentar dan ulasan untuk buku-buku Presiden Xi setelah ada permintaan dari Pemerintah Tiongkok. Pengalaman konsumen di Tiongkok
Meskipun perusahaan Barat menyebutkan peraturan ketat sebagai penghalang dalam pasar Tiongkok, namun sejumlah konsumen lokal menceritakan kisah yang berbeda.
Xiaofeng Luo, seorang kutu buku berusia 25 tahun dari Provinsi Zhejiang, mengaku telah membaca "sekitar 100 buku" melalui Kindle saat dia berusia 17 tahun.
Namun dalam dua tahun terakhir, dia tidak lagi menggunakan produk Amazon itu sama sekali.
"Saya tidak dapat menemukan buku yang saya ingin baca di Kindle. Saya akan mendapatkan novelnya di Amazon, tapi anehnya tidak ada versinya di Kindle," katanya.
Teman-teman Luo merekomendasikan untuk mencoba WeRead, platform e-reading yang dibuat oleh Tencent sebagai produk sampingan dari aplikasi sosial WeChat.
"Mereka menawarkan banyak jenis buku dari penerbit yang sangat bagus, biaya keanggotaan juga murah," jelasnya.
Luo juga menikmati fitur sosial WeRead, yang memungkinkan pengguna untuk berbagi daftar bacaan mereka atau mendiskusikan konten dengan pengguna lain di platform.
"Saya memberikan akun Kindle saya kepada ibu saya, karena dia juga membaca novel dan e-book di Amazon. Tapi dia bilang tidak pernah menggunakannya," katanya.
Pengalaman Luo ini senada dengan pengamatan Mark Tanner dari perusahaan konsultan pemasaran Tiongkok Skinny di Shanghai.
"Selalu ada e-reader lokal, inovatif, atau benar-benar murah, menawarkan nilai yang lebih baik dan memiliki buku yang sangat bagus. Jadi tidak ada keuntungan apa pun untuk berlangganan Kindle," kata Tanner.
Airbnb juga menghadapi tantangan dari para pesaing lokal seperti Tujia, yang memiliki 2 juta akomodasi terdaftar pada tahun 2020. Jumlah ini sama dengan 13 kali lebih banyak dari Airbnb.
Schaefer mengatakan kurangnya penjualan di pasar Tiongkok adalah salah satu pendorong utama di balik kegagalan merek teknologi Barat di Tiongkok selain faktor regulasi.
"Mereka tidak mencoba menjadi aplikasi Tiongkok, padahal ada semacam ekosistem pengguna yang sangat berbeda di Tiongkok dengan pengguna internasional," katanya. Masih gagal setelah dua dekade
Menurut Tanner meskipun sejumlah merek Barat sekarang telah memahami pasar Tiongkok dengan baik, namun banyak yang masih kesulitan untuk mencapai keberhasilan di Tiongkok.
"Perusahaan Tiongkok sangat cepat dalam membuat keputusan, sangat dinamis, dan mereka siap untuk membuang banyak hal yang sulit," katanya.
Dia mengatakan banyak perusahaan Silicon Valley memiliki pola pikir yang sama, tapi karena pengambil keputusan tidak berbasis di Tiongkok, mereka butuh waktu lebih lama untuk merespon pasar lokal.
"Banyak dari mereka ini yang membuat keputusan di luar Tiongkok belum kembali sejak 2019," kata Tanner.
Dia menambahkan, sektor lain seperti produk kesehatan dan kecantikan, sangat sedikit merek asing yang berhasil memenangkan pasar Tiongkok.
Schaefer mengatakan perusahaan teknologi yang memasuki pasar Tiongkok harus siap dengan ekosistem teknologi yang berbeda.
"Anda harus bisa melokalkan produk Anda . Sama dengan membangun produk kedua," katanya.
"Tidak bisa hanya datang dengan produk digital dari luar, lalu menerjemahkan dan meluncurkannya di Tiongkok," paparnya.
Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Selam Nuklir Tiongkok Buntuti Kapal Perang Australia, Ada Tantangan, Tegang!