jpnn.com, JAKARTA - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah sepakat menghadirkan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN.
Keputusan politik di MPR untuk mewujudkan GBHN sudah selesai.
BACA JUGA: Ketua MPR: Prioritaskan Tenaga Kerja Dalam Negeri
Namun, usaha itu masih terbentur pada masalah yuridis, apakah dalam bentuk ketetapan (Tap) MPR atau undang-undang (UU).
Hal ini terungkap dalam dialog yang digelar Sekretariat Jendral MPR RI bertema MPR Rumah Kebangsaan dalam tema Reformulasi Sistem Perencanaan Model GBHN di Kompleks MPR, DPR dan DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (11/10).
BACA JUGA: Oesman Sapta: Bangsa Indonesia Terancam Penjajahan Modern
Dialog ini menghadirkan pimpinan Fraksi Partai Golkar MPR RI Deding Ishak dan anggota Lembaga Pengkajian MPR RI Margarito Kamis.
Kajian terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia mengemuka karena semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat luas terhadap arah perjalanan bangsa Indonesia ke depan.
BACA JUGA: OSO Ajak Mahasiswa Hindari Penyalahgunaan Narkotika
Kehadiran kembali GBHN saat ini dipandang sangat penting dan mendesak oleh sebagian besar masyarakat.
Hal itu berguna agar arah pembangunan nasional dapat terus berjalan secara berkesinambungan tanpa periodeisasi kepemimpinan nasional.
Selain itu, juga adanya sinkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah serta antardaerah, perwujudan kedaulatan rakyat, ukuran capaian pembangunan nasional dan upaya-upaya percepatannya.
Menurut Deding, reformulasi sistem perencanaan model GBHN penting karena Presiden Joko Widodo memiliki misi untuk kelanjutan pembangunan.
“ Kita jelas kehilangan kompas dan pedoman. Padahal, kita membangun secara keseluruhan yang harus didukung oleh kebijakan selaras antara pusat dan daerah,” kata Deding.
Menurut Margarito, yang menjadi persoalan saat ini adalah UUD NRI 1945 tidak lagi memberikan kewenangan kepada MPR untuk menetapkan GBHN.
“Kesulitan untuk memberikan justifikasi konstitusional untuk membuat mirip dengan GBHN. Masalah utamanya di sini,” kata Margarito.
Dia mengatakan, ada perbedaan luar biasa antara pusat dan daerah, termasuk antara sesama daerah.
“Seharus definisi dibuat bersama. Masalahnya ada kesulitan melinierkan kebijakan antara pusat dan daerah. Karena presiden dari partai PDI Perjuangan, sementara kepala daerah dari partai lain. Kalau ada satu pedoman maka akan selaras,” kata Margarito.
Deding dan Margarito sepakat dilakukan revisi undang-undang yang merupakan prosedur paling sederhana untuk kondisi saat ini.
Mereka sama-sama menyatakan bahwa kesepakatan itu ada di tangan ketua partai-partai politik.
“Masyarakat masih menunggu pedoman yang akan diterapkan dalam sistem ketatanegaraan kita,” kata Margarito.
Menurut dia, hal itu merupakan kenyataan yang harus dihadapi sebagai jalan paling kecil untuk melembagakan mimpi Indonesia.
“Ini membutuhkan komitmen para pemimpin untuk tunduk dan taat pada pedoman ini, bila tidak semua akan berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Maruf Cahyono Ajak Mahasiswa Terapkan Nilai Pancasila
Redaktur : Tim Redaksi