jpnn.com - Jafro Megawanto dan beberapa atlet asal Kota Batu berhasil mengharumkan nama Indonesia di Asian Games 2018 dari cabor paralayang. Siapa sebenarnya sosok Jafro dan bagaimana kehidupan kesehariannya?
ARIS DWI KUNCORO - Kota Batu
BACA JUGA: Luis Milla Dipuji Pemain, Layak Dipertahankan
Rumah di Jalan Arumdalu, Dusun Krajan, Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu, itu tampak sederhana. Cat dindingnya tampak mengelupas. Namun, dari rumah berukuran 12 meter x 7 meter itulah, terlahir atlet yang baru saja mengharumkan nama Indonesia di Asian Games.
Atlet asal Kota Batu yang mengukir prestasi di Asian Games itu adalah Jafro Megawanto, peraih medali emas di cabang paralayang. ”Piala yang besar itu dari Kazakhstan. Jafro mendapatkan juara I,” kata Budi Sutrisno, ayah Jafro, saat menerima kunjungan Jawa Pos Radar Malang di rumahnya, Kamis (23/8).
BACA JUGA: Olga Lidya: Asian Games 2018 Membanggakan
Selain Jafro, ada beberapa atlet paralayang asal Kota Batu yang mengukir prestasi di Asian Games. Yakni, Joni Efendi, Roni Pratama, Rika Wijayanti, dan Ike Ayu Wulandari.
Namun, di antara kelima atlet itu, Jafro mendulang emas terbanyak, yakni dua emas. Satu medali disumbangkan dari tim beregu putra nomor ketepatan mendarat (KTM) bersama teman-temannya, sedangkan satunya lagi dari nomor akurasi tunggal putra.
BACA JUGA: Asian Games 2018: Andritany Minta PSSI Pertahankan Milla
Prestasi Jafro terlihat dari deretan piala yang berjejer di lemari rumahnya. Mulai penghargaan paralayang di tingkat nasional hingga internasional, Jafro pernah meraihnya. Tentu saja, penghargaan yang diukir Jafro itu membuat sang ayah bangga.
Bagi Sutrisno, keberhasilan Jafro dalam setiap kompetisi tidak sekadar menunjukkan kemampuannya. Juga bukan gaya-gayaan karena berhasil mengoleksi piala. ”Semuanya demi negara,” kata Sutrisno.
Pria berusia 63 tahun tersebut menceritakan, sejak kecil Jafro senang dengan paralayang. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, anaknya itu sudah sering main ke landing paralayang.
”Dulu ya seneng main ke sana (landing paralayang di Gunung Banyak). Lalu, jadi tukang lipat parasutnya. Diberi upah Rp 5 ribu, ya sudah senang sekali,” kata Sutrisno yang sehari-hari menjadi petani tersebut.
Dari situlah, perkenalan dengan paralayang dimulai. ”Ya, tidak menduga kalau jadi seperti sekarang ini. Karena untuk menjadi atlet paralayang kan tidak sembarangan. Butuh uang dan keberanian,” kata dia sambil terkekeh.
Penghasilannya sebagai petani dan pemerah susu tidak cukup untuk membiayai Jafro. Jangankan membeli parasut yang harganya mencapai jutaan rupiah, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan tabungan pendidikan Jafro saja terkadang kurang.
Tapi, Jafro punya keberanian dan sudah cukup tahu tentang dunia paralayang. Potensi alamiah dari kebiasaannya melihat atlet paralayang latihan dan menjadi pelipat parasut inilah akhirnya diketahui para pencinta paralayang lainnya yang lebih senior. ”Ada namanya Pak Yossy yang mencari atlet paralayang saat itu,” kata dia.
Dari situlah, dia mulai latihan dan dipinjami parasut. Tapi, saat sudah senang dengan olahraga yang berisiko ini, Jafro harus berjuang sendirian. ”Karena ditinggal pindah Pak Yossy ke luar negeri. Padahal, dulu kalau ada event, kami dibayari,” kata Sutrisno sambil sesekali mengisap rokok.
Jafro juga tidak mau menyerah. Untuk latihan paralayang, dia terpaksa pinjam parasut kepada teman-temannya. ”Untungnya, prinsip saya itu harus ada tabungan dari panen, jadi sebagian uang tersebut untuk dia ikut event,” kata dia.
Mengetahui anaknya gemar olahraga berisiko, ibunya, Suliasih, selalu berpuasa. ”Setiap akan mengikuti kompetisi (paralayang), ibunya selalu berpuasa. Di Asian Games ini malah sering (berpuasa),” katanya.
Selama ini, Suliasih selalu puasa Senin dan Kamis. Setiap malam juga bangun untuk salat malam dan memanjatkan doa. Kini Sutrisno maupun Suliasih bangga mendengar anaknya meraih penghargaan di Asian Games 2018.
”Serendah-rendahnya martabat orang tua, kalau anaknya sukses, tentu akan bahagia,” terang Sutrisno yang didampingi istrinya, Suliasih.
Sementara itu, Ketua Pengurus Paralayang Kota Batu dr Benny M. Pandango menyatakan, potensi Jafro dan beberapa atlet paralayang asal Kota Batu sudah terlihat sejak di kelas junior.
”Mereka ini kan anak-anak yang tinggal dekat landing. Dulu yang hanya menjadi pelipat parasut, mereka pun tahu olahraga ini (paralayang) karena melihatnya secara langsung,” kata Benny. (*/c2/dan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Asian Games 2018: Kata Luis Milla soal Masa Depannya
Redaktur & Reporter : Soetomo