==============================================
Persoalan yang dihadapi para guru di Indonesia ternyata memang cukup rumit. Persoalan tidak hanya bertumpu pada bagaimana menciptakan guru yang andal. Kebijakan dan aturan main hingga siapa yang harus bertanggung jawab untuk menciptakan guru handal pun masih terdapat silang pendapat antara daerah dan pusat. Belum lagi pada persoalan kesejahteraan secara ekonomis.
Pemerintah pusat seakan-akan lepas tanggung jawab, karena rekruitmen guru sudah menjadi tanggung jawab daerah seiring dengan otonomi daerah. Sementara di daerah, guru seperti belum menjadi prioritas. Mereka masih hanya sebatas komoditas politik, yang disanjung dan dirangkul di saat-saat menjelang pilkada.
Namun, bagi praktisi pendidikan Itje Khadijah saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah adalah bentuk kegagalan pemerintah yang sudah menahun. Mengapa kegagalan menahun? "Ada kepala sekolah, ada pengawas sekolah. Mengapa pemerintah tidak memanfaatkan mereka untuk mendeteksi para guru,” Itje menegaskan.
Itje menilai, hingga saat ini pemerintah belum siap mencetak guru-guru andal untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang sesuai zamannya. Karena, sampai saat ini pula, pemerintah belum mampu menyediakan pelatih-pelatih guru yang andal. "Yang terjadi selama ini, mahasiswa yang lulus dari sekolah guru hanya tahu teorinya. Tetapi, tentang bagaimana ia mengajar masih sebatas apa yang mereka tahu, bagaimana gurunya waktu itu mengajarinya.”
Bagi Itje, seorang dosen tak bisa disebut sebagai pelatih guru. Karena ia hanya mengajarkan teori tetapi tidak pernah memberitahukan bagaimana cara menjadi pelatih yang baik. Ada satu wadah pembinaan profesionalisme guru seperti Kelompok Kerja Guru ( KKG). "Namun, itupun tidak bisa bekerja efektif dan bahkan mandeg karena para guru sibuk mempersiapkan Ujian Nasional (UN).”
Menurut Itje Khadijah, saat ini hanya 23 persen lembaga pendidikan yang mampu mencetak guru dengan baik. Karenanya, tidak mengherankan jika banyak calon guru tidak dipersiapkan dengan baik untuk menjadi tenaga pendidik yang andal.
"Akibatnya desparasi kompetensi guru sangat besar. Pemahaman dan keterampilan guru dalam mengefektifkan proses pembalajaran tidak terdeteksi. Ini harus jadi PR (pekerjaan rumah) besar pemerintah dalam mengembangkan kompetensi guru," kata Itje.
Persoalan-persoalan klasik itu belum terpecahkan, namun zaman terus berkembang. Teknologi komunikasi terus tumbuh secara global. Informasi dan teknologi komunikasi (ICT) diharapkan akan memacu dunia pendidikan. Namun, sayangnya, penggunaan ICT di sekolah-sekolah belum berjalan benar, akibat tidak adanya guru berpengalaman.
"Karena gurunya tidak berpengalaman, anak-anak peserta didik dibiarkan bermain sendiri ketika diajarkan ICT. Banyak yang main game, internetan, atau chatting dengan teman-temannya.”
Akibatnya ketika ICT tidak di tangan guru yang andal, maka yang terjadi hanyalah upaya mendigitalkan materi ajar yang dapat didigitalkan. Sehingga keberadaan ICT tidak mendukung proses pembelajaran.
"Itu karena budaya ICT belum diperkenalkan secara umum pada guru. ICT di dunia pendidikan perlu antisipasi agar mampu mengefektifkan pembelajaran. Harusnya anak-anak didik sudah bisa diatur bagaimana bisa menggunakannya untuk kepentingan yang lebih tinggi, berpikir kritis," ujar Itje.
Dosen pascasarjana Uhamka itu juga mengingatkan keberadaan ICT dalam dunia pendidikan sebagai alat yang terus berkembang harus diwaspadai. Bahkan perlu kehati-hatian untuk memilih dan menggunakannya. Sebab pemahaman ICT yang salah saat ini membuat keterpurukan lebih jauh daripada bisa pakai ICT. "Solusinya adalah perwujudan standar nasional pendidikan secara konkret agar ketimpangan kualitas pendidik tidak semakin besar," tegasnya.
Sementara itu Asep Sapa"at, praktisi pendidikan dari Sekolah Guru Indonesia mengatakan, keberadaan teknologi bila dikaitkan dengan guru, maka teknologi mestinya bisa menjadi sumber belajar dan inspirasi mengajar, teknologi bisa dimanfaatkan untuk sharing lintas generasi antar sesama rekan guru.
"Teknologi juga bisa menjadi alat perjuangan untuk menyampaikan aspirasi dan kreasi guru agar dipahami publik," ujar Asep.
Menurut Asep, guru dan teknologi bisa digolongkan dalam dua generasi, ada guru yang masuk kategori Digital Immigrant, terutama guru tempo dulu yang lahir sebelum tahun 80-an. Kedua guru kategori Digital Native mereka yang lahir setelah tahun 80-an, mature dengan teknologi.
Dua kelompok guru ini perlu diubah mind set-nya tentang pentingnya menggunakan teknologi. Cara mengubah mind-set belum optimal dilakukan pemerintah. Namun yang terjadi, pelatihan guru hanya sekadar sosialisasi.
"Akhirnya mind-set tak berubah, fasilitas teknologi yang diberikan tak termanfaatkan. Jadi, pelatihan guru yang bersifat "self-awareness" jadi sangat penting dilakukan di awal sebelum bicara kapasitas membangun, bagaimana menggunakan teknologi," jelasnya.
Bicara soal guru yang masuk dalam gologan digital immigrant, Asep memberi contoh pada guru di Biak, Papua. Di sana ada guru yang punya semangat luar biasa untuk belajar. Kendalanya di sana tidak ada listrik dan mereka minta difasilitasi.
"Ini artinya mereka mau belajar. Guru-guru yang punya kemampuan wajib menyebarkan pada guru yang tidak mengetahui teknologi. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menimba Ilmu dari Pikiran-pikiran Goenawan Mohamad
Redaktur : Tim Redaksi