Sekjen Gerakan HMS Dorong Realokasi Anggaran Infrastruktur dan IKN Baru untuk Pembelian APD

Rabu, 01 April 2020 – 17:25 WIB
Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS), Hardjuno Wiwoho (kemeja putih berdasi) saat menerima audensi beberapa Tenaga Medis di Jakarta, Rabu (1/4/2020). Foto: Dok. HMS

jpnn.com, JAKARTA - Sekjen Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho mendorong pemerintah merealokasikan semua dana pengembangan infrastruktur 2020 termasuk dana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru untuk dipakai membeli Alat Pelindung Diri (APD) tenaga medis.

Pasalnya, APD tenaga medis dalam mengatasi penyebaran covid-19 ini sangat minim. Padahal, mereka ‘panglima perang’ dalam upaya memutus mata rantai penyebaran virus yang mematikan ini.

BACA JUGA: Rumah Sakit Kekurangan Alat Pelindung Diri, Bikin Sedih

“Sampai saat ini, saya mendapatkan banyak keluhan dari para dokter tentang minimnya dukungan APD. Untuk itu, saya harapkan pemerintah harus realistis melihat kondisi bangsa saat ini. Kalau memang dana membeli APD ini enggak cukup maka hentikan proyek-proyek infrastruktur, termasuk proyek ambisius Ibu Kota Negara Baru. Nah, dana-dana ini dialihkan untuk pengendalian Covid-19 termasuk membeli APD untuk tenaga medis,” tegas Hardjuno di Jakarta, Rabu (1/4).

Menurutnya, peranan tenaga medis sangat besar. Mereka garda terdepan dalam memerangi covid-19 ini.

BACA JUGA: Pasien Corona Meningkat, Segera Tambah Alat Pelindung Diri

Karenanya, kebutuhan APD bagi tenaga medis ini sangat mendesak dan tidak bisa ditawarkan. Apalagi, persebaran Covid-19 ini makin meluas, bukan hanya di Jakarta tetapi seluruh Indonesia.

“Saya pastikan, petugas medis kedodoran tanpa dukungan APD ditengah lonjakan pasien Covid-19 ini,” jelasnya.

BACA JUGA: 39 TKA Asal Tiongkok Masuk ke Bintan, Saleh DPR: Sepertinya Ada Perlakuan Istimewa

Bahkan saat ini, sudah banyak tenaga medis, termasuk dokter bertumbangan karena terinfeksi Covid-19 ni.

“Sudah banyak kasus pasien virus corona meninggal dunia karena rumah sakit rujukan tak mampu lagi menampung tingginya pasien,” tuturnya.

Efek lanjutanya, ujar Hardjuno, banyak pasien dan calon pasien non Covid-19 yang terbengkalai dan akhirnya meninggal dunia, karena tenaga medis di rumah sakit energinya terkuras untuk menghandle pasien Covid-19.

“Jika tenaga medis tertular karena minimnya APD, maka risikonya sangat besar sekali. Bisa menularkan ke pasien lain, ke keluarganya dan tidak bisa menolong pasien. Dan akhirnya korban pasien Covid-19 makin tak terbendung serta makin eskalatif,” ujarnya.

Meskipun agak terlambat, Hardjuno mendukung langkah pemerintah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Namun dia meminta pemerintah untuk memastikan ketersediaan kebutuhan bahan pokok di seluruh daerah, termasuk juga fasilitas-fasilitas kesehatan yang dapat mendukung terpenuhinya kebutuhan masyarakat, antara lain masker, hand sanitizer, dan juga disinfektan.

Hal ini sudah diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Pasal 52 ayat 1 disebutkan Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

“Jadi harus ada jaminan dari pemerintah bahwa kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Kalau tidak ada jaminan maka rakyat akan marah. Dan yang rugi yang pemerintah,” tegasnya.

Sebelumnya, pemerintah mengatakan pembatasan berskala besar mengacu kepada tiga dasar, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Bencana, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, dalam hal ini adalah darurat sipil.

Akan tetapi kata Hardjuno, penggunaan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya tidak tepat dalam mengatasi wabah virus corona.

Apalagi penetapan status darurat sipil tidak akan membebaskan masyarakat dari bahaya virus berbahaya ini.

Justru, dia menyakini kebijakan darurat sipil hanya akan mengakibatkan kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat lantaran tidak akan menghadirkan perbaikan kondisi ekonomi bagi masyarakat kecil.

“Darurat Sipil merupakan kondisi adanya gangguan atas ketertiban umum, sehingga harus ada pembatasan hingga ke ruang privasi publik. Dengan berlakunya darurat sipil, semua ruang privasi publik akan diatur pemerintah.  Nah, dalam konteks Covid-19 ini, pengggunaan UU Darurat Sipil tidak tepat. Makanya, harus kita tolak,” tegasnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler