Setop Stigma Korban COVID-19, Masyarakat Harus Tingkatkan Toleransi

Kamis, 07 Mei 2020 – 16:41 WIB
Pemakaman jenazah pasien positif corona. Foto Ricardo/jpnn.com

jpnn.com, SURABAYA - Dokter Okupasi dengan Profesional di Bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Shoim Hidayat, mengatakan masyarakat harus meningkatkan toleransi di tengah pandemi corona.

Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga ini meminta masyarakat untuk tidak memberikan stigma kepada para korban yang terpapar virus Corona (COVID-19), termasuk keluarga, tetangga, maupun rekan-rekan di lingkungan kerjanya.

BACA JUGA: Ketahuilah, 3 Kemungkinan Penyebab Pasien Sembuh Covid-19 Kembali Terinfeksi

"Hal ini memang agak sulit dihindari. Karena itu, kami tak pernah bosan-bosannya mengingatkan kalau orang yang terkena COVID-19 tidak boleh disingkirkan dari lingkungannya," kata Shoim, Kamis (7/5).

Menurut Shoim, munculnya stigma kepada para korban dan orang-orang terdekatnya karena minimnya informasi akurat yang diperoleh masyarakat mengenai COVID-19.

BACA JUGA: Jokowi: Kita Harus Hidup Berdamai dengan Covid-19

Selain informasi akurat, tingkat toleransi masyarakat dinilai mulai menurun.

"Kita harus introspeksi, mungkin, karena kurangnya rasa toleransi terhadap sesama dan pengetahuan masyarakat terhadap virus ini juga perlu ditingkatkan," katanya.

BACA JUGA: Melanie Subono: Negara Sudah Gila, Takut Sama Pengusaha ya Begini

Contoh stigma yang terjadi baru-baru ini adalah penolakan jenazah yang merupakan korban COVID-19. Misalnya, seperti yang terjadi di Semarang, Jawa Tengah.

"Bayangkan, jenazah saja ditolak, sehingga masih sangat mungkin stigma ini terjadi pada korban COVID-19, terutama di kampung-kampung. Jika masyarakat mendengar orang terkena COVID-19, mereka panik, irasional, sehingga korban dikucilkan," terangnya.

Untuk itu, Shoim meminta kepada para pemangku kepentingan seperti kepala daerah, tokoh masyarakat, dan media massa untuk membantu memberikan edukasi kepada masyarakat. Jika stigma ini terus berlanjut, maka akan semakin memperkeruh suasana.

"Masyarakat harus diberikan edukasi secara terus menerus, para ahli memiliki peran untuk meluruskan pemahaman yang salah, dan media juga harus memberikan informasi yang akurat. Jadi untuk mewujudkan hal tersebut perlu kerja sama antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan," tegasnya.

"Kita juga harus menumbuhkan rasa gotong-royong antar sesama. Prioritas kita semua sekarang adalah menjaga kesehatan, sehingga pandemi ini segera berakhir," imbuhnya.

Shoim juga menekankan kepada masyarakat bahwa untuk mencegah penyebaran COVID-19, maka masyarakat harus menerapkan praktik protokol kesehatan dan kebersihan agar tidak tertular, seperti physical distancing dan pakai masker.

Sebelumnya, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah mengatakan stigma kepada korban, termasuk keluarga juga berdampak negatif terhadap kondisi fisik dan psikologis.

"Stigma akan menimbulkan marginalisasi dan memperburuk status kesehatan dan tingkat kesembuhan," katanya.

Fidiansjah melanjutkan stigma berkontribusi terhadap tingginya angka kematian. Karena itu, Fidiansjah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melawan stigma terhadap korban COVID-19.

Sebab, stigma sangat mempengaruhi imunitas seseorang yang terpapar COVID-19 dan berpengaruh dalam proses penyembuhan.

"Tentu sikap ini harus kita lawan, dan ini akan menimbulkan dampak kesehatan jiwa pada komunitas masyarakat itu sendiri," tandas Fidiansjah.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler