SUDAH pasti kita tidak akan bisa swasembada daging di tahun 2014. Persoalan masih begitu banyak. Bahkan, road map menuju sana pun ternyata salah. Baiknya kita susun road map baru yang lebih realistis, tidak ABS dan tidak asbun.
Bagaimana dengan gula? Idem dito. Tidak mungkinlah tahun depan swasembada gula. Tidak ada tanda-tanda siratal mustaqim menuju ke sana. Saya belum pernah tahu adakah road map itu. Pernahkah disusun, dibahas, diusulkan, dan kemudian disepakati. Mungkin saja ada, hanya saya yang tidak mengikuti pembahasannya. Saya kan baru 1,5 tahun berada di kabinet.
Tapi, dari pengalaman 1,5 tahun menggeluti pabrik gula BUMN, saya berkesimpulan tidak mungkin swasembada gula bisa dicapai tahun depan. Tidak ada logikanya. Tidak ada tanda-tandanya.
Kebutuhan gula kita 5,7 juta ton setahun. BUMN dengan 52 pabrik gulanya memproduksi 1,6 juta ton tahun lalu. Itu sudah naik drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan itu diperoleh dengan kerja keras di segala lini. Tahun ini kerja keras itu ditingkatkan lagi. Tapi, maksimal hanya akan meningkat sampai 1,9 juta ton.
Pabrik-pabrik gula swasta memproduksi satu juta ton. Dengan demikian, BUMN dan swasta hanya mampu menyediakan gula maksimum 2,9 juta ton. Jelas masih ada kekurangan 3 juta ton. Itulah yang harus diimpor. Baik dalam bentuk gula pasir/cair untuk industri makanan/minuman maupun dalam bentuk raw sugar.
Pernah ada semacam road map lama: perusahaan-perusahaan yang diberi izin impor raw sugar harus membangun pabrik gula. Impor itu dimaksudkan untuk sementara. Keuntungan impor raw sugar bisa untuk modal membangun pabrik gula baru. Dengan demikian, kekurangan gula teratasi, harganya terkendali, inflasi tidak melonjak, dan modal untuk bikin pabrik gula baru bisa didapat.
Tapi, semua itu hanya di atas kertas. Kenikmatan impor raw sugar ternyata telah memabukkan siapa saja. Orang mabuk bisa lupa jalan menuju pulang, apalagi jalan menuju swasembada. Dua tahun telah lewat. Tiga tahun berlalu. Empat tahun tidak ada kabar. Lima tahun sunyi. Enam tahun lupa.
Pernah pula ada ide revitalisasi pabrik gula BUMN. Begitu gencarnya ide itu, sampai-sampai diyakini itulah obat kuat satu-satunya. Memang pabrik-pabrik gula BUMN sudah pada tua. Otot-ototnya sudah kendur dan syahwatnya melemah. Tidak ada jalan lain kecuali mesin-mesinnya diganti dengan yang baru, besar, dan modern.
Saya percaya revitalisasi sangat penting. Saya percaya mengganti mesin-mesin lama dengan yang baru mampu menaikkan produksi. Tapi, saya tidak percaya bahwa itu satu-satunya obat kuat. Saya lebih percaya pada pembenahan manajemennya, perbaikan sistem sumber daya manusianya, dan terutama moralitasnya.
Naiknya produksi gula tahun lalu sepenuhnya bukan karena ada mesin-mesin baru. Tapi, karena manusia-manusia pabrik gulanya berubah total: sistemnya dan perilakunya.
Dengan "manusia baru" di pabrik gula, terbukti beberapa pabrik gula BUMN di Jawa sudah berhasil mengalahkan produktivitas pabrik gula swasta. Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri milik PTPN X dan Pabrik Gula Krebet Baru di Malang milik PT RNI tahun lalu mulai bisa mengalahkan swasta. Padahal, di dua pabrik gula itu tidak dilakukan revitalisasi mesin-mesinnya. Tidak ada mesin baru di situ.
Saya sangat yakin, tanpa mengubah manusianya, mesin-mesin baru pun akan cepat tua.
Tahun ini seluruh manajemen pabrik gula BUMN bertekad bikin rekor yang baru lagi. Tidak hanya produktivitas, tapi juga performa fisik pabriknya. Artis Widyawati, di umurnya saat ini, masih begitu cantiknya. Saya juga minta pabrik-pabrik gula BUMN bisa ikut jejak Widyawati.
Bulan depan saya akan kembali melakukan safari ke pabrik-pabrik gula itu. Ingin melihat persiapan musim giling tahun ini yang akan dimulai akhir Mei atau awal Juni. Kalau perlu, saya akan minta Mbak Widyawati untuk ikut menyemangati bahwa usia boleh tua, tapi penampilan dan semangat harus tetap muda!
Saya berkesimpulan, revitalisasi memang perlu, tapi belum sekarang. Kalau dana memang ada, lebih baik membangun pabrik baru. Dalam lima tahun ke depan, kita harus menambah pabrik baru untuk 3 juta ton. Berarti perlu membangun sepuluh pabrik baru. Yang semuanya harus berukuran raksasa.
BUMN dan swasta berkumpul. Kita petakan di mana saja sepuluh pabrik itu harus dibangun. Jelas tidak bisa lagi di Jawa. Kecuali satu pabrik gula baru yang dibangun PTPN XII di Glenmore, Banyuwangi. Tahun ini pabrik itu akan mulai dibangun.
Tidak mungkin membangun pabrik gula baru di Jawa karena kita berkepentingan swasembada beras. Insya Allah tahun ini. Kita juga tidak mungkin bikin pabrik gula baru di Kalimantan. Terbukti tidak cocok. Pabrik gula baru di Pelaihari, Kalsel, kini jadi onggokan besi tua.
Kelihatannya tinggal Lampung, Sultra, Pulau Buru, Sumba Barat/Barat Daya, dan Pulau Seram yang masih mungkin. Kita akan bicara dengan swasta: seberapa besar kemampuan swasta untuk ekspansi. Baru sisanya BUMN. Kita bagi tugas dengan dukungan aturan pemerintah yang lebih tegas dan lebih jelas.
Tanpa semua itu, lebih baik kita jangan bicara swasembada. Lebih baik kita bicara mengapa Mbah Subur tidak memiliki tubuh yang subur. (*)
Bagaimana dengan gula? Idem dito. Tidak mungkinlah tahun depan swasembada gula. Tidak ada tanda-tanda siratal mustaqim menuju ke sana. Saya belum pernah tahu adakah road map itu. Pernahkah disusun, dibahas, diusulkan, dan kemudian disepakati. Mungkin saja ada, hanya saya yang tidak mengikuti pembahasannya. Saya kan baru 1,5 tahun berada di kabinet.
Tapi, dari pengalaman 1,5 tahun menggeluti pabrik gula BUMN, saya berkesimpulan tidak mungkin swasembada gula bisa dicapai tahun depan. Tidak ada logikanya. Tidak ada tanda-tandanya.
Kebutuhan gula kita 5,7 juta ton setahun. BUMN dengan 52 pabrik gulanya memproduksi 1,6 juta ton tahun lalu. Itu sudah naik drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kenaikan itu diperoleh dengan kerja keras di segala lini. Tahun ini kerja keras itu ditingkatkan lagi. Tapi, maksimal hanya akan meningkat sampai 1,9 juta ton.
Pabrik-pabrik gula swasta memproduksi satu juta ton. Dengan demikian, BUMN dan swasta hanya mampu menyediakan gula maksimum 2,9 juta ton. Jelas masih ada kekurangan 3 juta ton. Itulah yang harus diimpor. Baik dalam bentuk gula pasir/cair untuk industri makanan/minuman maupun dalam bentuk raw sugar.
Pernah ada semacam road map lama: perusahaan-perusahaan yang diberi izin impor raw sugar harus membangun pabrik gula. Impor itu dimaksudkan untuk sementara. Keuntungan impor raw sugar bisa untuk modal membangun pabrik gula baru. Dengan demikian, kekurangan gula teratasi, harganya terkendali, inflasi tidak melonjak, dan modal untuk bikin pabrik gula baru bisa didapat.
Tapi, semua itu hanya di atas kertas. Kenikmatan impor raw sugar ternyata telah memabukkan siapa saja. Orang mabuk bisa lupa jalan menuju pulang, apalagi jalan menuju swasembada. Dua tahun telah lewat. Tiga tahun berlalu. Empat tahun tidak ada kabar. Lima tahun sunyi. Enam tahun lupa.
Pernah pula ada ide revitalisasi pabrik gula BUMN. Begitu gencarnya ide itu, sampai-sampai diyakini itulah obat kuat satu-satunya. Memang pabrik-pabrik gula BUMN sudah pada tua. Otot-ototnya sudah kendur dan syahwatnya melemah. Tidak ada jalan lain kecuali mesin-mesinnya diganti dengan yang baru, besar, dan modern.
Saya percaya revitalisasi sangat penting. Saya percaya mengganti mesin-mesin lama dengan yang baru mampu menaikkan produksi. Tapi, saya tidak percaya bahwa itu satu-satunya obat kuat. Saya lebih percaya pada pembenahan manajemennya, perbaikan sistem sumber daya manusianya, dan terutama moralitasnya.
Naiknya produksi gula tahun lalu sepenuhnya bukan karena ada mesin-mesin baru. Tapi, karena manusia-manusia pabrik gulanya berubah total: sistemnya dan perilakunya.
Dengan "manusia baru" di pabrik gula, terbukti beberapa pabrik gula BUMN di Jawa sudah berhasil mengalahkan produktivitas pabrik gula swasta. Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri milik PTPN X dan Pabrik Gula Krebet Baru di Malang milik PT RNI tahun lalu mulai bisa mengalahkan swasta. Padahal, di dua pabrik gula itu tidak dilakukan revitalisasi mesin-mesinnya. Tidak ada mesin baru di situ.
Saya sangat yakin, tanpa mengubah manusianya, mesin-mesin baru pun akan cepat tua.
Tahun ini seluruh manajemen pabrik gula BUMN bertekad bikin rekor yang baru lagi. Tidak hanya produktivitas, tapi juga performa fisik pabriknya. Artis Widyawati, di umurnya saat ini, masih begitu cantiknya. Saya juga minta pabrik-pabrik gula BUMN bisa ikut jejak Widyawati.
Bulan depan saya akan kembali melakukan safari ke pabrik-pabrik gula itu. Ingin melihat persiapan musim giling tahun ini yang akan dimulai akhir Mei atau awal Juni. Kalau perlu, saya akan minta Mbak Widyawati untuk ikut menyemangati bahwa usia boleh tua, tapi penampilan dan semangat harus tetap muda!
Saya berkesimpulan, revitalisasi memang perlu, tapi belum sekarang. Kalau dana memang ada, lebih baik membangun pabrik baru. Dalam lima tahun ke depan, kita harus menambah pabrik baru untuk 3 juta ton. Berarti perlu membangun sepuluh pabrik baru. Yang semuanya harus berukuran raksasa.
BUMN dan swasta berkumpul. Kita petakan di mana saja sepuluh pabrik itu harus dibangun. Jelas tidak bisa lagi di Jawa. Kecuali satu pabrik gula baru yang dibangun PTPN XII di Glenmore, Banyuwangi. Tahun ini pabrik itu akan mulai dibangun.
Tidak mungkin membangun pabrik gula baru di Jawa karena kita berkepentingan swasembada beras. Insya Allah tahun ini. Kita juga tidak mungkin bikin pabrik gula baru di Kalimantan. Terbukti tidak cocok. Pabrik gula baru di Pelaihari, Kalsel, kini jadi onggokan besi tua.
Kelihatannya tinggal Lampung, Sultra, Pulau Buru, Sumba Barat/Barat Daya, dan Pulau Seram yang masih mungkin. Kita akan bicara dengan swasta: seberapa besar kemampuan swasta untuk ekspansi. Baru sisanya BUMN. Kita bagi tugas dengan dukungan aturan pemerintah yang lebih tegas dan lebih jelas.
Tanpa semua itu, lebih baik kita jangan bicara swasembada. Lebih baik kita bicara mengapa Mbah Subur tidak memiliki tubuh yang subur. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bedol-bedolan untuk Rusun Kemayoran
Redaktur : Tim Redaksi