Si Mungil Cantik Ini Wakil Indonesia di Level Internasional

Jumat, 13 Juli 2018 – 00:45 WIB
Noriko Khang memegang piala dan medali perak setelah meraihnya di Bulgaria International Mathematics Competition 2018. Foto: DINA ANGELINA/KALTIM POST

jpnn.com - Noriko Khang, pelajar asal Balikpapan, Kaltim, mengukir prestasi di tingkat internasional. Dia mewakili Indonesia dalam Bulgaria International Mathematics Competition (BIMC) 2018. Dan membawa pulang medali.

DINA ANGELINA, Balikpapan

BACA JUGA: Indonesia Utus 12 Siswa Ikut Olimpiade Matematika di India

GADIS mungil ini melempar senyum saat awak Kaltim Post (Jawa Pos Group) bertandang ke rumahnya di daerah Balikpapan Kota, Selasa (10/7). Meski lelah masih tergambar di wajah kecil itu, Noriko tetap menerima wawancara dengan baik.

Siswa Kelas 6 SD KPS Balikpapan tersebut baru saja tiba di Balikpapan, Minggu (8/7) malam, setelah melewati perjalanan kurang lebih 30 jam dari Benua Eropa.

Noriko bersama 11 orang lainnya mewakili Tanah Air pada kompetisi matematika yang berlangsung 3–7 Juli. Dalam perjalanan tersebut, Noriko harus mandiri karena tanpa ada orangtua yang menemani. Para finalis hanya berangkat dengan guru pendamping.

Sesungguhnya putri pasangan Rudy Susanta dan Henny Setiawan itu tak menduga bisa berangkat ke Bulgaria. Kisah bermula dari keikutsertaannya dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) 2017. Peserta OSN yang meraih medali berkesempatan melewati seleksi untuk International Mathematics and Science Olympiad (IMSO).

Dari 30 peserta yang ikut seleksi, terpilih enam orang untuk berkompetisi yang berlangsung di Singapura pada November 2017. Setelah IMSO berakhir, Noriko mendapat kabar bahwa dirinya terpilih lagi mewakili Indonesia. Kali ini dalam ajang yang berbeda yakni BIMC 2018. Dia mengaku baru mengetahui kabar tersebut sekitar Mei lalu.

Sebelum berangkat ke Bulgaria, Noriko sempat mendapatkan pelatihan atau karantina sebanyak dua kali di Jakarta. “Setiap kali pelatihan menyita waktu sembilan hari. Jadi masih bolak balik Jakarta - Balikpapan. Karena belum masuk masa ujian kenaikan sekolah,” ujarnya.

Menaklukkan pesaing di BIMC memang tak mudah. Apalagi BIMC menjadi kompetisi dengan lawan terbanyak dan ajang terbesar yang pernah dia ikuti. Saat ini, BIMC merupakan pencapaian terjauh bagi Noriko. Kali pertama dia mengikuti lomba hingga Eropa.

Walau sebelumnya Noriko cukup kaya pengalaman dalam ajang olimpiade matematika di tingkat Asia. Menurut dia, BIMC menghadirkan kompetitor yang lebih sulit dari biasanya. Misalnya lawan yang tak sepantaran alias sebaya.

Kebanyakan peserta lebih tua dari dia. Mereka sudah berada di bangku SMP. Seluruh peserta mendapat soal yang sama, tidak ada perbedaan grade.

Tak tanggung-tanggung, lawannya berjumlah ribuan orang yang berasal dari 27 negara. Biasanya, Noriko mengikut kompetisi dengan lawan terbanyak dari 10 negara. “Saingan tersulit dari Tiongkok, Taiwan, dan Hong Kong. Mereka bisa kirim perwakilan hingga ratusan orang,” bebernya.

Kesulitan bukan hanya dari jumlah pesaing, soal juga jauh lebih sulit dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, salah sedikit saja dalam menjawab pertanyaan, peserta tidak mendapatkan poin.

Dalam ajang BIMC, Noriko mengikuti dua kategori sekaligus. Yakni lomba individu dan tim. Keduanya memiliki durasi lomba yang berbeda. Bagi lomba individu, peserta harus menyelesaikan 15 pertanyaan dalam waktu 90 menit. Materi kombinatorika menjadi soal yang paling sulit.

“Jarang dipelajari karena di Indonesia biasanya soal ini untuk siswa jenjang SMP. Sebenarnya kalau sudah dipelajari mungkin mudah,” imbuhnya. Sementara itu berbeda dengan tantangan dalam kategori tim. Mereka harus menjawab 10 pertanyaan dalam waktu 45 menit.

Setiap kelompok terdiri dari empat orang. Noriko bergabung dengan Felicia Greys dari Kudus, serta Mathew Alan dan Arsyanada Putranto dari Jakarta. Noriko bercerita, dia dan anggota kelompok baru akrab dan saling mengenal saat menjadi tim BIMC.

“Saya juga ikut lomba puzzle game. Tidak ada paksaan, peserta boleh ikut atau tidak. Bisa sekalian cari pengalaman. Sebelumnya pernah ikut, tapi misinya tidak sesulit di BIMC," katanya.

Berada di Bulgaria hampir sepekan, kegiatan peserta tak hanya habis untuk lomba. Peserta dari setiap negara harus menampilkan seni budaya khas tiap-tiap daerah. Noriko cs memilih tarian Yamko Rambe Yamko dari Papua serta menyanyikan lagu daerah untuk disuguhkan kepada ribuan mata pengunjung.

Rasa bahagia semakin lengkap karena gadis cilik ini pulang membawa hasil. Kerja kerasnya tak sia-sia, Noriko membawa medali perak dalam kategori individu dan first runner-up untuk kategori tim.

“Kompetisi ini lebih seru dari lomba sebelumnya, peserta juga belajar mandiri karena orangtua tidak ikut. Rasanya seperti latihan survive,” tuturnya. Berakhirnya BIMC, bukan berarti dia bisa bersantai diri.

Tepatnya 11–18 Juli, Noriko sudah harus berada di Negeri Ginseng. Dia menjadi peserta dari World Mathematics Invitational (WMI) 2018 yang berlangsung di Korea Selatan. Kali ini merupakan tahun ketiganya mengikuti ajang WMI. Tak mudah juga sampai di Korea Selatan. Sebelumnya, Noriko harus melewati tahapan seleksi nasional.

Tahun ini, Noriko akan mengikuti kompetisi dengan level kelas 5 SD. Dia membeberkan, kesulitan soal kurang lebih sama saja. Materi kombinatorika hingga geometri akan jadi santapan utama. Pertanyaan terbagi dalam dua tipe soal yakni pilihan ganda dan isian.

Menurut dia, pertanyaan tipe isian lebih sulit. Sehingga poin isian lebih tinggi. Noriko mengaku belum banyak persiapan yang dia lakukan untuk ajang WMI. Apalagi dia hanya punya waktu dua hari berada di Kota Minyak. “Sebenarnya tidak ada waktu latihan karena kemarin masih fokus untuk persiapan ke Bulgaria kemarin. Sambil berangkat nanti baru latihan lagi,” ungkapnya.

Sementara itu, sang ayah, Rudy Susanta, mengungkapkan, tak pernah memaksa putrinya untuk berlomba. Selama ini semua kompetisi berdasarkan keinginan anak. Dia hanya membantu untuk mengarahkan dan mendukung kebutuhan anak.

Rudy berharap pada masa mendatang, ada perhatian dari pemerintah daerah untuk para peserta olimpiade. Tidak berbicara sampai dukungan materi, namun setidaknya ada dukungan dalam bentuk pembinaan. Khususnya bagi mereka yang berminat mengikuti olimpiade.

Dengan begitu, pemerintah daerah sudah tahu siapa saja jagoan-jagoan yang siap dikirim mewakili daerah ketika ada kompetisi. “Jangan baru sibuk saat mendekati waktu kompetisi, pelatihan tidak akan maksimal,” ujarnya.

Dia menilai, dengan sistem pembinaan yang terstruktur, siswa juga termotivasi untuk berkompetisi serta mendapat arahan. Minimal pembinaan untuk mereka yang mengikuti Olimpiade Sains Nasional. Sebab, kesuksesan mereka nantinya juga membawa harum nama daerah.

“Terlihat tahun ini dukungan pemerintah sudah lebih baik. Semoga pembinaan bisa terus membaik. Setidaknya pemerintah daerah bisa mendukung dengan cara itu,” tutupnya. (gel/rom/k8)


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler