jpnn.com - MANAUS- Hiruk-pikuk Piala Dunia tak akan terlepas dari peran jurnalis. Nah, di Piala Dunia Brasil 2014 ini, ada seorang tua yang masih tekun dengan tugas dan dedikasinya sebagai pewarta.
Melansir sebuah tulisan (feature) di FIFA.com, berikut petikan atau gambaran seorang jurnalis tertua di World Cup 2014.
BACA JUGA: Ghana Dikaitkan dengan Dugaan Pengaturan Skor
Dia adalah Hiroshi Kagawa, sosok berusia 90 tahun, wartawan asal Kobe, Jepang. Seorang pria tua kecil, keriput, namun matanya seperti terbakar ketika diajak berbicara sepak bola.
Di tengah kesibukan pewarta muda yang energik, hilir-mudik bertugas memuaskan pembaca, pendengar dan pemirsa, Kagawa otomatis tampak berbeda.
BACA JUGA: Wilmots Akui Courtois Bakal Perkuat Chelsea
Di balik kacamata tebalnya, Kagawa tenang memperhatikan pertandingan dan suasana di sekitarnya. Di saat wartawan muda dikejar deadline dan berteriak-teriak ke ponsel mereka, Kagawa tetap tenang dengan gaya lamanya, memegang pena dan kertas.
Mengingat usianya, dalam meliput Kagawa banyak dibantu awak resmi FIFA.com. Namun soal analisa dan penyajian berita, FIFA dan wartawan langganan Piala Dunia sudah mengakui kualitas Kagawa.
BACA JUGA: Sikut Mandzukic, Alex Song Dihukum 3 Laga
"Saya telah melakukan perjalanan sejauh ini," kenang Kagawa. "Itu adalah Olympiastadion di Munich, 1974 final Piala Dunia. Ini sangat jelas dalam pikiran saya. Johan Cruyff oranye dan Franz Beckenbauer putih. Aku merasa sangat berterima kasih bisa menjadi bagian dari itu," ujarnya.
Piala Dunia di Jerman (Barat) 1974 adalah turnamen Piala Dunia pertama yang diliput langsung Kagawa. Dia kemudian melanjutkan sembilan Piala Dunia berturut-turut. Argentina 1978, Spanyol 1982, Meksiko 1986, Italia 1990, Amerika Serikat 1994, Prancis 1998, di depan halamannya Jepang-Korsel 2002, hingga Jerman 2006. Berkeliling dunia demi berita sepak bola.
Saat Piala Dunia Afsel 2010, Kagawa absen. Kesehatannya yang buruk menghalanginya melihat kapten Spanyol Iker Casillas mengangkat trofi di ujung cerita Afsel 2010. Tapi sekarang di Brasil, dia kembali untuk Piala Dunia kesepuluh-nya.
"Dulu tidak ada televisi apalagi internet. Namun saya bisa bertemu dengan banyak orang di seluruh dunia, dan itu membantu saya berpikir bahwa dunia adalah tempat yang besar," ujarnya.
Di masa mudanya, Kagawa sangat antusias bermain bola. Namun di tahun 1944, dia dipanggil untuk dinas militer, ikut terlibat Perang Dunia II.
Kagawa dipercaya sebagai pilot pesawat pengebom, dan akrab dengan misi kamikaze.
"Saya adalah orang yang sangat beruntung bisa keluar dari perang dalam kondisi hidup."
Setelah penderitaan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Kagawa mengalihkan perhatiannya kembali ke sepak bola.
"Sepak bola adalah sesuatu yang positif di dunia dan itu adalah sesuatu yang saya bisa lakukan untuk membantu Jepang," kata Kagawa.
Tempat pertamanya sebagai jurnalis, dia mulai di koran sore Kyoto, sekitar tahun 1951.
"Saya ingin Jepang bergabung dengan tim top dunia dan menjadi bagian dari dunia yang lebih besar dari sepak bola," katanya.
Usai menulis di Kyoto, Kagawa kemudian menulis untuk surat kabar Sankei Shimbun di Osaka, sebelum menjadi editor di Sankei Sports.
Ketika ia tiba di Jerman (Barat) pada tahun 1974, itu adalah puncak dari satu perjalanan, dan awal dari yang lain.
Ia duduk di dekat gawang, di stadion tua Olympia di Munich, menyaksikan sejarah sepak bola.
"Game itu (final Jerman vs Belanda) adalah asal-usul sepak bola modern," kenang Kagawa.
Bagian pertama dari tulisan yang dia kirim ke Jepang adalah serangkaian majalah yang sekarang sudah dirangkum dan dikenal dengan A World Cup Journey.
Berti Vogts is A Good Man, itu kalimat pembuka di tulisannya, tentang bek Jerman Barat yang menjadi pemain terbaik dunia saat itu, mengalahkan Johan Cruyff di partai final.
Sejak saat itu, Kagawa terus tekun menulis sepak bola. Hasratnya kemudian ikut menerangi pola pikir orang Jepang akan prestasi sepak bola.
Kagawa ikut menjadi saksi langsung, ketika negaranya untuk pertama kali lolos ke putaran final Piala Dunia di Prancis 1998.
"Kebanggaan saya merasa lebih besar dari yang bisa anda bayangkan," katanya.
Reporter tua yang sekarang freelance, telah melihat negaranya menjadi kebanggaan Asia dan menghasilkan superstar dunia seperti Hidetoshi Nakata, atau Kazu Miura.
Pemain Jepang sekarang sudah tersebar di klub-klub besar Eropa. Kagawa bahagia karena dia melihat Jepang menjadi bagian dari struktur sepak bola dunia.
"Mungkin kita harus menyelesaikan wawancara ini nanti. Saya lebih suka menonton dan menulis tentang pertandingan," katanya kepada FIFA.com sambil tersenyum. (adk/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 32 Pertandingan, Belanda Tersubur, Prancis Paling Agresif
Redaktur : Tim Redaksi