Hilangkan kebencian! Kata Mohed.
Sekian puluh tahun kemudian, Mohed, yang waktu kecil dididik dengan penuh kebencian, memiliki lebih dari seratus perusahaan. Di seratus negara.
BACA JUGA: Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan
Menarik: dia orang Syria. Suku Badui. Yang dulu hidup berpindah-pindah di padang pasir. Kini Mohed tinggal di Prancis Selatan.
”Itulah kunci sukses saya,” ujar Mohed Altrad yang tahun lalu terpilih sebagai World Entrepreneur of the Year di Monaco.
BACA JUGA: Di Saat Ali Meninggal, Komedi Tidak Mati
Mohed sendiri tidak tahu tanggal lahirnya. Maklum: lahir di padang pasir. Kira-kira saja kini berumur 68 tahun. Anak-anaknyalah yang belakangan memutuskan tanggal berapa Mohed lahir. Agar bisa merayakan ulang tahun sang ayah.
Sejak kecil Mohed tidak punya ibu. Sang ibu meninggal. Ketika umur sang ibu masih remaja. Waktu itu sang ibu terpaksa hamil: diperkosa seorang tokoh sukunya. Lahirlah Mohed.
BACA JUGA: Humor Tinggi dan Marahnya Seorang Presiden Santun
Tanpa ibu, Mohed diasuh neneknya. Ikut pindah-pindah. Sesuai dengan kebiasaan suku nomaden. Dari satu oase ke gurun yang lain.
Akhirnya Mohed kecil diajak menetap di dekat Kota Raqqa. Kota kecil yang kini sangat terkenal itu: ibu kota Negara Islam Iraq dan Syria (ISIS).
Di Raqqa-lah Mohed ingin sekali sekolah. Seperti teman-temannya. Neneknya melarang. Tapi, Mohed diam-diam berangkat ke sekolah. Jalan kaki 6 kilometer. Tanpa alas kaki.
Setiap pulang Mohed dimarahi. ”Menggembala kambing tidak perlu ijazah,” kata sang nenek. Seperti umumnya anak Badui Arab, sang nenek juga harus menyiapkan sang cucu untuk jadi penggembala yang baik.
Mohed nekat. Di sekolah Mohed menemukan kebahagiaan. Juga menemukan pembebasan jiwanya. Dia menemukan cahaya. Yang akan bisa menerangi kegelapan sejarah kelahirannya. Tiap pagi dia cepat bangun. Agar keberangkatannya tidak dipergoki sang nenek.
Mohed juara sekolah.
Di semua jenjang. Sampai SMA.
Dia selalu dapat beasiswa. Termasuk saat lulus jadi sarjana. Pelajaran fisika dan matematikanya mengungguli seluruh negeri.
Pemerintah pun mengirimnya ke Prancis. Tapi, Mohed hanya bisa bahasa Arab. Maka dia harus belajar bahasa Prancis dulu di Montpellier. Enam bulan Mohed belajar bahasa di kota bibir pantai selatan Prancis ini.
Tentu itu belum cukup. ”Saat harus mulai kuliah di Paris, saya hanya mengerti 10 persen dari apa yang dikatakan profesor saya,” guraunya.
”Tapi sudah cukup untuk mencari pacar gadis asli Prancis,” tambahnya.
Fisika dan matematika memang punya kode-kodenya sendiri. Penguasaan bahasa tidak menentukan. Demikian juga pacaran. Punya bahasa isyaratnya sendiri.
Sang pacar adalah teman kuliahnya sendiri. Sesama dari pantai selatan. Hanya beda kota.
Kawin.
Dari sinilah awal suksesnya. Istri membawa rezeki.
Itu terjadi saat sang istri liburan ke kampung halamannya. Tetangganya berkisah tentang pabrik yang terancam bangkrut di kampung itu. Pabrik scaffolding. Buruhnya demo terus. Atau mogok. Khas Prancis.
Sang istri mendesak Mohed membeli pabrik itu. Hanya 1 dolar. Asal utang-utang di banknya ditanggung.
Saat itu Mohed memang sudah punya tabungan 600.000 dolar. Hasil kerja selama empat tahun di perusahaan minyak di Dubai. Belum cukup. Mohed mengajak tiga temannya berkongsi. Mohed 80 persen.
Di mana kunci suksesnya?
Keterbukaan. Ketulusan. Kesungguhan. Pertaruhan. Merebut kepercayaan buruh. Tidak egoistis. Optimistis. Tidak ada kebencian. Desentralisasi.
Mohed bercerita apa adanya kepada buruh yang suka mogok itu. Bahwa dia mempertaruhkan seluruh tabungan hasil kerjanya selama empat tahun di situ.
Dengan rendah hati dia mengaku dengan tulus: saya tidak tahu bisnis, tidak tahu mengurus pabrik, bahkan tidak tahu scaffolding itu apa dalam bahasa Prancis.
Ketulusannya, kerendahhatiannya, kenekatannya, semua itu meluluhkan hati buruh. Toh kalau pabrik itu tidak dia ambil akan bangkrut juga.
Mohed sendiri berada di pojokan: sukses atau ikut bangkrut. Tidak punya siapa-siapa. Tidak punya apa-apa.
Dia sukses.
Mohed kini menjadi pengusaha scaffolding terbesar di dunia. Terutama sejak mengambil alih perusahaan scaffolding Jerman yang jadi pesaingnya.
Kelihatannya industri ini tidak bergengsi. Bukan pula sesuatu yang tampak modern. Tapi, tiap tahun Mohed mengakuisisi perusahaan scaffolding di negara yang berbeda. Termasuk di Amerika.
Mohed mempertahankan kantor pusatnya di Kota Montpellier. Dengan hiasan Ferrari, Lamborghini, dan sejenisnya.
Dengan hanya 25 staf.
Mohed menganut desentralisasi untuk mengurus anak-anak perusahaannya: sepakati beberapa hal pokok, serahkan gaya ke masing-masing, komunikasikan.
”Mungkin karena saya pernah hidup di padang pasir,” katanya. ”Terbiasa dengan kebebasan penuh.”
Tapi, Mohed tetap sulit tidur. Idenya terlalu banyak. Dia tidak bisa minum-minum di bar, atau rekreasi atau olahraga.
Dia hobi menulis.
Malam-malamnya dia sibukkan dengan menulis. Hasilnya menakjubkan: Badawi. Sebuah novel tebal tentang suku Badui. Lebih tepatnya tentang perjalanan hidupnya.
Novel itu berkembang menjadi trilogi. Sastrawan Montpellier memberinya penghargaan sastra. Juga menulis rekomendasi: agar novel itu dibaca semua anak sekolah.
Wali kota Montpellier ikut bersandar kepadanya. Saat klub bisbol kebanggaan kota itu terancam kesulitan keuangan, sang wali kota merayunya untuk menyelamatkannya. Jadilah Mohed yang tidak pernah berolahraga itu bos pemiliknya. Namanya pun banyak ditempelkan di prasasti gedung itu.
”Biasanya, untuk orang Badui, seumur hidup namanya hanya ditulis satu kali di prasasti,” katanya. ”Yakni saat meninggal dunia. Ditulis di batu nisan.”
Mohed mengungkapkan semua itu saat berpidato di Monaco tahun lalu. Saat dia menerima penghargaan dari Ernst & Young sebagai Entrepreneur of the Year.
Saya pernah menghadiri forum itu, di situ, di hotel itu, tapi bukan tahun itu. Yakni saat saya terpilih sebagai Entrepreneur of the Year Indonesia. Oleh Ernst & Young. Untuk diadu di tingkat internasional di Monaco. Sekalian nonton F1 yang balapannya lewat jalan di depan hotel.
Saya tidak terpilih. Yang terpilih adalah pengusaha alat kesehatan dari Jerman. Bukan dokter. Bukan sarjana. Tapi, bisnis alat kesehatannya mendunia. Bahkan, dia menemukan alat perekam otak. Sangat pantas dia terpilih. Saya bukan apa-apanya.
Tahun lalu Mohed yang terpilih. Juga sangat pantas.
Apalagi, Mohed sangat unik: Islam, Arab, minoritas, lagi terpojok isu imigran, terorisme, dan kebencian.
Maka suara Mohed sangat pantas didengar. Karena itu, pidatonya dikutip media secara luas. Termasuk yang saya jadikan referensi ini.
Ke luar, ke pemerintah Prancis, dia menyarankan banyak hal untuk mengatasi kekerasan, kemiskinan para imigran, dan terorisme. Dia sampai diundang Perdana Menteri Prancis Francois Hollande untuk mendiskusikannya.
Kepada para imigran sendiri dia menyerukan untuk menghapus kebencian. Kepada siapa saja dan apa saja.
Saya ini, katanya, sejak kecil sudah diajari kebencian. Di mana saja ketemu orang Yahudi, saya diajari harus membunuhnya. Sejak kecil terus diajari itu. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kembali ke Kesukuan dengan Alat Keglobalan
Redaktur : Tim Redaksi