Sekolah Asrama Taruna Papua, Ikhtiar Mendidik Anak-anak dari Suku Terpencil Menembus Garis Batas

Rabu, 28 Agustus 2024 – 10:35 WIB
Kegiatan belajar mengajar Sekolah Asrama Taruna Papua, Mimika, Papua Tengah. Foto: dokumentasi jpnn.com

jpnn.com - Kualitas sumber daya manusia di Papua masih menjadi persoalan serius. Sekolah Asrama Taruna Papua (SATP) menjadi salah satu upaya untuk membentuk anak-anak asli Papua menjadi SDM berkualitas.

= = = = =

BACA JUGA: Freeport Indonesia Masih Mendiskusikan Perpanjangan IUPK dan Smelter Fakfak

SEKOLAH Asrama Taruna Papua berada di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.

Lembaga pendidikan yang dikelola Yayasan Lokon itu beralamat di Jalan Kutipang SP IV Jalur 6, Mimika.

BACA JUGA: Freeport Resmikan Fasilitas Baru Saat Perayaan HUT ke-79 RI

"Kami memiliki sekolah dasar dan dan sekolah menengah pertama,” ujar Wakil Kepala SATP Franco Irahewa.

Baik SD maupun SMP berasrama itu telah terakreditasi A (unggul) berdasar sertifikasi dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.

BACA JUGA: HUT RI, Ribka Haluk Persembahkan Pesawat Trans Nusa bagi Masyarakat Papua Tengah

SATP tidak hanya menyediakan ruang kelas dan tempat tinggal, tetapi juga berbagai fasilitas, termasuk lapangan sepak bola dan kolam renang.

“Luas kompleks sekolah ini 9,8 hektare,” tutur Franco.
Awalnya, pada 2019 jumlah anak didik di sekolah itu masih 291 murid yang terdiri atas 175 siswa dan 116 siswi. Dari tahun ke tahun jumlahnya bertambah.

Pada 2020, jumlah anak didik SATP bertambah menjadi 731 murid. Perinciannya ialah 466 siswa dan 287 siswi.

Syahdan, setahun kemudian jumlah murid SATP menjadi 1.104 yang terdiri atas 671 siswa dan 433 siswi.

“Sekarang ada sekitar 1.200 murid, gurunya lebih dari 200,” ujar Franco.

Pengajar mata pelajaran bahasa Inggris itu menjelaskan murid-murid SATP adalah anak-anak dari tujuh suku asli Papua, yakni Amungme, Kamoro, Damal, Dani, Mee, Moni, dan Nduga.

SEKOLAH Asrama Taruna Papua berada di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Foto: dokumentasi jpnn.com.

Adapun operasional SATP dibiayai dengan Dana Kemitraan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Franco menuturkan SATP memiliki enam pilar pendidikan dan pembinaan.

Pilar pertama ialah anak didik tidak boleh kelaparan.
“Anak harus kenyang agar bisa berkonsentrasi dalam belajar,” kata Franco.

Kedua, anak didik harus sehat. “Kami juga punya klinik kesehatan,” imbuhnya.

Ketiga, anak didik SATP harus dalam kondisi aman dan nyaman. SATP pun menyediakan tempat tinggal yang layak bagi seluruh siswa dan siswinya.

Keempat, anak didik di SATP harus tampil menarik dan percaya diri.

“Kami menyediakan pakaian, seragam, dan sepatu untuk mereka,” ucap Franco.

Kelima, SATP menyediakan pendidikan yang bermartabat dan berkualitas.

Pilar keenam ialah mendorong anak didik SATP mampu bersaing dan berkompetisi secara global.

“Kami mengirim siswa-siswa ke luar daerah, termasuk ke Jakarta, untuk mengikuti olimpiade sains,” kata Franco.

Meski SATP memiliki fasilitas lengkap dan pendidikan gratis, tidak mudah bagi para pengasuhnya membujuk anak-anak dari berbagai suku di pedalaman Papua untuk mau menimba ilmu di sekolah itu.

Franco menjelaskan biasanya para orang tua keberatan, bahkan menolak ketika anak-anak mereka harus dibawa dari kampung halaman di pedalaman menuju Mimika.

“Terkadang harus melalui drama yang tidak mudah. Sulit bagi orang tua untuk melepas anak-anak mereka yang masih kecil untuk kami didik di sini,” ujarnya.

Namun, lambat laun upaya SATP melakukan pendekatan persuasif ke suku-suku di pedalaman Papua berbuah.

Para orang tua yang anaknya dididik di SATP pun menyadari tentang pentingnya pendidikan.

“Setidaknya para orang tua di suku-suku terpencil menyadari pentingnya pendidikan dan masa depan yang lebih baik bagi putra dan putri mereka,” ucap wakil kepala sekolah yang membidangi kehumasan di SATP itu.

Menjelang HUT ke-79 RI lalu, manajemen PT Freeport Indonesia mendatangkan Greysia Polii.

Peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020 dari cabang olahraga badminton itu diminta memberikan motivasi kepada murid-murid SATP.

Greysia menilai Papua memiliki talenta-talenta luar biasa, terutama untuk atlet.

Perempuan berdarah Minahasa itu mengaku memiliki keterikatan batin dengan Papua.

“Dahulu teman berlatih saya dari Papua,” ucap perempuan berusia 37 tahun yang berultah setiap 11 Agustus itu.

Greysia Polii (tengah) bersama Roshita Wenas (kiri) berpose memegang buku Menembus Garis Batas bersama siswa dan siswi Sekolah Asrama Taruna Papua di Mimika. Foto: dokumentasi jpnn.com

Mantan atlet yang kisah hidupnya dituangkan ke dalam biografi berjudul ‘Menembus Garis Batas’ itu mengajak seluruh murid SATP terus menempa diri.

“Sekarang kalian di Mimika, siapa tahu nanti ada di internasional,” katanya.

Greysia juga mendorong murid-murid SATP berani bermimpi dan bercita-cita tinggi.

“Berusahalah menembus garis batas. Papua itu hebat,” katanya disambut aplaus panjang murid-murid SATP yang duduk bersila.

Roshita Wenas, istri Presiden Direktur PTFI Tony Wenas, juga memotivasi murid-murid SATP. Roshita meyakini anak-anak SATP bisa berprestasi seperti halnya Greysia.

“Kuncinya jangan mudah menyerah. Terus belajar yang rajin,” pesannya. (jpnn.com)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler