jpnn.com, JAKARTA - Dalam beberapa waktu terakhir, sertifikasi halal menjadi topik yang banyak diperbincangkan oleh pelaku usaha.
Isu utama yang kerap muncul adalah biaya sertifikasi yang dianggap mahal dan proses pemeriksaan yang dinilai memakan waktu lama.
BACA JUGA: Babe Haikal: Sertifikasi Halal Adalah Tanggung Jawab Mulia
Ditengarai ada keterlibatan calo berkedok konsultan yang membuat proses sertifikasi halal menjadi lebih mahal dan rumit.
Untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai hal ini, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) LPPOM menyelenggarakan Media Gahtering pada 19 Maret di Hotel Grandhika Iskandarsyah, Jakarta.
BACA JUGA: Hijrahfest 2025 dan Woman Festive jadi Wadah Perkuat Ekosistem Halal
Pada kesempatan ini hadir sebagai narasumber Direktur Utama LPH LPPOM Muti Arintawati dan Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia (ALPHI) Elvina A. Rahayu.
Menurut Muti Arintawati, implementasi tarif di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan.
BACA JUGA: Berkunjung ke Pabrik Ajinomoto, BPJPH Mendorong Pengembangan Ekosistem Halal Nasional
Sebagian pelaku usaha merasa biaya yang harus dikeluarkan cukup besar, terutama bagi usaha mikro dan kecil. Namun, dia menegaskan bahwa tarif yang ditetapkan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Sebagian besar biaya dari tarif pemeriksaan halal dialokasikan untuk operasional lembaga, edukasi kepada masyarakat dan pelaku usaha, serta program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mendukung peningkatan kesadaran halal di Indonesia,” ujar Muti.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul dari pelaku usaha adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat halal.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 pasal 82, lama waktu pemeriksaan halal mengikuti standar Service Level Agreement (SLA) yang telah ditetapkan.
Dalam skema reguler, proses sertifikasi halal dimulai dari pendaftaran di Sistem Informasi Halal (SiHALAL) BPJPH yang memakan waktu maksimal dua hari.
Setelah itu, BPJPH akan melakukan verifikasi dokumen dalam 1 hari sebelum meneruskan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Di LPH, pelaku usaha akan menerima informasi mengenai biaya dalam waktu 2 hari, dan pembayaran serta penerbitan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD) oleh BPJPH dilakukan dalam lima hari kerja.
Proses pemeriksaan oleh LPH mencakup verifikasi dokumen, audit lapangan, serta uji laboratorium jika diperlukan, berlangsung maksimal 10 hari untuk usaha dalam negeri dan 15 hari untuk usaha luar negeri, yang dapat diperpanjang maksimal 10 hari kerja. Setelah itu, laporan hasil audit akan diajukan ke Komisi Fatwa MUI yang memiliki waktu maksimal 3 hari untuk menetapkan kehalalan suatu produk.
Muti menjelaskan bahwa dalam kondisi ideal, keseluruhan proses ini bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari satu bulan.
Namun, dalam praktiknya, keterlambatan sering terjadi karena kurang siapnya perusahaan dalam menyiapkan dokumen dan implementasi SJPH.
“Yang membuat lama proses sertifikasi halal adalah banyaknya hal-hal yang belum memenuhi kriteria, seperti belum adanya penggunaan bahan baku yang tidak halal, dokumen halal bahan baku yang tidak memadai, serta masih ditemukannya penggunaan fasilitas bersama dengan produk-produk yang masih bersinggungan dengan bahan haram dan najis,” kata dia.
Muti menekankan pentingnya mewaspadai calo yang mengaku konsultan, padahal hanya memungut biaya besar, tanpa membantu proses sertifikasi halal.
“Pelaku usaha perlu cermat memperhatikan rincian biaya apabila menggunakan jasa konsultan. Waspada terhadap calo berkedok konsultan yang hanya mengambil untung!” pungkasnya.
Meski sering dianggap mahal dan lama, tarif dan waktu pemeriksaan halal telah diatur dengan standar tertentu agar tetap transparan dan efisien. “Persiapan yang baik termasuk pemahaman dan implementasi SJPH, maka dapat mempercepat dan mempermudah proses sertifikasi halal,” tegas Muti. Dengan semakin meningkatnya kesadaran halal di Indonesia, diharapkan proses ini dapat terus berkembang dan menjadi lebih mudah diakses oleh seluruh pelaku usaha.
“Sertifikasi halal merupakan bagian dari regulasi yang melibatkan berbagai pihak, termasuk BPJPH sebagai regulator, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai otoritas pemberi fatwa, serta LPH yang bertugas melakukan pemeriksaan kehalalan produk. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk memahami bagaimana proses sertifikasi halal dilakukan dan bagaimana tarifnya ditentukan agar tidak terjadi kesalahpahaman,” ujar Elvina.
Sementara itu, Elvina Rahayu menjelaskan biaya sertifikasi halal dipengaruhi oleh skala usaha, jenis produk, serta jumlah fasilitas (pabrik/outlet) atau cabang yang dimiliki oleh pelaku usaha.
Tarif ini telah diatur secara resmi oleh BPJPH melalui beberapa regulasi, yaitu Keputusan Kepala BPJPH 141 Tahun 2021, yang kemudian direvisi menjadi Keputusan Kepala BPJPH 83 Tahun 2022, dan yang terbaru adalah Keputusan Kepala BPJPH Nomor 22 Tahun 2024.
Oleh karena itu, besaran biaya yang dikenakan oleh LPH dalam proses pemeriksaan halal telah memiliki dasar aturan yang jelas dan bukan merupakan angka yang ditentukan secara sembarangan.
Sebuah restoran waralaba dengan puluhan hingga ratusan cabang tentu memerlukan proses audit yang lebih kompleks dibandingkan dengan warung makan kecil yang hanya memiliki satu outlet. Hal ini berpengaruh pada jumlah auditor dan hari yang dibutuhkan selama proses audit, sehingga biaya yang dikenakan pun akan berbeda.
“LPH itu, menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah saksi ulama. Pekerjaan kami ini cukup berat, maka kami [LPH] perlu bekerja secara profesional. Halal itu gratis, tapi pemeriksaan halal itu tidak gratis. Sertifikasi halal itu proporsional. LPH itu juga bagian dari ekosistem yang melakukan proses bisnis halal. Yang utama, bagaimana kami melakukan proses pemeriksaan kehalalan ini dengan cara yang halal,” ungkap Elvina. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Penyebab Prajurit TNI Serang Polres Tarakan
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti