Setelah Bima, Mana Lagi?

Sabtu, 28 Januari 2012 – 04:59 WIB

KEPUTUSAN Bupati Bima ,Nusa Tenggara Barat, Ferry Zulkarnain menghentikan eksplorasi PT Sumber Mineral  Nusantara (SMN), Sabtu (28/1) diharapkan mampu meredam gerakan  amuk massa di Kecamatan Lambu, Sape dan Langgudu, Bima. Pencabutan SK 188 Tahun 2010, yang memberikan izin eksplorasi emas kepada PT SMN adalah buntut dari  gerakan amuk masa warga Kecamatan Lambu dan Sape yang keberatan dengan penerbitan izin tambang itu.

Kamis (26/1) puluhan ribu warga Lambu dan Sape, Bima melakukan unjuk rasa yang berbuntut amuk masa membakar habis kantor Bupati Bima. Usai membakar kantor bupati,  puluhan ribu orang itu kemudian menuju ke Lembaga Pemasyarakatan Bima menuntut dibebaskannya 53 tahanan yang ditahan terkait unjuk rasa dan pemblokiran Pelabuhan Sape. Akibat desakan puluhan ribu masa, akhirnya pihak Lembaga Pemasyarakatan melepaskan ke 53 warga yang ditahan itu.

Pembakaran kantor bupati Bima patut disayangkan.  Lagi-lagi ini membuktikan bahwa pemerintah daerah maupun polisi gagal menyelesaikan persoalan dengan warganya. Lagi-lagi, pemerintah setempat lamban dalam merespon aspirasi rakyatnya, yang sejak awal sudah terang-terangan menyatakan menolak eksplorasi tambang emas di wilayahnya.

:TERKAIT Kasus pembakaran kantor bupati di Bima merupakan peringatan serius bagi pemerintah pusat dan daerah agar berlaku adil dan memperhatikan aspirasi rakyat. Karena amuk masa  merupakan akumulasi  ketidakpercayaan rakyat pada penegakan hukum. Amuk massa semacam ini  dapat terjadi dimana saja apabila para penguasa mengabaikan rasa keadilan, mempermainkan hukum dan memperkaya diri sendiri.

Kasus Bima adalah satu dari sekian kasus sengketa antara rakyat dengan penguasa yang berujung tindakan anarkis dalam pekan-pekan terakhir.  Tragedi ini juga semakin mengukuhkan  anggapan selama ini, bahwa instrument negara dalam penegakan hukum dan menjaga ketertiban umum telah lumpuh.

Pemerintah perlu instropeksi dan memastikan kepada rakyat dan segera membenahi diri, sehingga diperoleh kepastian bahwa pemerintah mampu menegakkan “law and order” yang menjamin ketertiban sosial. Selama ini, pemerintah selalu mendewakan investasi tak kecuali kepala daerah demi mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun, tidak jarang mereka lupa, bahwa tujuan investasi adalah untuk menyejahterakan rakyat.  Pemerintah, juga pemerintah daerah sering harus berhadapan, dan bahkan bersengketa dengan rakyatnya demi memuluskan investasi yang menurut mereka akan memberikan pundi-pundi keuangan bagi daerahnya. Kasus Bima bisa menjadi contohnya.

Namun, bagaimana jika rakyatnya sudah menolak seperti apa yang terjadi di Lambu dan Sape? Bukankah hal ini berarti juga sudah menolak kehendak rakyat?

Jika yang diperjuangkan sudah tidak sepakat dengan tambang, lantas siapa yang diperjuangkan? Lantas bupati memperjuangkan kepentingan siapa?

Dari pertanyaan-pertanyaan seperti itulah, perlunya pemangku kekuasaan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Bukan memberikan kesan, mengabaikan aspirasi masyarakat luas  dan memberikan kesan lebih berpihak kepada pemodal ketimbang terhadap rakyatnya.

Dalam tataran yang lebih besar, kasus Bima kembali mengukuhkan anggapan  bahwa kita sedang menghadapi krisis kepemimpinan. Ketidak tegasan dalam menghadapi berbagai masalah, telah membuat situasi dan kondisi negeri terus dalam ketidak pastian sosial. Jika ini  terus terjadi, dikhawatirkan akan berujung pada disintegrasi bangsa.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  selaku penanggung jawab pemerintahan nasional jangan terlalu lama diam dan membisu. Harus segera diambil tindakan tegas  dan bertanggung jawab  untuk mengatasi persoalan-persoalan sengketa dengan rakyat. Jangan sampai sejarah mencatat, ditangan SBY–lah Indonesia berakhir dalam sejarahnya. (***)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler