Shankly Dixie

Oleh Dahlan Iskan

Jumat, 20 September 2019 – 05:00 WIB
Dahlan Iskan di Victoria St, Liverpool. Bangunan di kanan itu adalah The Shankly Hotel, sedangkan di sisi kiri adalah The Dixie Dean Hotel. Foto: disway.id

jpnn.com - Untung saya terusir dari hotel. Tidak bisa lagi tambah satu malam. Padahal acara saya masih belum selesai. Di Kota Liverpool ini.

Semula saya masygul. Kok harus pindah hotel lagi. Padahal hotel kedua ini sudah pas.

BACA JUGA: Belfast Dublin

Lokasinya enak banget. Di kompleks Liverpool One. Satu kawasan pusat kota yang ditata sangat menyenangkan.

Hotel pertama saya juga enak. Di daerah marina Liverpool. Namun harus jalan kaki 15 menit ke pusat kota.

BACA JUGA: Golf Robert

Saya pun pindah ke hotel yang kedua. Di downtown. Dua malam lagi. Saya pikir cukup. Ternyata tidak.

Sebenarnya saya bisa tambah satu malam lagi, tetapi kamar yang ada hanya suite. Tarifnya Rp 10 juta/malam.

BACA JUGA: Bukan Mane

Ya sudah, pindah hotel lagi. Cari yang di sekitar Liverpool One. Semua penuh.

Akhirnya saya dapat di pinggirannya. Nama hotelnya belum pernah saya dengar: The Shankly Hotel.

Begitu masuk lobi saya terperangah: kok seperti sport bar. Lobi itu penuh hiasan foto sepak bola: dindingnya, lantainya, langit-langitnya.

Ketika saya ke toilet, ups, penanda pria-wanitanya juga khas: pria atau wanita yang lagi menyepak bola. Lantas saya ingat wajah yang fotonya bertebaran di situ.

Lho itu kan fotonya Bill Shankly. Ia manajer legendaris Liverpool FC. Zaman dulu. Prestasi Jürgen Klopp sekarang ini masih di sumur dibanding Shankly yang di langit.

"Apakah hotel ini milik Bill Shankly?" tanya saya.

"Milik cucunya. Ia punya sebagian saham di sini," jawab petugas Hotel Shankly.

Sang cucu mengajak beberapa investor. Untuk mengenang jasa sang kakek.

"Saya dilahirkan untuk Liverpool. Liverpool dilahirkan untuk saya," bunyi tulisan besar di belakang reception itu. Itulah kutipan kalimat Bill Shankly.

Di lantai lobi itu ada lubang yang ditutup kaca terang. Besarnya sekotak sepatunya Saskia Gotik.

Di dalamnya ada lampu yang terus menyala. Terlihatlah di lubang itu sebuah kunci besar berwarna emas. Dengan penjelasan: inilah kunci asli pintu gerbang Stadion Anfield, Liverpool.

Di lobi samping terlihat kotak besar. Isinya bola tua --10 buah.

Saya buka kotak itu. Saya ambil satu bola. Tebakan saya: bola ini pasti masih pakai sistem dipompa.

Ternyata benar. Lihatlah foto bola yang saya pegang itu.



Bill Shankly sebenarnya lahir di Skotlandia. Ia menangani Liverpool ketika tim itu lagi terdegradasi ke divisi dua.

Baru tahun kedua di tangannya Liverpool bisa naik lagi ke divisi satu. Tahun pertama divisi satu di tangan Shankly, Liverpool hanya di papan tengah.

Tahun kedua urutan lima. Baru tahun ketiga bisa juara. Lalu juara lagi. Dan juara lagi. Tiga tahun berturut-turut. Lalu juara FA pula.

Hotel ini penuh dengan benda peninggalan Bill Shankly. Termasuk sepatunya, bajunya, kausnya, surat-suratnya dan apa saja.

Di kamar saya pun penuh nuansa Bill Shankly. Di langit-langit kamar saya tertulis kesaksian seorang pemain.

Waktu itu Liverpool away ke Amsterdam. Menghadapi Ajax. Stadion Ajax lagi berkabut tebal.

Shankly sering masuk lapangan --bicara ke pemain. Tidak terlihat oleh wasit. Liverpool kalah 5-1.

Itulah zaman mudanya Johan Cruyff. Jaya-jayanya Ajax.

"Kita belum kalah," kata Shankly pada pemain. Shankly selalu pintar membuat pemain bersemangat.

"Di kandang nanti kita akan bisa menang 7-0. Saya pun percaya ucapannya," kata pemain itu.

Ternyata di kandang Anfield pun Liverpool kalah 3-7. Kisah itu tertulis di langit-langit kamar.

Shankly juga pandai memainkan trik. Di lapangan maupun luarnya.

Kostum Liverpool merah-merah itu, misalnya. Dulunya merah-putih-putih (kaus merah, celana putih, kaus kaki putih).

Sejak Shankly-lah menjadi merah-merah-merah. Sehingga julukannya pun tepat: The Reds.

Alasan perubahan itu sederhana: agar pemainnya kelihatan lebih berpostur tinggi.

Namun tepat ia umur 60, Liverpool meraih juara FA Cup. Ia pun menyatakan pensiun. Istrinya yang meminta. Sudah lebih 10 tahun Shankly dalam hidup penuh stres. Waktunya istirahat.

Delapan tahun kemudian Shankly kena serangan jantung. Ia pun dilarikan ke rumah sakit. Meninggal. Dalam usia 68 tahun.

Saya beruntung terusir ke Hotel The Shankly ini. Bisa tahu ada hotel unik di Liverpool.

Selesai.

Ups, belum.

Ada yang menarik lagi. Di seberang hotel ini ada bangunan tua. Setua bangunan yang diubah menjadi Hotel Shankly ini.

Di bangunan tua di seberang itu tertulis 'Hotel Dixie'.

Lho, Dixie itu kan nama bintang sepak bola Inggris. Dari klub tetangga berisik Liverpool: Everton. Dixie-lah legenda Everton.

Ternyata nama hotel Dixie itu benar-benar diambil dari nama penyerang tengah Everton. Inisiatif membangun Hotel Dixie pun cucu Dixie sendiri.

Dia berhasil mengajak beberapa investor untuk mengenang jasa kakeknya itu. "Hotel Dixie akan dibuka menjelang hari Natal nanti," ujar petugas Hotel Shankly.

Saya pun menyeberang jalan. Mengintip dari jendela kaca. Sedang ada tukang menyelesaikan interiornya.

Interior Hotel Dixie nanti juga serba Dixie. Semua peninggalan Dixie akan dipamerkan di hotel ini.

Nuansa hotel pun akan biru --warna Everton. Dan bar utama di hotel itu diberi nama "No 9". Itulah kostum Dixie di masa jayanya.

Nama asli Dixie adalah William Raphl Dean. Dixie adalah nama panggilan waktu kecilnya. Diambil dari judul lagu yang populer saat itu. Lagu Amerika Serikat bagian selatan.

Dua prestasi Dixie belum terkalahkan sampai hari ini. Ia mencetak 60 gol dalam satu musim. Ia juga melakukan hat-trick 37 kali dalam karirnya.

Di awal karirnya Dixie pernah kecelakaan motor di Wales. Kakinya harus dipasangi pen.

Banyak yang khawatir Dixie tidak bisa lagi main bola. Ketika dicoba dimainkan untuk pertama kalinya Dixie mencetak gol --dengan kepalanya.

Sejak remaja Dixie sudah berita-cita jadi pemain Everton. Saat pertama dipanggil manajer Everton, Dixie begitu semangatnya --dari rumahnya berlari 4 km ke stadion menemui sang manajer.

Hari itu ia mengkhayal akan dikontrak dengan bayaran 300 poundsterling. Ia akan berikan uang itu semuanya ke bapaknya. Yang selalu mengajaknya ke stadion di masa kecilnya.

Ternyata kontraknya hanya 30 poundsterling. Namun tahun berikutnya langsung 3.000 poundsterling.

Hari tua Dixie Dean sakit-sakitan. Kaki kanannya harus diamputasi. Bertahun-tahun ia harus hanya di rumah.

Dixie Dean terus mengikuti perkembangan sepak bola lewat surat kabar. Hari itu ia tidak tahan: ingin ke stadion Everton. Nonton big match: Everton lawan Liverpool.

Di stadion itu Dixie Dean kena serangan jantung. Dilarikan ke rumah sakit. Meninggal. Dalam usia 73 tahun.

Di pinggiran kota, di satu kawasan, tim Liverpool bersaing dengan tim Everton. Di tengah kota, di satu jalan, Hotel Shankly nan Liverpool bersaing dengan Hotel Dixie nan Everton.(***)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler