MEXICO CITY - Para arkeolog telah menemukan kota suku Maya kuno yang tersembunyi selama berabad-abad di hutan hujan, sebelah timur Meksiko. Penemuan di cagar alam terpencil ini diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai peradaban yang musnah sekitar seribu tahun lalu itu.
Tim arkeolog yang dipimpin Ivan Sprajc, profesor madya di Akademi Sains dan Seni Slovenia, menemukan 15 piramida, termasuk salah satunya setinggi 23 meter, lapangan-lapangan bola, plasa dan cerobong batu berukir yang disebut "stelae". Para ilmuwan menamakan kota tersebut Chactun, yang berarti "Batu Merah" atau "Batu Besar."
Sprajc memerkirakan kota itu berpenduduk lebih sedikit dibandingkan kota kuno Maya, Tikal di Guatemala, dengan populasi sekitar 30 - 40 ribu orang. "Chactun sepertinya mengalami puncak kejayaan pada periode Klasik dalam peradaban Maya, antara 600 dan 900 Masehi," ujar Sprajc seperti dilansir CBCNews, Jumat (21/6).
Dari hasil penelitian yang didanai National Geographic Society serta dua perusahaan Eropa itu menunjukkan situs seluas 22 hektar dan terbentang sepanjang 120 kilometer ke arah barat Cheturnal itu, merupakan salah satu yang terbesar yang ditemukan di daratan rendah Yukatan. Daerah permukiman terdekat dengan lokasi situs itu adalah kota kecil Xpujil, yang berjarak sekitar 25 kilometer. "Seluruh situs ini tertutup hutan," ujarnya.
Meski situs ini tidak dikenal komunitas akademik, Sprajc menemukan bukti banyak orang yang telah berkunjung ke situs tersebut
sekitar 20 sampai 30 tahun lalu. Tapi, sejak itu pula tidak ada lagi.
"Penebang kayu dan penyadap karet jelas pernah ke sana, karena kami melihat potongan-potongan pada pohon. Namun mereka tidak pernah memberitahu siapapun," sambungnya.
Saat mengkaji foto-foto dari udara yang diambil oleh Komisi Nasional untuk Ilmu Pengetahuan dan Penggunaan Keberagaman Hayati 15 tahun lalu untuk mengawasi cagar alam tersebut, Sprajc dan timnya melihat indikasi reruntuhan dan menandai koordinatnya. Mereka kemudian menghabiskan waktu tiga minggu membuka jalan sejauh 16 kilometer di dalam hutan untuk mencapai situs tersebut.
Setelah memetakan situs tersebut selama enam minggu dan mendokumentasikan monumen-monumen yang ada, mereka memblokir jalan setapak tersebut sebelum meninggalkan situs itu untuk mencegah akses masuk. "Keberadaan lapangan bola permainan merupakan indikasi bahwa Chactun merupakan kota yang sangat penting," ujar Sprajc.
Kota itu sepertinya ditinggalkan sekitar tahun 1.000 Masehi, diduga akibat tekanan demografi, perubahan iklim, perang dan pemberontakan. Sprajc berharap penemuan tersebut dapat memberikan pencerahan baru mengenai hubungan antara beberapa wilayah yang berbeda pada imperium Maya selama periode tersebut.
Peradaban Maya merupakan salah satu yang paling maju di Benua Amerika sebelum periode Columbus, dan menguasai wilayah luas dari Yukatan, Belize, Guatemala dan Honduras pada puncak kejayaannya. (esy/jpnn)
Tim arkeolog yang dipimpin Ivan Sprajc, profesor madya di Akademi Sains dan Seni Slovenia, menemukan 15 piramida, termasuk salah satunya setinggi 23 meter, lapangan-lapangan bola, plasa dan cerobong batu berukir yang disebut "stelae". Para ilmuwan menamakan kota tersebut Chactun, yang berarti "Batu Merah" atau "Batu Besar."
Sprajc memerkirakan kota itu berpenduduk lebih sedikit dibandingkan kota kuno Maya, Tikal di Guatemala, dengan populasi sekitar 30 - 40 ribu orang. "Chactun sepertinya mengalami puncak kejayaan pada periode Klasik dalam peradaban Maya, antara 600 dan 900 Masehi," ujar Sprajc seperti dilansir CBCNews, Jumat (21/6).
Dari hasil penelitian yang didanai National Geographic Society serta dua perusahaan Eropa itu menunjukkan situs seluas 22 hektar dan terbentang sepanjang 120 kilometer ke arah barat Cheturnal itu, merupakan salah satu yang terbesar yang ditemukan di daratan rendah Yukatan. Daerah permukiman terdekat dengan lokasi situs itu adalah kota kecil Xpujil, yang berjarak sekitar 25 kilometer. "Seluruh situs ini tertutup hutan," ujarnya.
Meski situs ini tidak dikenal komunitas akademik, Sprajc menemukan bukti banyak orang yang telah berkunjung ke situs tersebut
sekitar 20 sampai 30 tahun lalu. Tapi, sejak itu pula tidak ada lagi.
"Penebang kayu dan penyadap karet jelas pernah ke sana, karena kami melihat potongan-potongan pada pohon. Namun mereka tidak pernah memberitahu siapapun," sambungnya.
Saat mengkaji foto-foto dari udara yang diambil oleh Komisi Nasional untuk Ilmu Pengetahuan dan Penggunaan Keberagaman Hayati 15 tahun lalu untuk mengawasi cagar alam tersebut, Sprajc dan timnya melihat indikasi reruntuhan dan menandai koordinatnya. Mereka kemudian menghabiskan waktu tiga minggu membuka jalan sejauh 16 kilometer di dalam hutan untuk mencapai situs tersebut.
Setelah memetakan situs tersebut selama enam minggu dan mendokumentasikan monumen-monumen yang ada, mereka memblokir jalan setapak tersebut sebelum meninggalkan situs itu untuk mencegah akses masuk. "Keberadaan lapangan bola permainan merupakan indikasi bahwa Chactun merupakan kota yang sangat penting," ujar Sprajc.
Kota itu sepertinya ditinggalkan sekitar tahun 1.000 Masehi, diduga akibat tekanan demografi, perubahan iklim, perang dan pemberontakan. Sprajc berharap penemuan tersebut dapat memberikan pencerahan baru mengenai hubungan antara beberapa wilayah yang berbeda pada imperium Maya selama periode tersebut.
Peradaban Maya merupakan salah satu yang paling maju di Benua Amerika sebelum periode Columbus, dan menguasai wilayah luas dari Yukatan, Belize, Guatemala dan Honduras pada puncak kejayaannya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Astronot Wanita China Beri Kuliah Dari Luar Angkasa
Redaktur : Tim Redaksi