BERAT nian beban hidup Tasripin. Bocah 13 tahun ini harus menjadi kepala keluarga menghidupi tiga adiknya yang masih kecil-kecil. Ayah dan kakak tertuanya pergi merantau ke Kalimantan, sedangkan ibunya sudah meninggal setahun silam. Namun, kini uluran tangan mulai banyak berdatangan.
----------------
Agus Mundandar, BANYUMAS
----------------
Kisah duka Tasripin bermula ketika ibunya, Sutinah (39), meninggal dunia setahun silam. Ketika itu, Sutinah tengah bekerja mencari pasir di Sungai Mengaji. Tiba-tiba. ada batu longsor menimpa tubuhnya. Jiwanya tak tertolong saat menjalani perawatan. Sutinah meninggalkan lima buah hatinya yang empat di antaranya masih kecil. Yakni Nartim (21), Tasripin (13), Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4).
Suami Sutinah, Kuswito (41), berada di Cilacap ketika istrinya mengalami kecelakaan. Bahkan, sampai Sutinah meninggal, Kuswito tetap di Cilacap hingga akhirnya bekerja ke Kalimantan sejak delapan bulan silam. Anak sulung mereka, Nartim, sebenarnya menjadi sandaran Tasripin dan adik-adiknya. Namun, tiga bulan lalu Nartim justru memilih mengikuti jejak ayahnya merantau ke Kalimantan.
Empat anak Kuswito pun kini tinggal sebatang kara di rumah berukuran sekitar 5 x 6 m di Grumbul Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Rumah mereka pun terbilang sederhana. Berbeda dengan tetangganya yang sudah berkeramik dan bertembok, dinding rumah Kuswito terbuat dari papan serta lantainya semen yang pecah di sana-sini. Ruangan dalam pun terasa pengap lantaran sirkulasi udara tidak sempurna.
Beruntung, keluarga almarhumah Sutinah tempat tinggalnya berdekatan dengan rumah empat anak yang masih kecil itu. Keluarga almarhumah Sutinah pernah mengusulkan supaya empat anak itu dititipkan ke saudara.
’’Namun, ketika itu Kuswito bersikeras supaya anak-anak tetap berada di rumah. Dia menolak tawaran bila saudara mengasuh anak-anaknya. Kami pun merasa sedih," kata Ali Sahudin (50), paman Tasripin.
Setiap hari, Ali berusaha merawat anak-anak Kuswito dengan datang ke rumah mereka yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat tinggalnya. ’’Kalau masalah sandang dan pangan, saya rasa mereka tidak sampai terlewat. Hanya, umur mereka yang masih anak-anak membutuhkan kasih sayang orang tua,’’ jelas Ali.
Tasripin menuturkan, sejak delapan bulan lalu ayahnya merantau ke Kalimantan. Setiap bulan, ayahnya mengirim uang. Jumlahnya sekitar Rp300 ribu–Rp500 ribu. Uang itu digunakan untuk biayai hidup bersama tiga adiknya. Tasripin sudah berhenti bersekolah sejak duduk di kelas 3 SD. Dulu, dia bersekolah di SD Karanggondang, Desa Sambirata. Dia tidak mau melanjutkan sekolah karena terbentur biaya dan lebih senang merawat adik-adiknya.
Dua adiknya, Dandi dan Riyanti, kini belum sekolah. Sedangkan Daryo yang paling kecil bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Grumbul Pesawahan. ’’Adik saya tidak mau sekolah. Hanya yang kecil ikut PAUD, itu saja kalau mau berangkat,’’ kata Tasripin.
Sebenarnya, keluarga ingin Tasripin bersekolah. Namun, anjuran itu selalu ditolak.
Waktu Tasripin sehari-hari habis untuk mengurus adik-adiknya. Setiap pagi, dia memasak untuk sarapan. Seperti menanak nasi, memasak air, sampai membuatkan mi instan. Keluarga dan tetangga sering membantu memberikan nasi maupun lauk untuk bocah-bocah itu.
Tak jarang, mereka hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Untuk pakaian, Tasripin mencuci baju sendiri walaupun tidak pernah disetrika.
’’Uang kiriman dari bapak untuk membeli beras dan minyak. Terkadang beli beras sampai 15 kilogram untuk setengah bulan. Karena satu hari habis setengah kilogram untuk makan. Kalau ada uang lebih, kadang untuk jajan adik-adik. Saya bekerja serabutan, kadang mencari kayu bakar di hutan atau jadi buruh menggarap sawah,’’ katanya.
Dalam berkomunikasi, ayahnya selalu menghubungi via telepon milik tetangga atau keluarga dekatnya. Beberapa minggu lalu, ayahnya menghubungi dan akan pulang bersama kakaknya pada Lebaran mendatang.
"Bapak di Kalimantan, di perusahaan kayu. Kalau kakak saya di perusahaan sawit. Bilangnya mau pulang pas Lebaran nanti," ujarnya.
Tasripin sendiri mengaku tidak bisa membaca dan menulis. Tapi, setiap hari, dia bisa mengajari adiknya mengaji.
Namun, sejak kisah Tasripin diberitakan sejumlah media, uluran tangan mulai berdatangan. Masyarakat sekitar, lembaga sosial, hingga instansi pemerintah dan militer ramai-ramai memberikan bantuan kepada Tasripin serta tiga adiknya.
Kemarin, anggota TNI dari Kodim 0701/Banyumas dan Korem 071/Wijayakusuma melakukan bedah rumah Tasripin. Rumah dipugar agar terang dan sirkulasinya sehat. Para anggota TNI juga membuatkan WC dan memperbaiki dapur.
Selain itu, mereka merehab kamar Tasripin berukuran 3 x 3 meter persegi yang ditempati bersama tiga adiknya supaya lebih besar. Sedangkan lantai disemen ulang, halaman dipasang paving block, serta papan-papan dinding rumah yang sudah keropos diganti.
Selama bedah rumah berlangsung, Tasripin dan tiga adiknya diinapkan di Hotel Wisata Niaga, Purwokerto. Begitu masuk ke kamar nomor 246, mereka terlihat gembira dan langsung bersantai di kasur. ’’Kamarnya besar sekali,’’ ujar Tasripin.
Meski awalnya sempat takut-takut, begitu melihat banyaknya minuman segar yang disajikan, mereka langsung semringah. Mereka bergilir mengambil susu kotak dan teh kemasan yang disajikan. Nasi goreng hotel yang disajikan pun langsung disantap dengan lahap empat bocah itu.
Tasripin sampai di Hotel Wisata Niaga pukul 19.00 WIB tadi malam diantar jajaran kodim. Dia juga ditemani sejumlah saudara dan alumnus SMPN 5 Purwokerto yang memperhatikan Tasripin sejak awal.
Dandim 0701/Banyumas Letkol Inf. Helmi Tachejadi Soerjono melalui Pasintel Ruswanto mengatakan, setelah renovasi rumah selesai, Tasripin dan adik-adiknya akan pulang. ’’Rumah yang sekarang ini akan direhab sehingga lebih layak dan nyaman untuk tempat tinggal. Semoga berjalan lancar dan sukses,’’ timpalnya.
Muhamad Adib sebagai pendamping Tasripin dan adiknya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membebaskan Tasripin serta adiknya dari derita kelaparan dan suramnya masa depan. "Tasripin dan adiknya sudah bisa tersenyum serta bisa menatap masa depan dengan semangat untuk sekolah," ungkapnya. (p5/c2/ary)
----------------
Agus Mundandar, BANYUMAS
----------------
Kisah duka Tasripin bermula ketika ibunya, Sutinah (39), meninggal dunia setahun silam. Ketika itu, Sutinah tengah bekerja mencari pasir di Sungai Mengaji. Tiba-tiba. ada batu longsor menimpa tubuhnya. Jiwanya tak tertolong saat menjalani perawatan. Sutinah meninggalkan lima buah hatinya yang empat di antaranya masih kecil. Yakni Nartim (21), Tasripin (13), Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4).
Suami Sutinah, Kuswito (41), berada di Cilacap ketika istrinya mengalami kecelakaan. Bahkan, sampai Sutinah meninggal, Kuswito tetap di Cilacap hingga akhirnya bekerja ke Kalimantan sejak delapan bulan silam. Anak sulung mereka, Nartim, sebenarnya menjadi sandaran Tasripin dan adik-adiknya. Namun, tiga bulan lalu Nartim justru memilih mengikuti jejak ayahnya merantau ke Kalimantan.
Empat anak Kuswito pun kini tinggal sebatang kara di rumah berukuran sekitar 5 x 6 m di Grumbul Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Rumah mereka pun terbilang sederhana. Berbeda dengan tetangganya yang sudah berkeramik dan bertembok, dinding rumah Kuswito terbuat dari papan serta lantainya semen yang pecah di sana-sini. Ruangan dalam pun terasa pengap lantaran sirkulasi udara tidak sempurna.
Beruntung, keluarga almarhumah Sutinah tempat tinggalnya berdekatan dengan rumah empat anak yang masih kecil itu. Keluarga almarhumah Sutinah pernah mengusulkan supaya empat anak itu dititipkan ke saudara.
’’Namun, ketika itu Kuswito bersikeras supaya anak-anak tetap berada di rumah. Dia menolak tawaran bila saudara mengasuh anak-anaknya. Kami pun merasa sedih," kata Ali Sahudin (50), paman Tasripin.
Setiap hari, Ali berusaha merawat anak-anak Kuswito dengan datang ke rumah mereka yang jaraknya sekitar 20 meter dari tempat tinggalnya. ’’Kalau masalah sandang dan pangan, saya rasa mereka tidak sampai terlewat. Hanya, umur mereka yang masih anak-anak membutuhkan kasih sayang orang tua,’’ jelas Ali.
Tasripin menuturkan, sejak delapan bulan lalu ayahnya merantau ke Kalimantan. Setiap bulan, ayahnya mengirim uang. Jumlahnya sekitar Rp300 ribu–Rp500 ribu. Uang itu digunakan untuk biayai hidup bersama tiga adiknya. Tasripin sudah berhenti bersekolah sejak duduk di kelas 3 SD. Dulu, dia bersekolah di SD Karanggondang, Desa Sambirata. Dia tidak mau melanjutkan sekolah karena terbentur biaya dan lebih senang merawat adik-adiknya.
Dua adiknya, Dandi dan Riyanti, kini belum sekolah. Sedangkan Daryo yang paling kecil bersekolah di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Grumbul Pesawahan. ’’Adik saya tidak mau sekolah. Hanya yang kecil ikut PAUD, itu saja kalau mau berangkat,’’ kata Tasripin.
Sebenarnya, keluarga ingin Tasripin bersekolah. Namun, anjuran itu selalu ditolak.
Waktu Tasripin sehari-hari habis untuk mengurus adik-adiknya. Setiap pagi, dia memasak untuk sarapan. Seperti menanak nasi, memasak air, sampai membuatkan mi instan. Keluarga dan tetangga sering membantu memberikan nasi maupun lauk untuk bocah-bocah itu.
Tak jarang, mereka hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Untuk pakaian, Tasripin mencuci baju sendiri walaupun tidak pernah disetrika.
’’Uang kiriman dari bapak untuk membeli beras dan minyak. Terkadang beli beras sampai 15 kilogram untuk setengah bulan. Karena satu hari habis setengah kilogram untuk makan. Kalau ada uang lebih, kadang untuk jajan adik-adik. Saya bekerja serabutan, kadang mencari kayu bakar di hutan atau jadi buruh menggarap sawah,’’ katanya.
Dalam berkomunikasi, ayahnya selalu menghubungi via telepon milik tetangga atau keluarga dekatnya. Beberapa minggu lalu, ayahnya menghubungi dan akan pulang bersama kakaknya pada Lebaran mendatang.
"Bapak di Kalimantan, di perusahaan kayu. Kalau kakak saya di perusahaan sawit. Bilangnya mau pulang pas Lebaran nanti," ujarnya.
Tasripin sendiri mengaku tidak bisa membaca dan menulis. Tapi, setiap hari, dia bisa mengajari adiknya mengaji.
Namun, sejak kisah Tasripin diberitakan sejumlah media, uluran tangan mulai berdatangan. Masyarakat sekitar, lembaga sosial, hingga instansi pemerintah dan militer ramai-ramai memberikan bantuan kepada Tasripin serta tiga adiknya.
Kemarin, anggota TNI dari Kodim 0701/Banyumas dan Korem 071/Wijayakusuma melakukan bedah rumah Tasripin. Rumah dipugar agar terang dan sirkulasinya sehat. Para anggota TNI juga membuatkan WC dan memperbaiki dapur.
Selain itu, mereka merehab kamar Tasripin berukuran 3 x 3 meter persegi yang ditempati bersama tiga adiknya supaya lebih besar. Sedangkan lantai disemen ulang, halaman dipasang paving block, serta papan-papan dinding rumah yang sudah keropos diganti.
Selama bedah rumah berlangsung, Tasripin dan tiga adiknya diinapkan di Hotel Wisata Niaga, Purwokerto. Begitu masuk ke kamar nomor 246, mereka terlihat gembira dan langsung bersantai di kasur. ’’Kamarnya besar sekali,’’ ujar Tasripin.
Meski awalnya sempat takut-takut, begitu melihat banyaknya minuman segar yang disajikan, mereka langsung semringah. Mereka bergilir mengambil susu kotak dan teh kemasan yang disajikan. Nasi goreng hotel yang disajikan pun langsung disantap dengan lahap empat bocah itu.
Tasripin sampai di Hotel Wisata Niaga pukul 19.00 WIB tadi malam diantar jajaran kodim. Dia juga ditemani sejumlah saudara dan alumnus SMPN 5 Purwokerto yang memperhatikan Tasripin sejak awal.
Dandim 0701/Banyumas Letkol Inf. Helmi Tachejadi Soerjono melalui Pasintel Ruswanto mengatakan, setelah renovasi rumah selesai, Tasripin dan adik-adiknya akan pulang. ’’Rumah yang sekarang ini akan direhab sehingga lebih layak dan nyaman untuk tempat tinggal. Semoga berjalan lancar dan sukses,’’ timpalnya.
Muhamad Adib sebagai pendamping Tasripin dan adiknya mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membebaskan Tasripin serta adiknya dari derita kelaparan dan suramnya masa depan. "Tasripin dan adiknya sudah bisa tersenyum serta bisa menatap masa depan dengan semangat untuk sekolah," ungkapnya. (p5/c2/ary)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Saat Tercebur seperti Lewat Polisi Tidur
Redaktur : Tim Redaksi