jpnn.com, JAKARTA - Anggota DPD RI atau Senator Teras Narang mengungkap berbagai persoalan pertanahan di daerah. Hal ini sesuai temuan masalah terkait agraria dan tata ruang.
Dari inventarisasi yang dilakukan oleh DPD RI terkait konflik pertanahan di daerah menurutnya ditemukan banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
BACA JUGA: DPD Minta BPN Optimalkan GTRA untuk Penyelesaian Konflik Pertanahan
“Ini tentunya terkait dengan penguasaan tanah ulayat untuk kawasan pertambangan, perkebunan, pariwisata dan kepentingan lainnya,” ujar Senator Teras dalam Webinar bertema Tanah dan Sumber Daya Alam dalam Otonomi Daerah Terkini yang digelar oleh Pusat Kajian Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (PUSKOD FH UKI).
Menurut Teras, persoalan tata ruang masih menjadi tantangan besar dalam agenda pembangunan nasional. Masih terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan dan adanya undang-undang sektoral, membutuhkan sinergi dari pemerintah pusat dan daerah yang diharapkan dapat menghasilkan terobosan penyelesaian masalah.
BACA JUGA: Teras Narang Ajak Berjuang Layaknya Pejuang Kemerdekaan, Begini Alasannya
Teras menyebut konflik tanah juga meliputi persoalan tapal batas dan administrasi pemerintahan dari tingkat desa bahkan hingga provinsi. Berikutnya terkait konflik dengan badan hukum akibat adanya tumpang tindih lahan, lalu konflik tata ruang yang berkaitan dengan status kawasan pemukiman hingga perkebunan warga yang kadang masih berstatus kawasan hutan.
Berikutnya persoalan yang muncul menurut Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu, terkait sebaran pertanahan dan tata ruang di 34 provinsi.
BACA JUGA: Teras Ajak Semua Pihak Sikapi Perkembangan Covid-19 Terkini Secara Luar Biasa
“Berdasarkan temuan dari pengawasan kami juga, pertama ditemukan masalah menyangkut Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reformas Agraria yang kami temukan belum dapat dijalankan secara optimal,” sambungnya.
Perpres ini menurutnya menghadirkan peluang dan juga sekaligus titik lemah dalam mengatasi persoalan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Pada satu sisi hadirnya perpres memberi peluang bagi masyarakat untuk mengusulkan objek TORA dari sumber tanah yang tersedia.
Pada sisi lain, keberadaan TORA yang tidak diawasi dan diselesaikan dengan baik akan memicu terjadinya konflik di masyarakat. Khususnya mengenai kejelasan status lahannya.
“Terakhir dari temuan kami, program sertifikasi tanah, komite I DPD RI memandang bahwa masyarakat masih mengeluhkan dan merasa kesulitan untuk melakukan sertifikasi bidang tanah yang mereka miliki. Apalagi kalau tanah berada di kawasan hutan, memerlukan langkah yang cukup rumit. Karena harus mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan” ujarnya.
Teras mengakui persoalan terkait tata ruang tidak sepenuhnya merupakan urusan Kementerian ATR/BPN namun juga kementerian lain. Sehingga menurutnya PUSKOD FH UKI didorong membuat suatu kajian.
Terutama dalam rangka untuk memberikan pemahaman dari sisi keilmuan upaya penyelesaian atau mengurangi terjadinya sengketa pertanahan.
Temuan Teras sendiri tidak ditampik. Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Surya Tjandra, mengakui persoalan pertanahan dan tata ruang ini kerap beririsan pada bidang kelautan, kehutanan, pertambangan dan agraria.
“Kombinasi dari berbagai persoalan ini melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang kalau tidak ditata dengan benar, bisa menghambat pembangunan,” ujar Surya.
Surya mencontohkan Provinsi Sulawesi Tenggara yang sebenarnya tidak begitu luas wilayahnya, namun punya sekitar 450 pulau yang masing-masing memiliki kandungan mineral.
Dalam kenyataannya, terkait pengelolaan sebagian kewenangan ada di Kementerian ATR/BPN, sebagian lagi ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena pulau-pulau yang ada memiliki kawasan hutan. Sementara itu pulau yang memiliki kandungan mineral juga sebagian menjadi kewenangan dari Kementerian ESDM.
Ia mengisahkan persoalan yang muncuk ketika di wilayah ini ada izin pertambangan yang luasnya melebihi luasan kabupaten yang ada. Hal ini terjadi karena menurutnya penentuan lokasi tidak persis sesuai dengan dugaan adanya potensi mineral sehingga luas wilayah diperlebar.
Konsekuensi dari situasi ini kadang beririsan dengan sektor kehutanan, pemukiman warga dan sebagainya. Untuk itu menurut Surya, mesti didorong berbagai langkah sinkronisasi sekalian dirapatkan secara nasional melalui Gugus Tugas Reforma Agraria Summit.
Agenda ini mengumpulkan pemerintah daerah dalam mengurai tantangan yang ada di wilayah masing-masing. Koordinasi demikian menurutnya perlu digelar untuk membahas isu spesifik yang terkait dengan pekerjaan sektoral.
Adanya kepentingan lintas sektoral menurutnya mesti dipaduserasikan. Berbagai gagasan yang ada dikumpulkan untuk menghasilkan terobosan.Sehingga menurutnya, harapan Presiden untuk membangun Indonesia sentris dari pinggiran, dari desa dan pulau terdepan hingga perbatasan bisa diwujudkan.
“Dalam konteks itu memang dengan segala kontroversinya, UU Cipta Kerja memberikan jawaban-jawaban beberapa, yang nanti dalam implementasi perlu tetap diawasi masyarakat secara ketat,” ujarnya.
Kunthi Tridewiyanthi Ketua PusKAHA dan Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat menyoroti posisi masyarakat adat dalam konflik pertanahan. Reforma agraria menurutnya tidak jelas dalam melihat masyarakat hukum adat.
Selain itu ia menyebut, masyarakat hukum adat juga semakin terancam ruang hidupnya dengan kehadiran UU Cipta Kerja yang mendorong sentralisasi serta kemudahan perizinan yang dinilai dapat mengakibatkan kerusakan ekologi dan identitas budaya.
Dia menilai konflik yang terjadi sebagai imbas konflik masa lalu yang belum tuntas dan terus berkembang. Sehingga masyarakat adat dinilai perlu diakui dan dilindungi dengan dukungan politik pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah yang pengesahannya dinilai tidak mudah.
“Untuk daerah-daerah yang ada investasi itu agak sulit. Ini soal political will, pemahaman terhadap masyarakat adat termasuk hukum adatnya,” ujarnya.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich