jpnn.com, JAKARTA - Guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa memprediksi harga beras di masyarakat akan mengalami kenaikan dalam lima bulan ke depan.
Pasalnya, kenaikan harga tersebut disebabkan tingkat produksi padi yang lebih rendah dari tingkat konsumsi masyarakat.
BACA JUGA: Zulhas Klaim Harga Beras di Pekanbaru Stabil, Pedagang Tak Setuju, Waduh!
Menurutnya, dalam tiga tahun terakhir Indonesia tidak menunjukkan tren perbaikan produksi padi.
"Pada 2019, produksi padi turun 7,7 persen. Kemudian 2020 naik sedikit sebesar 0,09 persen dan pada 2021 kembali turun sebesar 0,42 persen," ujar Andreas, Senin (3/10).
BACA JUGA: Imbas Kenaikan BBM, Waspada Harga Beras Merangkak Naik
Andreas mengatakan iklim kemarau basah atau La Nina di 2020 dan 2021 tidak membantu peningkatan produksi.
"Sebelumnya, dalam 20 tahun terakhir fenomena La Nina dinilai berhasil meningkatkan produksi sangat tajam, dengan angka kenaikan terendah di 2007 sebesar 4,7 persen," kata Andreas.
Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) itu mengatakan produksi dan konsumsi mengalami kejomplangan.
"Jadi, prduksi jauh lebih rendah daripada konsumsi sehingga harga beras di tingkat konsumen akan naik sangat tinggi di lima bulan ini," ungkap Dwi.
Karena itu, Dwi mengungkapkan banyak petani yang saat ini tidak mau menanam padi karena mengalami kerugian.
"Bagi petani yang menggarap tanaman padi dengan kepemilikan sawah seluas di bawah 2000 meter persegi dipastikan tidak untung atau mengalami kerugian," tegasnya.
Untuk itu, Andreas menegaskan agar pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras dari para petani di seluruh Indonesia.(mcr28/jpnn)
Redaktur : Elvi Robiatul
Reporter : Wenti Ayu Apsari