Semangat Martha Christina Tiahahu dan Kolonialisme Modern

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation

Sabtu, 30 Desember 2023 – 10:11 WIB
Direktur Archipelago Solidarity Foundation Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok.pribadi for JPNN.com

jpnn.com - SERANGAN rakyat Kepulauan Lease terhadap Benteng Duurstede di Pulau Saparua pada tahun 1817 yang dipimpin Kapitan Thomas Matullessy menyebabkan Belanda mengirimkan pasukan untuk meredam perlawanan Thomas Matulessy.

Serangan pertama Belanda berada di bawah Komando Mayor Beetjes. Namun, serangan pertama ini menyebabkan kekalahan pasukan Mayor Beetjes.

BACA JUGA: Yang Terhormat Presiden Jokowi, Inilah Petisi Rakyat Maluku soal Blok Masela

Ekspedisi kedua pasukan Belanda ke Saparua dipimpin Mayor Meijer pada September 1817 yang melibatkan pasukan besar dan senjata lengkap.

Ekspedisi ini menyebabkan satu per satu negeri di Kepualauan Lease berada di bawah kendali pasukan Belanda. Tapi, ketika hendak menaklukkan perlawanan di Negeri Ullath dan Negeri Ouw pada November 1817, Pasukan Mayor Meijer mendapat perlawanan dari pasukan Martha Christina Tiahahu yang saat itu berusia 17 tahun.

BACA JUGA: Engelina Pattiasina: Jangan Lagi Mengelola Blok Masela seperti Gaya Kolonial

Martha Christina lahir pada 4 Januari 1800. Martha sangat dekat dengan ayahnya, Kapitan Paulus, karena ibunya telah meninggal ketika Martha Christina masih berusia kanak-kanak.

Kapitan Paulus Tiahahu merupakan Raja Negeri Abubu di Nusa Laut dan juga rekan seperjuangan Kapitan Thomas Matulessy.

BACA JUGA: Pernyataan Keras Engelina Merespons Pengembangan Blok Masela Mau Balik ke Laut

Pertempuran Ullath-Ouw ini menyebabkan Mayor Meijer menderita luka parah, sehingga komando pasukan Belanda beralih ke tangan Kapten Vermeulen Krieger yang juga menderita luka meski tidak separah Mayor Meijer. Sedangkan, kolega mereka Letnan Richemont tewas dalam pertempuran.

Perwira Krieger yang dihadapi Martha Christina ini bukan tentara sembarangan, karena pernah terlibat dalam pertempuran Waterloo. Di kemudian hari dikirim ke beberapa daerah termasuk ke Jawa untuk menghadapi perlawanan.

Namun, perlawanan Martha Christina Tiahahu tidak sebanding dengan kekuatan dan senjata pasukan Belanda. Ullath dan Ouw juga jatuh ke tangan Belanda. Satu per satu pimpinan perlawanan ditangkap Belanda, termasuk Raja Abubu Kapitan Paulus Tiahahu yang harus menjalani hukum tembak mati.

Kehilangan ayahnya, Martha Christina menjadi pribadi yang hampa. Apalagi, Thomas Matulessy dan kawan-kawan dieksekusi pada 16 Desember 1817.

Di akhir Desember 1817, Kapal Evertsen mengangkut tahanan yang ditangkap untuk dibuang ke Jawa.

Di kapal ini, Martha Christina juga merupakan salah satu tahanan yang hendak di bawa ke Jawa. Tetapi, Martha Christina melakukan perlawanan dalam diam, karena tidak mau makan dan minum obat yang diberikan kepadanya.

Kapal Evertsen belum meninggalkan Laut Maluku pada 2 Januari 1818, ketika Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas terakhir. Jenazahanya dimasukkan ke laut dengan penuh penghormatan.

Di masa Indonesia merdeka, Martha Christina Tiahahu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1969.

Semestinya, Martha Christina memiliki tempat sendiri dalam sejarah Indonesia. Martha Christina bertindak melampaui zamannya.

Martha Christina telah mempertaruhkan jiwa dan raga dalam usia muda sebagai pemimpin pertempuran. Semangat perlawanan ini tumbuh dari semangat melawan kolonialisme dan penindasan terhadap rakyat.

Kekayaan rakyat Maluku beruapa rempah yang memiliki nilai ekonomis pada masa itu bukan sekadar menghasilkan penindasan, tetapi juga kolonialisme, di mana kekayaan rakyat diambil begitu saja tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat yang merupakan pemilik dari kekayaan alam.

Tentu, setiap zaman memiliki tantangannya sendiri. Era Martha Christina telah berlalu sekitar dua abad, tetapi ada satu pertanyaan sederhana, apakah praktik kolonialisme telah benar-benar berlalu atau justru praktik kolonialisme hadir dalam kemasan berbeda. Tetapi, pada intinya, kekayaan alam dikeruk sedemikian rupa, tetapi nyaris tidak menyisakan kesejahteraan bagi rakyat yang sesungguhnya merupakan pemilik kekayaan alam.

Praktik kolonialisme modern seolah hadir dengan eksploitasi kekayaan alam secara besar-besaran di bumi Maluku, tetapi Maluku tetap berada dalam keterpurukan dan kemiskinan.

Pada masa Kolonialisme asing begitu nyata dengan menguasai dan mengeksploitasi, sejatinya situasi saat ini tidak berbeda jauh, ketika kekayaan alam yang ada di laut dan sumber daya alam, seperti nikel, minyak dan gas bumi diambil begitu saja tanpa memikirkan nasib rakyat Maluku, yang sesungguhnya merupakan penghasil sumber daya alam.

Berbagai argumen bisa saja dibangun, bahwa semua itu baik-baik saja, karena memiliki kelengkapan dokumen dan administrasi, tetapi secara subtansi, persoalan ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya alam begitu nyata.

Sebab, masyarakat secara kasat mata menyaksikan, sumber daya alam itu dikuasai segelintir pemilik modal, yang seolah tak lelah mengeruk kekayaan dari bumi Maluku.

Salah satu contoh nyata, pengelolaan Blok Masela, seolah Blok Masela berada di wilayah hampa, sehingga berbagai kebijakan untuk pengembangan Blok Masela diambil secara sepihak tanpa melibatkan Maluku dan semua hanya mengacu kepada pengelolaan Migas merupakan kewenangan pusat dan semua memiliki argumen yang seragam soal kepemilikan modal.

Para pemangku kebijakan seolah lupa, modal terbesar itu berada di Maluku berupa sumber gas. Dan situasinya dibalik sedemikian rupa sehingga para pemilik seolah memiliki modal yang lebih besar dari potensi gas Blok Masela.

Perjuangan gigih beberapa tokoh Maluku (kebetulan penulis ada di dalamnya), yang meminta kepada Presiden, di tahun 2014 - 2016 untuk memindahkan Blok Masela dari laut ke darat merupakan bentuk kemarahan masyarakat Maluku atas eksploitasi kekayaan alam di buminya.

Untuk itu, perlu ada pembenahan serius dalam pengelolaan sumber daya alam, sehingga ada keadilan bagi semua pihak.

Kalau ini tidak dibenahi, sebenarnya hanya persoalan waktu, bahwa akan muncul Martha Christina, Martha Christina muda yang memiliki kesadaran dan malampaui zamannya, kalau secara substansi pengelolaan sumber daya tidak berlau adil bagi rakyat, yang sesungguhnya sah dan berhak menikmati kesejahteraan atas kekayaan alam yang ada di Bumi Maluku.

Kesadaran seperti ini tidak perlu dibangunkan dan tidak perlu diajarkan, karena keadilan bukan sebatas kata-kata, tetapi akan terasa dikemas sehalus apapun.

Suka tidak suka, fakta bahwa Maluku merupakan provinsi miskin di Indonesia di atas kekayaan sumber daya alam luar biasa menjadi pekerjaan rumah bagi semua para pemangku kekuasaan di berbagai level.

Sebab, tidak jarang persoalan kemiskinan, kesejahteraan dan keadilan hanya menjadi slogan, tetapi tidak ada upaya nyata yang jelas dan terukur bagaimana mengatasi masalah itu secara substansi.

Justru, sebaliknya yang tampak jelas, bagaimana penguasaan sumber daya alam oleh segelintir pengusaha yang seolah bisa mengendalikan kebijakan Negara. Selamat mengenang dan merenungi semangat perjuangan Martha Christina Tiahahu.*

Penulis: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation


Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler