Sering Dapat Teror, ke Mana-Mana Pakai Rompi Antipeluru

Kamis, 07 Februari 2013 – 08:44 WIB
HAMPIR separo hidupnya didedikasikan untuk menyelamatkan ikan lumba-lumba agar bisa hidup bebas di laut lepas. Selama itu pula, Ric O Barry kenyang dengan ancaman hingga intimidasi dari para pelaku industri pertunjukan lumba-lumba dari seluruh dunia.
----------
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
----------
Dengan sandal jepit, celana kain warna gelap, dan dipadu kaus oblong abu-abu serta topi hitam, Ric O Barry, 73, masih tampak   muda   dan energik. Dia juga mengenakan rompi antipeluru dengan logo LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk menutup tubuhnya.

"Saya beli ini (rompi antipeluru) di sebuah toko di sini,"   ujar Ric saat ditemui di sebuah hotel di kawasan Kemang kemarin (6/2).

Rompi tersebut tentu tidak untuk bergaya. Dia sengaja mengenakan baju tambahan tersebut untuk keselamatan dirinya. Sebab, belakangan keselamatannya terancam. Banyak pihak, terutama para pebisnis pertunjukan atraksi lumba-lumba, yang marah atas sikapnya sebagai aktivis penyelamat lumba-lumba. Ric mengecam keras sirkus lumba-lumba keliling yang masih diadakan di sejumlah daerah di Indonesia.

Warga Amerika itu sudah lima kali mengunjungi Indonesia untuk mendukung upaya penyelamatan lumba-lumba. Namun, pada kedatangannya kali ini, aroma intimidasi dari para pebisnis sirkus lumba-lumba keliling tercium makin kuat.

Dalam diskusi konservasi lumba-lumba di @america, Pacific Place, Jakarta, Selasa malam (5/2), sempat terjadi kericuhan. Acara yang menghadirkan Ric sebagai pembicara utama itu pun akhirnya molor beberapa menit. Sebab, tepat di depan pintu masuk gedung @america, berdiri 12 pria yang berpakaian hitam-hitam mirip petugas keamanan yang memaki-maki pengunjung dan penjaga venue tersebut.

Menurut aktivis Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Femke den Haas yang merupakan partner Ric, orang-orang yang mengaku dari Aliansi Indonesia itu mempertanyakan izin acara diskusi tersebut.  " Terutama keberadaan kami, JAAN, dalam acara itu,"   ujar Femke.

Begitu mengetahui Ric juga hadir sebagai bintang tamu, orang-orang tidak dikenal tersebut juga melabraknya. Karena itu, untuk mengantisipasi kejadian yang tak diinginkan, Ric selalu mengenakan rompi antipeluru di balik jas hitam yang dikenakannya. Tapi, saat tampil di panggung, dia buru-buru meminta izin mencopot rompinya.   "It's too hot," ujarnya.

Diskusi konservasi lumba-lumba tersebut juga dihadiri Menhut Zulkifli Hasan serta Duta Besar AS Scot Marciel. Bahkan, Menhut sempat menghampiri dan menenangkan kelompok pria pembuat kericuhan tersebut. Zulkifli lalu meminta kelompok itu untuk tidak bertindak anarkistis.

Dia hanya bilang jangan gunakan kekerasan,   ujar Femke yang mendampingi Menhut.

Sebenarnya, ancaman, intimidasi, ataupun teror bukan hal baru bagi Ric. Begitu juga bagi Femke. Sebelum datang ke Indonesia kali ini, Ric sudah mengetahui bahwa Femke berulang-ulang mendapat ancaman dan intimidasi dari sejumlah orang tak dikenal. Bentuk-bentuk intimidasi tersebut cukup meresahkan.

Ric menguraikan, sebelum sampai di @america, setidaknya ada enam orang tidak dikenal yang mendatangi rumah Femke. Mereka juga mengancam salah seorang staf Femke.

Bukan hanya itu, Femke kerap mendapat perlakuan intimidatif seperti perusakan rumah hingga pengusiran. Karena itu, sebelum bertolak ke Indonesia, Ric pun mengantisipasi agar tidak mengalami peristiwa yang dialami temannya itu. Selain dengan rompi antipeluru, Ric menyewa bodyguard yang mengawalnya ke mana pun dirinya pergi selama berada di Indonesia.

Perkiraan Ric benar. Selain mengincar dirinya dalam acara diskusi, orang-orang bayaran mengejarnya hingga ke hotel tempat menginap.

"Begitu saya sampai di hotel kemarin (Selasa) malam, ada dua orang yang berusaha membuka pintu kamar saya. Saya mendengarnya. Mereka tahu mereka tidak bisa membuka pintu kamar tanpa memiliki kunci. Tapi, mereka tetap memaksa,   tutur Ric.   Saya tahu mereka hanya ingin didengar suara hatinya dan kemudian mereka pergi, "  tambahnya.

Ric tidak sempat mengamati satu per satu wajah para demonstran dadakan itu.   "Saya melihatnya dari lubang kunci. Saya sudah laporkan hal ini ke polisi karena ini salah satu bentuk terorisme,"  kata dia.

Ric tidak ingin berburuk sangka. Namun, dia yakin, orang-orang tersebut di bawah komando para pebisnis sirkus lumba-lumba keliling. Mereka merasa terancam dengan keberadaan JAAN yang berniat menyelamatkan lumba-lumba di tanah air. Apalagi, ketika Ric dan JAAN membangun pusat rehabilitasi lumba-lumba pertama di dunia di Pulau Karimunjawa, Jawa Tengah.

Ric bersama JAAN mendirikan pusat rehabilitasi canggih tersebut hampir dua tahun lalu. Semua dibiayai sendiri. Mereka tidak ingin menodong pemkot atau pempov. Total biaya yang diperlukan hampir USD 200 ribu. Pusat rehabilitasi itu merupakan hadiah untuk Indonesia. Kenapa dipilih Karimunjawa? Sebab, sebagian besar lumba-lumba di Indonesia berada di perairan tersebut.

"Dan keluarga mereka (lumba-lumba) ada di sana. Kami benar-benar berupaya menyembuhkan lumba-lumba yang stres hingga akhirnya dilepas ke laut lagi. Setelah siap, lumba-lumba akan kami lepas karena keluarga mereka sudah menunggu di laut,"   ujarnya.

Ironisnya, selama hampir dua tahun pusat rehabilitasi itu berdiri, selama itu pula tempat tersebut kosong tanpa ada lumba-lumba yang dirawat. Ric menuturkan, pihaknya bersama JAAN sudah berupaya melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat. Mereka mengajarkan berbagai hal tentang penyelamatan lingkungan, termasuk lumba-lumba. Mereka juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.   "Kami juga memberikan English course untuk masyarakat setempat,"   ujar pria asal Miami, Amerika Serikat, itu.

Para oknum pemilik sirkus keliling yang tidak senang dengan kegiatan JAAN mulai memancing masalah. Mereka mengupayakan berbagai cara agar masyarakat menentang keberadaan pusat rehabilitasi tersebut. Oknum-oknum tidak bertanggung jawab tersebut membayar setiap orang itu hanya Rp 20 ribu.

"Tapi, syukurlah kami sudah melakukan banyak hal positif pada mereka. Jadi, hanya sebagian yang menandatangani, sebagian lainnya memilih meninggalkan acara,"  ujar Ric.

Ric mengatakan, dari sejumlah negara yang dia kunjungi di dunia, hanya Indonesia yang terus memperlakukan lumba-lumba dengan kejam. Sebagai bukti, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia, tempat sirkus lumba-lumba keliling masih ada. Di negara-negara lain, pertunjukan itu sudah dilarang karena dinilai kejam dan ilegal.

"Kalau Anda bertanya negara mana yang paling buruk memperlakukan lumba-lumba, maafkan jika saya menyebut Indonesia," ujarnya.

Suatu saat Ric pernah menyaksikan sendiri pertunjukan lumba-lumba di sirkus keliling. Pemilik nama lengkap Richard Barry O Feldman itu membeli tiket layaknya penonton lainnya. Dia terperangah melihat pertunjukan tersebut. Sebagai aktivis penyelamat lumba-lumba, Ric shocked.

"Sirkus lumba-lumba keliling yang saya lihat itu mengerikan. Pertunjukan dolphins itu sangat kejam. Saya lihat, lumba-lumba itu melompat melewati sebuah lubang api,"  tegas dia.

Ric mengatakan, lumba-lumba adalah milik laut. Dia selayaknya hidup bebas di laut. Sebab, lumba-lumba adalah hewan yang mudah stres jika terlalu lama terkungkung dalam tempat yang sempit. Sejatinya, lumba-lumba berenang 40 mil setiap hari. Selain itu, tingginya kadar klorin dalam air membuat kulit dan mata lumba-lumba terbakar.

"Mereka kesakitan, tapi tidak bisa apa-apa. Suara yang berisik dari show tersebut juga membuat lumba-lumba stres. Sehingga tidak sedikit lumba-lumba yang mati muda. Padahal, jika ia tinggal di laut, usianya bisa mencapai 40 sampai 50 tahun,"  papar ayah dua anak itu.

Ric pernah menekuni bisnis pertunjukan lumba-lumba ketika menjadi trainer lumba-lumba di Miami Seaquarium, Miami, AS. Karirnya pun makin gemilang ketika bekerja sebagai pelatih lumba-lumba untuk serial televisi Flipper yang populer pada 1970-an. Ketika itu Ric meraih puncak kesuksesan.

"Saya punya mobil Jaguar, tiga mobil Porsche, Red Ford Thunderbird, dan banyak girlfriend. Tapi, sekarang ke mana-mana saya memakai sepeda,"  katanya sembari terbahak.

Kemewahan tersebut telah menjadi duka ketika salah satu di antara lima lumba-lumba yang dia latih memilih bunuh diri. Lumba-lumba bernama Kathy tersebut tewas ketika tengah bersama Ric.

Ia menarik napas dan memilih menahannya. Kemudian, ia tenggelam. "Saya tahu dia bunuh diri. Dari situ saya baru tahu ia mengalami stres setiap hari,"  kenangnya.

Kematian Kathy, si lumba-lumba nahas, menjadi titik balik dalam kehidupan Ric. Sejak saat itu Ric memantapkan diri mendedikasikan hidupnya untuk penyelamatan lumba-lumba.

Sampai akhirnya dia memutuskan membikin film dokumenter berjudul The Cove yang mengisahkan perburuan dan pembantaian lumba-lumba terbesar yang terjadi di Teluk Taiji, Jepang. Disutradarai Louie Psihoyos, film tersebut sukses secara kritik dan berhasil meraih penghargaan Oscar 2009 untuk kategori film dokumentasi terbaik.

Pada usianya yang sudah kepala tujuh, Ric masih akan terus berjuang menyelamatkan lumba-lumba. Menurut dia, meski pembantaian di Taiji cukup kejam, tidak ada teror seusai film The Cove diputar di luas di seluruh dunia. Namun, di Indonesia teror terus-menerus dialami para aktivis penyelamat lumba-lumba, termasuk dirinya. Karena itu, Ric berharap agar Menhut Zulkifli Hasan menepati janjinya untuk menindak para pemilik sirkus lumba-lumba keliling.

"Dia (Menhut) adalah orang baik. Dia sudah menekankan kepada masyarakat sirkus itu ilegal dan ada ancaman hukumannya. Dia meminta saya datang ke kantornya dan mengajak dia ke pusat rehabilitasi di Karimun, " tutur Ric.

"Untuk masyarakat, saya mohon berhentilah membeli tiket sirkus lumba-lumba keliling,"  tandas dia. (*/c5/c10/ari)



BACA ARTIKEL LAINNYA... Tinggalkan Kampung Halaman, Putu Jadi Guru Gamelan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler