SIMAK! Tiga Makna GMT Menurut Presiden Republik Kelekak

Senin, 07 Maret 2016 – 09:10 WIB
Salah seorang peserta Festival Gasing di gelaran Gestival GMT Bateng, memperagakan pukulan gaya normal terhadap gasing lawannya. Festival ini berlangsung di titik pengamatan GMT Pantai Terentang Kecamatan Koba Kabupaten Bateng, Babel. Foto: ROBIANTO/BABELPOS/JPG

TANJUNGPANDAN – Masyarakat di daerah yang dilewati Gerhana Matahari Total (GMT) tidak mau melewatkan begitu saja momen langka itu. 
Menurut para ahli, GMT terjadi hanya 30 tahun sekali. Untuk di Pulau Belitung, Babel, GMT dulu pernah terjadi sekitar tahun 1987. Setelah itu, momen langka ini kembali terjadi di Pulau Belitung pada 9 Maret 2016 mendatang.

Budayawan Belitong Fitrorozi mengatakan, dulunya gerhana matahari merupakan fenomena alam yang tidak terlalu diperhatikan oleh masyarakat.

BACA JUGA: Mahasiswi Tergiur iPhone Murah, Uang Rp 1,65 Juta Melayang

Bahkan, fenomena alam ini dianggap menakutkan dan harus dihindari. Namun demikian, tidak ada ritual khusus untuk saat datangnya momen tersebut.

"Dulu masyarakat Belitong hanya menganggap gerhana sekedar fenomena ganjil yang terjadi pada alam semesta. Oleh karenanya, tidak ada tradisi atau ritual khusus menyambut fenomena gerhana," kata Fitro saat berbincang dengan Belitong Ekspres (Jawa Pos Group), Minggu (7/4) sore kemarin.

BACA JUGA: Inilah Rute Gerhana Matahari Total

Fitro sapaan akrabnya, menceritakan pada zaman dahalu ketika terjadi gerhana masyarakat hanya mempunyai tradisi yang bernuasa Islami, seperti salat gerhana. Selain itu, sebagian ada yang melakukan ritual pengusiran dengan memukul gentong dan kaleng. Ritual ini bertujuan agar fenomena buruk yang terjadi pada alam cepat berlalu.

"Kalau ritual semacam itu bersifat umum tidak hanya di Belitong ketika terjadi gerhana, tapi di luar Belitong juga demikian. Kebanyakan masyarakat memilih menghindar berdiam diri di rumah sambil melakukan sholat gerhana," terangnya.

BACA JUGA: Kisah Memetik Cengkih dan Pala hingga Menghadirkan Ilmuwan Dunia

Fitro menambahkan, masyarakat akan keluar rumah ketika cahaya matahari sudah terang benderang dan kemudian kembali beraktivitas seperti biasanya.

Dari sudut padang sebagai budayawan, ada tiga hal yang ia maknai ketika terjadi Gerhana Matahari Total. 

Pertama, sebagai masyarakat harus belajar melihat dan menghargai setiap perubahan yang terjadi pada alam. 

Sebab, hal itu dirasakan penting bagi masyarakat yang selama ini alam banyak mengajarkan arti kehidupan. 

"Fenomena alam yang langka dan ganjil ini, akan menyadarkan kita hidup tidak sendiri. Jadi harus ada kepentingan alam yang harus kita jaga," kata Fitro.

Kedua, kata Fitro, segala kejadian langka itu akan mempunya nilai, seperti saat ini yang berimbas pada bisnis pariwisata. Lantas momen langka ini, akan menjadi peluang, untuk mempromosikan potensi wisata terhadap turis yang datang ke Pulau Belitong.

"Contohnya saat momen GMT 2016, kita bisa menjual produk usaha kecil dan menengah (UMK) lokal dan kuliner yang ada. Kita juga bisa menampilkan tradisi lokal, atraksi seni dan budaya kepada para turis," papar Presiden Republik Kelekak ini.

Ketiga, fenomena GMT ini bisa dimaknai, agar masyarakat bisa melayani tamu atau turis yang datang ke Pulau Belitong. Masyarakat harus bisa membuat turis nyaman dan betah, tentunya dengan sikap yang ramah dan bersabahat. 

"Mungkin melayani, ini lebih ke sikap dan tingkah laku kita menyambut dan menghargai setiap turis yang datang ke Belitong. Agar mereka betah dan nyaman," tandas Fitro. (yud/sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... GMT: Ide Kakaknya Yusril Ihza Mahendra Patut Diacungi Jempol


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler