Sibuk Jaga Citra, Parpol Koalisi tak Ada yang Membela Jokowi soal Kartu Prakerja

Jumat, 01 Mei 2020 – 19:12 WIB
Ilustrasi Kartu Prakerja. Foto: prakerja.go.id

jpnn.com, JAKARTA - Belakangan ini program Kartu Prakerja dikritik banyak kalangan. Namun, dengan banyaknya kritikan itu kini disinyalir ada masalah lain yang mengemuka di dunia politik.

Menurut Direktur Voxpol Center Pangi Syarwi, secara politik masalah kartu prakerja yang banyak mendapat kritikan itu juga mengindikasikan terpecahnya partai politik koalisi dalam menyikapi kebijakan ekonomi pemerintah di masa pandemi Covid-19.

BACA JUGA: Pendaftar Program Kartu Prakerja Melebihi Kuota, Begini Respons Jokowi

Pangi menilai kencangnya kritik dan serangan juga diduga berasal dari ketidaksolidan antar-partai koalisi dalam mendukung kebijakan yang menjadi bahan kampanye Jokowi - Ma'ruf Amin di pilpres lalu tersebut.

Padahal, menurutnya, program ini secara ide memiliki nilai manfaat bagi masyarakat.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Guru PNS Tidur-tiduran Tetap Digaji, Adegan Ciuman di TVRI, TKA Tiongkok

"Koalisi pemerintah ini gemuk tapi tidak banyak yang membela seperti katakanlah saat periode pertama Jokowi. Saya melihat saat ini partai pendukung tidak mau pasang badan karena mereka mau menyelamatkan nama partainya sendiri," tambah Pangi.

Pangi menjelaskan, partai pendukung lebih berkonsentrasi membangun citra agar bisa mendapatkan kepercayaan dan suara dari masyarakat di Pemilu 2024 mendatang.

BACA JUGA: Gerindra Yakin Kartu Prakerja Membantu Rakyat di Tengah Pandemi Corona

"Mereka tidak mau membela kebijakan Presiden Jokowi, karena sepertinya sudah tidak peduli lagi dengan yang namanya koalisi. Dari pada membela kebijakan pemerintah yang saat ini sedang dikritik, lebih baik diam agar tidak ikut-ikutan dikritik," ungkapnya.

Padahal, Pangi menilai, program itu bermaksud baik, tetapi memang ada kelemahannya.

Dia mengatakan kelemahan itu soal pemilihan mitra yang kurang transparan. Menurutnya, hal ini menjadi penyebab banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap program kartu prakerja.

"Terlepas dari kontroversi soal penunjukan 8 platform digital yang menjadi mitra pelatihan, nilainya yang amat besar mencapai Rp 5,7 triliun untuk total biaya pelatihan, menjadikannya sumber kritisisme publik," katanya di Jakarta.

Sementara itu pengamat politik Yohan Wahyu melihat polemik soal Kartu Prakerja ini tidak lepas dari problem komunikasi dan komitmen politik antar-partai pendukung pemerintah.

"Tujuan Kartu Prakerja untuk situasi ekonomi yang menurun akibat pandemi ini sebenarnya positif, namun karena komunikasi politik berbagai pihak tidak berlangsung optimal, yang kemudian muncul lebih banyak negatifnya," tutur Yohan.

Untuk itu, pemerintah seharusnya lebih mampu melakukan konsolidasi internal, dan mendorong komunikasi politik yang baik dengan seluruh kekuatan politik yang diperlukan.

"Partai politik pendukung pemerintah harus sama-sama berkontribusi menguatkan informasi, serta melakukan kerja kolaboratif agar program Kartu Prakerja ini diterima dan didukung publik secara kuat," pungkasnya. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler