JAKARTA- Pemilu yang dilakukan di Indonesia termasuk yang tersibuk di dunia. Namun, ironisnya pemimpin yang dihasilkan justru memprihantinkan karena tak sedikit di antara mereka yang tersangkut berbagai kasus hukum.
Menurut Guru Besar Ilmu psikologi Universitas Indonesia Prof Dr Hamdi Muluk, dalam 5 tahun Indonesia menggelar 1 kali Pilpres, 4 Pemilu Legislatif, 33 Pemilu Propinsi untuk memilih Gubernur dan wakilnya, 93 Pemilu Kota untuk memilih Walikota dan wakilnya, dan 403 Pemilu Kabupaten untuk memilih Bupati dab wakilnya.
"Artinya, dalam 5 tahun kita menggelar 534 Pemilu, atau sekitar 45 kali sebulan. Ini belum dihitung pemilihan kepala desa yang jumlahnya 66 ribu kepala desa. Ongkos buat ini semua besar sekali," terang Hamdi dalam sebuah diskusi di gedung MPR, Jakarta, Senin (16/4).
Namun disayangkannya, separuh dari walikota, bupati yang dipilih melalui Pemilukada tersangkut kasus hukum, khususnya korupsi. Belum lagi anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi maupun narkoba.
"Untuk bupati dan wakil bupati saja, sampai tahun 2011 ada 138 bupati dan wakil bupati yang tersangkut kasus hukum. Banyak juga anggota DPRD yanh terpilih dalam Pemilu juga tersangkut kasus hukum. Artinya sebanyak ini Pemilu yang dibuat, faktanya hanya maling-maling saja yang kita pilih," terangnya blak-blakan.
Lebih menyedihkan lagi, bupati dan wakil bupati yang tersangkut kasus hukum itu justru kasus hukum yang diduga dilakukannya sebelum yang bersangkutan terpilih sebagai bupati atau wakil bupati. "Artinya, rakyat pun memilih orang yang bermasalah," imbuhnya.
Menurut Hamdi, ada 2 jalan untuk mencegah pemimpin daerah yanh bermasalah, memberi sanksi kepada parpol dalam bentuk pelarangan minimal 2 periode pemilihan selanjutnya kalau memang calon yang diajukan parpol tersebut lantas kemudian terpilih tapi belakangan terbukti melakukan pelanggaran hukum.
"Selain itu, kalau rakyat tahu salah satu calon itu memang diajukan sebagai calon oleh parpol tertentu cacat hukum atau tersangkut kasus hukum. Maka rakyat wajib meneriakinya kalau calon tersebut cacat hukum," urai Hamdi.
Menurutnya, sejak jaman reformasais 1998, kualitas parpol yang ada di negara ini masih menunjukkan hasil yang mengecewakan. Banyak hal yang menjadikan kondisi seperti itu, salah satunya adalah faktor belum adanya tokoh yang berkualitas dan bisa diterima oleh semua pihak masuk pada partai politik tertentu karena alasan tertentu, seperti setoran. "Partai belum banyak berbuat baik, termasuk orang baik sulit masuk partai. Masuk partai dipalakin," tutur Hamdi.
Ia melanjutkan, yang terjadi saat ini sejumlah tokoh-tokoh partai relatif tidak mempunyai kapasitas. Hal itu disebabkan partai politik lebih mengedepankan aspek pendanaan bagi partainya masing-masing. "Yang terjadi saat ini orang yang tidak punya kapasitas diberi posisi. Parpol menomonasikan orang berdasarkan mana yang kuat bayar," ucapnya.
Masyarakat sendiri, menurutnya hingga saat ini berharap besar agar parpol mau menempatkan kader-kader yang berkualitas tinggi pada jajaran pengurus maupun di parlemen. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat yang sempat menurut kepada partai politik akan pulih dengan sendirinya. "Prinsipnya masyarakat dari dulu sampai sekarang tidak berubah yaitu mengedepankan orang baik. Mencari orang baik yang dijadikan pemimpin, punya kapasitas, baik, diberi posisi," pungkasnya. (ind)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Elite Golkar Dukung Survei
Redaktur : Tim Redaksi