Sepuluh Tahun Lalu Hanya Punya Rp 10 Ribu, Kini Jadi Eksportir Ikan

Kisah Bagyo, Korban Gempa Jogja yang Kini Jadi Pengusaha

Senin, 30 Mei 2016 – 10:01 WIB
Heronimus Bagyo Harsono dan istrinya, Brigita Maryati. Foto: Radar Jogja/JPG

jpnn.com - Pukul 05.55 pada 27 Mei 2006 menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Saat itu, gempa berkekuatan 5,9 skala richter selama 57 detik yang diikuti gempa susulan membuat banyak bangunan roboh dan lebih dari 6000 jiwa melayang.

Dewi Sarmudyahsari, Bantul

BACA JUGA: Kisah Persalinan Nining: 15 Km, Ditandu 30 Orang Selama 9 Jam

BAGI Heronimus Bagyo Harsono, peristiwa yang kini lebih dikenal dengan Gempa Jogja itu merupakan titik balik penting dalam hidupnya. Gempa sepuluh tahun lalu itu membuat rumah yang ditempati Bagyo tak berbentuk lagi.

Bagyo memang sempat terpisah dari istri dan anaknya. Beruntung, istri dan anak Bagyo selamat.

BACA JUGA: Polisi Bentuk Tim Khusus Buru Purnawirawan TNI

Kala itu relawan dan sesama korban saling membantu mengatasi penderitaan. Bagyo pun merasa tak sendirian menanggung beban.

Bagyo menuturkan, kala itu kawasan tempat tinggalnya di RT 2/RW 2, Jamprit, Panjangrejo, Pundong, Bantul menjadi salah satu daerah terparah akibat gempa tektonik. Saat kejadian, pria berusia 47 tahun ini sedang berada di Gesing, Gunungkidul untuk mengepul ikan.

BACA JUGA: Kisah Pengemis di Jakarta yang Bisa Beli Tujuh Rumah

Ikan kiriman itu langsung ditinggal dan secepat-cepatnya pulang ke rumah. Begitu sampai, istri dan anaknya tidak ada di tempat. Rumah peninggalan keluarganya yang sudah ditempati turun-temurun juga sudah tidak berbentuk.

”Semua rumah rata dengan tanah, jalan beraspal pun menganga. Sebanyak 23 jiwa saat itu harus meregang nyawa dan dengan sederhana dimakamkan bersama,” kenangnya seperti dikutip Radar Jogja (Jawa Pos Group).

Sang istri, Brigita Maryati, menimpali, saat gempa mengguncang, dia berada di rumah bersama anak dan dua keponakannya. Ketika itu, anak dan satu keponakannya sempat terjebak reruntuhan rumah.

”Puji Tuhan, anak-anak masih selamat dan tidak luka. Hanya tubuhnya penuh debu bangunan runtuh,” ujarnya.

Belum tenang mendapati guncangan hebat, isu tsunami pun beredar. Semua orang mencari selamat. Tanpa pikir panjang, Maryati membawa anak dan keponakannya berlari hingga Gabusan.

”Bapak (Bagyo, red) sampai ngomong, ‘dosa apa kok bisa begini ya’. Saya bilang, ‘yang dosa bukan hanya kamu, karena yang mengalami juga bukan hanya kami sendiri’,” kenang Maryati.

Ketika menyelamatkan diri, Bagyo hanya membawa uang Rp 10 ribu saja. Kondisi terasa kian pilu tatkala ada kerabatnya yang terluka dan dirawat di rumah sakit sehingga butuh biaya untuk obat dan membeli makan.

”Ya bagimana, uang tinggal sepuluh ribu. Tapi budhe (kerabatnya) lebih butuh. Akhirnya kami kasih untuk beli bubur kacang hijau dan dimakan bersama,” ujarnya.

Maryati dan Bagyo lantas mencari tempat sementara untuk berteduh. Bagyo tak lagi bisa bekerja sebagai pengepul ikan. ”Yang terpikir saat itu, bagaimana dan di mana kami akan tinggal,” tutur Bagyo.

Bertahap, bantuan demi bantuan pun datang mengalir. Selama kurang lebih dua bulan, keluarganya pun tinggal di gedek di bawah pohon mangga. Bantuan datang dari saudara dan teman-teman pengepul ikan di Gombong.

”Saya bikin rumah-rumahan sementara. Sampai waktu itu ada bantuan Rp 15 juta dari pemerintah, saya pakai untuk bangun rumah kembali,” ujar Bagyo.

Saat rumah mulai dibangun kembali, barulah dia kembali pada pekerjaannya. Berkat bantuan teman-teman dan nelayan, aktivitas pengepulan ikan pun jalan kembali. Sedikit demi sedikit.

Buah dari ketekunan itu membawa Bagyo sejahtera. Kini ia berbisnis ikan laut untuk pesanan ekspor. Misalnya, bawal putih, kakap, layur, dan lobster. Ia punya lima pekerja.

Terkadang, hasil sebagai pengepul ikan tak selalu baik. Namun, agar kegiatan perekonomian dari hasil laut terus berjalan, Bagyo tetap membeli panenan nelayan.

”Misal sekarang ikan lagi tidak musim, yang banyak keong laut, ya itu saja yang dijual. Kalau tidak laku buat ekspor ya lokal saja. Ambil di Pantura dan dijual di Depok,” ujarnya sembari mengepak ikan dari nelayan.

Jika ikan laut datang, langsung dikemas menggunakan es batu agar selalu fresh. Ikan yang terkumpul juga tidak bisa langsung dikirim, setidaknya menunggu hingga ikan mencapai muatan satu truk baru bisa diekspor.(ila/ong/jpg/ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Massa Ormas Berpawai, Empat Polisi Terluka


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler