jpnn.com, JAKARTA - Aksi teror dan ekstremisme-kekerasan kembali terjadi di Sulawesi Tengah. Tepatnya, di Dusun Lewonu, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah.
“Dari penelusuran beberapa sumber dan informan SETARA Institute di Sulawesi Tengah, empat warga dalam satu keluarga dibunuh secara sadis. Selain itu, satu rumah yang digunakan untuk beribadah dan enam rumah dibakar,” kata Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam keterangan tertulis, Minggu (29/11/2020).
BACA JUGA: Tokoh Jayawijaya Papua: Jangan Biarkan, Mereka Jual, TNI dan Polri Beli
Untuk mengantisipasi terjadinya serangan lanjutan, menurut Bonar, ratusan warga diungsikan ke tempat yang lebih aman di Kabupaten Sigi.
Lebih lanjut, Bonar mengatakan terkait dengan tragedi tersebut, SETARA Institute menyampaikan beberapa pernyataan, sebagai berikut.
BACA JUGA: Analisis Brigjen TNI Farid Makruf Soal Teroris Mujahidin yang Membantai Satu Keluarga di Sigi
Pertama, SETARA Institute mengutuk tindakan biadab oleh kelompok bersenjata tersebut dan turut berdukacita atas meninggalnya warga sipil yang menjadi korban serangan komplotan teroris di Sulawesi Tengah.
Kedua, dalam analisis SETARA Institute, tindakan kekerasan bersenjata secara sadis tersebut diduga dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, sisa-sisa kelompok Santoso yang belum berhasil diringkus oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala.
BACA JUGA: Pemuda Katolik Mengutuk Keras Kejahatan Sadis di Sigi
Untuk diketahui, jarak antara Poso Pesisir Utara, dimana MIT sebelumnya berbasis dan melakukan aktivitas, dengan Lemban Tongoa hanya sekitar 23-25 Kilometer. Kabupaten Sigi sendiri secara geografis berada di antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong yang selama ini dianggap sebagai teritori MIT Poso.
Ketiga, SETARA Institute mendesak agar Satgas Operasi Tinombala yang masa tugasnya sudah diperpanjang sampai 31 Desember 2020 agar mengoptimalkan sisa masa tugas untuk perburuan belasan anggota MIT Poso yang masih berkeliaran di hutan dan pegunungan sekitar Poso.
Komplotan teroris Poso tersebut tidak boleh diremehkan, apalagi dianggap lemah. Pasca-tewasnya Santoso dan tertangkapnya Basri pada 2016, Ali Kalora telah mengambil alih kepemimpinan MIT Poso dan hingga kini tak tersentuh aparat.
“Satgas dan seluruh aparat keamanan harus menjamin seluruh warga negara, termasuk di pedalaman dan pegunungan Sulawesi Tengah, dari serangan kelompok manapun yang mengancam keamanan dan keselamatan (human security) mereka.”
Keempat, SETARA Institute mendesak pemerintah, khususnya aparat keamanan, untuk tidak lengah dalam mengantisipasi konsolidasi dan bangkitnya sel-sel tidur terorisme dan ekstremisme-kekerasan.
Peningkatan kekecewaan publik belakangan ini atas kinerja pemerintahan di berbagai bidang, dalam seluruh cabang kekuasaan, dapat dimanfaatkan oleh sel-sel tidur dan jaringan terorisme dan ekstremisme kekerasan untuk mendapatkan momentum dan melakukan konsolidasi.
Kelima, terorisme dan ekstremisme-kekerasan tidak mengenal agama. Oleh karena itu, SETARA Institute mendorong tokoh lintas agama untuk sama-sama mengutuk kekerasan yang digunakan oleh kelompok tertentu atas nama agama.
Selain itu, mereka hendaknya bersama-sama membangun kehidupan keagamaan yang teduh. SETARA Institute mendorong mereka untuk mengaktualisasikan spirit Rencana Aksi Rabat Maroko 2012 dan Deklarasi Beirut Lebanon 2017, bahwa kebencian yang menghasut terjadinya diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan, adalah ‘musuh’ bersama lintas agama.
Terakhir, dalam konteks yang sama, SETARA Institute juga mengimbau agar kasus terorisme dan ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah tidak dimanfaatkan sebagai isu sosial-politik apapun oleh kelompok manapun untuk memantik segregasi sosial-politik atau sosial-keagamaan di tengah-tengah masyarakat.(fri/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Friederich