Setiap Hari Bekal Rp 5 Ribu, Guru Honorer Ini ke Sekolah Menumpang Truk Tebu

Selasa, 08 Oktober 2019 – 13:19 WIB
Hari Triyanto (kaus putih) saat aksi pembagian takjil dari para honorer, bulan Ramadan, Juni 2019. Foto: dok pribadi for JPNN.com

jpnn.com - Nasib guru honorer sampai saat ini masih memprihatinkan. Salah satunya Hari Triyanto, guru honorer di SDN Gayam Kidul 2, Kecamatan Botolinggo, Bondowoso, Jatim.

Pria yang biasa dipanggil Pak Trik itu harus berjuang untuk sampai ke tempat mengajar. Ayah dua anak ini hanya punya sepeda ontel, satu-satunya alat transportasi keluarga.

BACA JUGA: Honorer Desak Pemerintah tak Buka Rekrutmen CPNS Jalur Umum

Sepeda ini dipakai istrinya yang juga guru tidak tetap (GTT) untuk bekerja dan mengantarkan anak-anaknya sekolah.

"Biar hemat saya menumpang truk tebu, pick up. Kadang menumpang ke sesama guru yang searah sekolah tempat saya ngajar. Ini setiap hari saya lakoni, pulang pergi cari tumpangan gratis," kata Pak Trik kepada JPNN.com, Selasa (8/10).

BACA JUGA: Kabar Ada Honorer K2 Sudah Terima SK PPPK Bikin Heboh

Dia menceritakan, sejak menikah pada 2007, sengaja hijrah dari Prajekan ke Desa Pejaten karena ikut istrinya yang juga bekerja menjadi GTT.

Saat ini dia hanya berharap pemerintah bisa memerhatikan nasib guru honorer yang kehidupannya di bawah garis kemiskinan. Untuk ke tempat tugas saja, harus menumpang truk meski berpakaian dinas.

BACA JUGA: Kepala BKN: Sebetulnya Honorer K2 Ini Kompetensinya Parah

"Mudah-mudahan ada perhatian pemerintah akan nasib kami. Kami sudah sangat lama hidup miskin. Padahal tanggung jawab kami berat harus mendidik dan mencerdaskan anak-anak didik," ucapnya.

Koordinator Honorer K2 Bondowoso Jufri mengungkapkan, banyak cerita yang menyesakkan dada. Bagaimana perjuangan para guru honorer untuk menuju ke tempat tugasnya.

"Saya kenal baik Pak Trik. Saya tahu beliau hanya berbekal uang Rp 5 ribu berangkat mengajar. Sedangkan gajinya dihitung Rp 7 ribu per hari. Terkadang Pak Trik berjalan kaki sampai ke rumahnya karena ongkos busnya tinggal Rp 2 ribu dan diturunkan di daerah Wonosari lalu berjalan kaki menuju rumahnya. Kalau menunggu truk tumpangan ada jamnya," beber Jufri.

Realita ini, lanjutnya, sangat miris sekali karena dunia pendidikan mempunyai peran cukup strategis untuk mencerdaskan anak bangsa. Bagaimana bisa bermutu pendidikan di negara ini jika kesejahteraan pendidiknya (gurunya) terabaikan dan terlupakan.

Meskipun telah mendapatkan gaji dari APBD berupa insentif daerah sebesar Rp 400 ribu per bulan ditambah BOS sebesar Rp 200 ribu, tetapi jika dihitung-hitung gajinya hanya habis untuk biaya transportasi.

"Terpaksa Pak Tri menyambung hidupnya menjual rumput pakan ternak, memelihara kambing sebagai tabungan jika beranak dan besar kemudian dijual," ucapnya.

Ijazah S1 yang dikantongi guru honorer, lanjut Jufri, hanya laku dijadikan syarat sebagai guru kelas karena PNS kurang. Giliran bicara status kepegawaian, ijazah S1 tidak dilihat lagi.

Yang dilihat adalah umur gurunya. Itu pula yang membuat banyak guru honorer K2 tua tidak bisa jadi PNS.

Kondisi ini menurut Jufri, merata terjadi di daerah pinggiran Kabupaten Bondowoso. Honorer yang merupakan garda terdepan dan menggantikan posisi para guru PNS diperlakukan tidak manusiawi.

"Beban kerja honorer yang sama dengan PNS ini yang seharusnya dijadikan dasar pemda untuk meningkatkan kesejahteraan setara UMR. Ini bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas dalam menjalankan tugas. Namun, bagaimana seharusnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para honorer yang telah mengabdi secara nyata demi mencerdaskan anak bangsa," pungkasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler