Seragam Loreng Memberi Energi Macho

Senin, 26 Desember 2016 – 06:37 WIB
SIMBOLIS: Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo akan menyematkan topi baret kepada Rio Dewanto. Foto: FEDRIK TARIGAN/JAWA POS

jpnn.com - JPNN.com - Rio Dewanto berperan sebagai Kapten Satria, Yama Carlos sebagai Lettu Arga, dan Boris Bokir sebagai Serka Gulamo.

Mereka mengaku cukup puas dengan akting mereka di film Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon. Apalagi Yama yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara.

BACA JUGA: Kado untuk Angkatan Darat dan Rakyat Indonesia

Yama mengungkapkan, melihat dirinya mengenakan seragam loreng membuatnya bangga, ditambah sikap, gestur, serta pembawaan yang meyakinkan.

Dulu Yama memang bercita-cita menjadi tentara. Namun, keinginannya itu tidak mendapat restu orang tua.

’’Ya, mungkin karena saya adalah anak cowok satu-satunya, apalagi bungsu. Ya, intinya, mereka enggak rela anak cowok satu-satunya menjadi tentara,’’ jelas bungsu tiga bersaudara tersebut.

Rio juga mengakui, seragam loreng yang dikenakannya memang berhasil memberikan suntikan energi. Karena itu, dia pun menjadi lebih percaya diri.

’’Saya merasa macho saat memakai seragam ini. Saya senang juga ketemu tentara-tentara lain,’’ kata suami Atiqah Hasiholan tersebut.

Rio menyatakan, berperan sebagai tentara bukan perkara mudah seperti kebanyakan peran yang bisa didalami hanya melalui skenario. Peran tentara juga menuntut modal fisik yang menunjang.

Melalui bootcamp di Batalyon Infanteri 328 Cilodong, Depok, fisik Rio, Yama, dan Boris ditempa. Di sana, mereka berlatih fisik bersama tentara lain.

Mereka sama sekali tidak dibedakan dari tentara lain. Pelajaran bersikap, baris-berbaris, serta pengetahuan militer lain mereka pelajari di sana selama empat hari.

’’Empat hari saja kami sudah hancur lebur. Tidak terbayang kalau diteruskan,’’ ungkap Boris, lalu tertawa.

Sebelum syuting, Rio, Yama, dan Boris memang diikutsertakan dalam pelatihan khusus. Mereka dilatih layaknya tentara betulan dengan tingkat kedisiplinan dan stressing yang tinggi.

Yama menuturkan, empat hari itu terasa seperti sebulan. Selama itu juga, Rio, Yama, dan Boris tersiksa. ’’Dalam sehari, tidur kami tidak lebih dari 3–4 jam,’’ ucap Yama.

Tidak hanya berlatih, mereka juga diikutsertakan dalam beragam simulasi. Salah satunya adalah simulasi saat menghadapi serangan.

Yama menjelaskan, tidak ada pengumuman sebelumnya mengenai diadakannya simulasi. Mereka yang tengah tidur lelap dibangunkan dengan alarm. Mereka juga ditembaki entah dengan menggunakan apa. Yang jelas, suaranya begitu keras.

’’Kalau sudah begitu, kami harus menuju ke luar barak. Woy cepat, cepat. Harus ready semua. Termasuk memakai baju dan segala macam peralatan. Nanti, pelatih usil akan ngambil senjata atau helm. Terus, kami kena deh. Hahaha,’’ tutur Yama.

Kendati sangat keras, mereka ternyata kangen dengan latihan tersebut. Yama mengakui, kehidupan serta kegiatan mereka di sana dirindukannya.

Kedisiplinan yang diterapkan di sana soal waktu tidur, bangun, makan, serta kegiatan lain membuat stamina mereka terjaga dengan baik.

’’Meskipun hanya tidur 3–4 jam, kami enggak sakit lho. Padahal, biasanya kalau begadang kan suka jadi flu dan meriang,’’ jelasnya.

Selain menonjolkan sisi patriotisme dan nasionalisme, film besutan sutradara Benni Setriawan itu menyuguhkan kisah humanis. Yakni, cerita tentang pergolakan batin para prajurit saat harus bertugas ke luar negeri dengan meninggalkan orang terkasih. Mereka harus mengorbankan kepentingan pribadi untuk menunaikan tugas negara.

Ada Kapten Satria yang harus berpisah sementara dari kekasihnya, Diah (Revalina S. Temat), Lettu Arga yang harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua, serta Serka Gulamo yang mesti berpisah dari istri dan anak semata wayangnya, Si Butet.

Konflik-konflik tersebut diramu dengan manis sehingga menjadi sebuah tontonan yang layak dikenang. (and/c5/ayi)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler