Insiden Kanjuruhan menewaskan setidaknya 125 orang menjadi peringatan keras bagi Indonesia soal keamanan pemain sepak bola dan penonton saat berjalannya pertandingan.
Apa yang salah dan apa yang bisa diperbaiki dari tragedi mematikan ini? Kami membahasnya dengan Nugroho Setiawan, Security Officer di Asian Football Confederation (AFC), yang sebelumnya menjabat sebagai Head of Infrastructure, Safety, and Security di PSSI.
BACA JUGA: Kapolda Riau Ajak Jajarannya Doakan Korban Tragedi Kanjuruhan
Pemahaman Nugroho soal keamanan saat pertandingan sepak bola tidak diragukan, karena ia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mengantongi lisensi sebagai Security Officer dari FIFA.
Sayangnya, sejak tahun 2020 Nugroho tidak lagi menjabat di PSSI.
BACA JUGA: Indonesia Hajar Guam 14 Gol Tanpa Balas, Arkhan Kaka Bikin Quattrick
“Ada situasi politik organisasi di mana saya harus menyingkir,” ujarnya.
Berikut wawancara Hellena Souisa dari ABC News dengan Nugroho Setiawan.
BACA JUGA: Briptu Fajar dan Brigadir Andik yang Gugur dalam Tragedi Kanjuruhan Naik Pangkat
Saya menyesali sekali hal tersebut terjadi, karena sebenarnya semua itu bisa dikalkulasi dan diprediksi, kemudian dimitigasi. Ada satu mekanisme yang secara umum di manajemen adalah risk management untuk membuat suatu mitigation plan.
Saya bicara ini secara normatif ya, karena saya tidak ada di lokasi saat itu. Faktor penyebab itu bisa banyak hal.
Yang pertama ada tiga poin dalam penyelenggaraan pertandingan.
Poin yang kesatu adalah kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder. Yang kedua adalah kondisi infrastruktur, ini harus dilakukan assessment. Yang ketiga adalah supporter behaviour itu sendiri yang harus kita engineering.
Ketiga aspek ini harus tersinkronisasi, dan ketika kita melakukan penilaian risiko atau risk assessment, kita akan akan menghasilkan sebuah rencana pengamanan yang disetujui bersama, jadi suatu agreed behaviour and procedure.
Nah, sinkronisasi ini mungkin yang tidak terjadi.
Mungkin ketika risk assessment dilakukan, kesimpulannya menjadi keputusan yang tidak populer, misalnya pertandingan dilakukan di siang hari, dengan pembatasan jumlah penonton, dan lain-lain. Pasti tidak populer dan tidak memenuhi aspek revenue.
Ya itu tadi, kesamaan persepsi, sampai hari ini belum tercapai. Ini merupakan suatu pekerjaan rumah untuk kita bersama.
Kemudian perilaku supporter. Kita harus sadari bahwa di FIFA ini sekarang ada safety, security dan juga services, karena sepak bola dilihat sebagai industri.
Istilah supporter juga sudah hampir ditiadakan. Yang ada adalah fans, penggemar, atau kalau ekstrem namanya altruist dan macam-macam.
Sebenarnya masalahnya itu-itu saja, dan usaha [perbaikan] ke arah situ sering terlupakan karena sibuk untuk menggelar pertandingan dan kompetisinya, mengejar klasemen, dan mengejar revenue barangkali ya.
Kita tidak bisa langsung menyalahkan aparatnya karena peraturan FIFA ini kan dibuat senetral mungkin, segenerik mungkin untuk mengakomodasi seluruh kepentingan anggota asosiasi.
Ada 200 lebih sekarang anggotanya, setiap negara pasti berbeda pendekatannya.
Nah, kita bicara kewenangan public authority, dalam hal ini kepolisian, yang punya landasan hukum sendiri.
Sementara FIFA juga punya batasan. Ini harus dikomunikasikan. Mungkin komunikasi ini, kesamaan persepsi yang saya sampaikan tadi belum tercapai dengan baik.
Stakeholder pengamanan yang utama dalam hal ini kan Kepolisian negara, kemudian ada kepentingan dari industri sepak bola. Ini harus disamakan dulu.
Pendekatan polisi mungkin adalah criminal justice, sementara kalau di industri sepak bola adalah loss prevention.
Ini kan enggak ketemu nih, jadi ini harus dipertemukan. Pasti ada titik pertemuannya itu dan kesepakatannya harus dibuat.
Misalnya begini, pengamanan di kota-kota besar seperti Jakarta mungkin persepsinya sudah mendekati kesamaan, tapi mungkin enggak ideal kalau derby Jawa Timur diselenggarakan di Jakarta.
Padahal kesiapan otoritas publiknya mungkin sudah lebih siap, karena sudah terbiasa menghadapi event-event besar. Atau mungkin kita lakukan di Bali. Ini memang sesuatu yang tidak populer. Tapi kalau kita bisa duduk melakukan cost-benefit analysis, [keinginan] semuanya mungkin bisa kita akomodasi.
Ya memang tidak maksimal, mungkin revenue tidak seperti yang diharapkan tapi tetap ada, keamanan juga tercapai, dan yang terpenting tidak boleh ada korban jiwa.
Formulanya adalah pencegahan, bukan penindakan ... dan ini di Indonesia harusnya bisa saja, tinggal kemauannya saja, dan didorong oleh political will.
Mungkin ada satu self-pride yang tidak pada tempatnya di antara para penyelenggara.
Kalau menurut kultur kita kan ini kan bukan bottom-up tapi top-down, jadi ya harus dari atas.
Mungkin instruksi presiden itu harus diterjemahkan dengan baik dalam rangka menciptakan situasi yang aman, dari atas harus menginisiasikan atau menginstruksikan perbaikan-perbaikan yang di-lead dari atas.
Sebenarnya penghentian pertandingan ini mungkin dilakukan yang pertama untuk melakukan penyelidikan. Apa penyebabnya dan bagaimana rekomendasinya.
Yang kedua, waktu penghentian ini seharusnya digunakan oleh semua pihak duduk bersama untuk merumuskan langkah-langkah perbaikan.
Satu contoh, tragedi di Heysel atau Hillsborough di Inggris.
Perdana Menteri Margareth Thatcher waktu itu menghentikan sepakbolah di Inggris selama 5 tahun.
Selama itu pemerintah dan semua stakeholder duduk bersama-sama menyusun sebuah undang-undang tentang supporter, bagaimana kenyamanan dan keselamatannya dipatuhi semua pihak.
Bagi saya penghentian ini bisa saja, tapi harus diisi dengan hal-hal yang bermakna.
Tentu saja badan independen ya. Bisa saja minta bantuan dari induk organisasi kita, kan ada AFC dan FIFA yang punya komite disiplin dan bisa juga membuat komite darurat karena ini fatality.
Bagi saya satu orang [tewas] saja sudah luar biasa apalagi ini sampai 100 orang lebih. Jadi harus badan yang lebih tinggi atau independen.
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Papua Menyalakan Lilin untuk Korban Tragedi Kanjuruhan