JAKARTA - Kantor Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) terus berupaya mencari solusi permanen terkait konflik lahan eks HGU PTPN 2. Guna menyerap masukan dari pihak-pihak terkait, kemarin (5/6) Setwapres menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menggelar workshop di gedung LIPI, Jakarta Selatan.
Selain kasus Sumut, dibahas juga kasus konflik lahan di Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur. Masyarakat korban juga hadir di acara tersebut.
Dari Sumut, perwakilan masyarakat yang hadir dan diundang adalah Harun Nuh, Ketua Umum Barisan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Dia mewakili masyarakat yang bersengketa dengan PTPN II di Langkat, Binjai, Deli Serdang.
Di acara tersebut, Harun Nuh, mengatakan, konflik agraria yang terjadi antara BPRPI dengan PTPN II harus segera diselesaikan. "Sebab telah banyak menimbulkan korban. Jika tak segera diselesaikan, konflik yang memakan korban bisa terjadi lagi," ujar Harun.
Dikatakan juga, penyelesaian yang berlarut-larut juga telah menarik kalangan calo, mafia tanah, preman dan oknum aparat. "Mereka semua terlibat dengan beragam kepentingannya sehingga proses penyelesaian menjadi semakin sulit," cetusnya.
Dia mengatakan, sebenarnya persoalannya tidak rumit. Pasalnya, menurut Harun Nuh, sudah ada keputusan Gubernur EWP Tambunan pada 24 Mei tahun 1980. Bahkan sudah ada putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tentang pengakuan dan perlindungan kampung-kampung BPRPI.
"Namun tidak pernah dijalankan dan dihormati. Bahkan, dari 61 kampung sekarang hanya tersisa 21 kampung karena diusir oleh PTPN dan aparat," sambungnya.
Harun juga menyoroti sikap Pemprov Sumut dan BPN dalam menangani kasus lahan ini, menurutnya lamban. "Ini membuktikan bahwa banyak aktor kepentingan yang terlibat dalam mempersulit, sehingga persoalan menjadi terkatung-katung," cetus Harun.
Forum workshop juga menyoroti kinerja aparat keamanan. Keterlibatan kepolisian dalam konflik agraria saat ini justru dinilai banyak membuat keadaan semakin buruk. Menurut Harun, penangkapan, penahanan banyak dilakukan kepolisian jika petani dan masyarakat adat memperjuangkan hak atas tanahnya.
"Bahkan, dalam penanganan kerapkali kepolisian melakukan penembakan kepada petani," ujarnya, seraya menyebut kasus di Labuhan Batu yang dikabarkan ada tiga petani yang ditembak.
Iwan Nurdin, Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang menjadi salah satu fasilitator dalam workshop tersebut menjelaskan, tujuan workshop tersebut untuk mendapatkan gambaran utuh tentang konflik agraria dan pilihan-pilihan penyelesaian yang mungkin dilakukan agar konflik agraria tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan di daerah.
"Rekomendasi workshop harapannya tidak hanya dapat dipakai oleh pemerintah untuk membuka kanal penyelesaian namun juga kerangka kebijakan dalam penyelesaiankonflik agraria," pungkas Iwan. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gelombang Tinggi, Perahu Pengangkut Kopra Tenggelam
Redaktur : Tim Redaksi