Skema 5+3 SBY di Berlin

Rabu, 06 Maret 2013 – 00:41 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Republik Federal Jerman Joachim Gauck di Istana Presiden Schloss Bellevue, Berlin. Foto: presidenri.go.id
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melakukan lawatan kenegaraan ke Jerman, 4-5 Maret. Lantas apa arti penting lawatan itu? Asisten Staf Khusus Kepresidenan, Zaenal A Budiyono yang menjadi anggota delegasi kunjungan kenegaraan ke Republik Federal Jerman menuliskannya untuk JPNN.

= = = = = = = = = =

SALJU sudah tidak terlihat di jalan-jalan Kota Berlin, Jerman, saat Presiden SBY dan delegasi Indonesia menjalankan misi diplomasi, 4 – 5 Maret 2013. Namun begitu, suhu di ibu kota Kerajaan Prusia itu masih menusuk tulang. Temperatur diperkirakan 2-5 derajat celcius.

Di tengah kebekuan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengusung sejumlah target yang harus digolkan dalam state visit kali ini. Ada setidaknya lima plus tiga -meminjam istilah SBY- kepentingan Indonesia terhadap Jerman. Skema ini merujuk pada prioritas bidang bagi Indonesia dalam misi kali ini.

Pertama, peningkatan kerjasama pendidikan. Semua tahu Jerman adalah salah satu negara dengan standar pendidikan tertinggi di dunia. Presiden BJ Habibie, yang disebut sebagai orang jenius Indonesia, juga menggali ilmu di negeri ini. Dengan makin hangatnya hubungan Jakarta – Berlin, diharapkan makin banyak anak-anak Indonesia belajar ke Jerman. Mereka inilah yang diharapkan menjadi agent of change, utamanya dalam penguasaan teknologi.

Kedua, peningkatan kerjasama ekonomi. Jerman saat ini adalah negara dengan kekuatan keempat terbesar dunia, dan nomor wahid di Eropa. Kala kawasan ini dan Amerika Serikat (AS) diterpa guncangan krisis ekonomi 2008- 2011, Jerman relatif aman dari segala potensi kebangkrutan. Ditopang industri manufaktur dan high tech industries (otomotif, elektronik dan alat berat), Jerman mampu melesat jauh mengalahkan Inggris, Prancis dan Belanda yang sebelumnya banyak mewarnai ekonomi benua biru tersebut.

Sementara Indonesia, saat ini tercatat sebagai negara dengan PDB terbesar ke-15 di dunia dengan volume ekonomi mencapai USD 1 Triliun. Sementara Jerman memiliki daya topang PDB hingga mencapai US $ 3,36 Triliun. Fakta ini  tentu saja sangat potensial untuk dimaksimalkan oleh Indonesia. Apalagi masih terbuka celah masuknya produk-produk ekspor Indonesia ke pasar Jerman maupun Eropa.

Ketiga, peningkatan kerjasama riset dan teknologi untuk mendukung perkembangan ekonomi nasional. Jerman dengan pengalamannya yang panjang dalam riset bisa menjadi partner strategis untuk melahirkan lebih banyak lagi peneliti-peneliti hebat di masa depan. Dengan anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN, Presiden SBY yakin riset akan berkembang pesat di masa mendatang. Untuk memperkuat lobi bidang ini, Presiden mengundang Ilham Habibie sebagai delegasi khusus.

Keempat, penguatan hubungan bidang kesehatan. Untuk urusan teknologi persenjataan, Jerman memang salah satu kampiunnya.

Kelima, kerjasama industri pertahanan. Beberapa waktu lalu Indonesia mendatangkan ratusan tank Leopard dari Jerman untuk memperkuat kapasitas pertahanan kita. Awalnya Jerman agak ragu dengan track record masa lalu Indonesia -khususnya di era Orde Baru- yang akrab dengan pelanggaran HAM. Namun dengan kepemimpinan Presiden SBY, Jerman yakin Indonesia telah banyak berubah, termasuk dalam demokrasi dan penghargaan HAM.

Di sisi lain, Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini tengah giat merevitalisasi industri pertahanan. Kinerja BUMN strategis seperti PT Dirgantara Indonesia (PTDI), Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) dan PT PAL pun didgenjot. Ketiganya selama ini terbukti tidak hanya mampu bertahan, melainkan telah menunjukkan kemampuannya dalam rekayasa teknologi dan menghasilkan produk-produk alutsista yang bisa diandalkan. Pindad misalnya, sukses memproduksi Senapan Serbu SS-2 yang beberapa kali mampu memenangi kompetisi regional.

PTDI juga tak mau ketinggalan untuk bangkit. Akhir 2012 lalu, BUMN ini menandatangani kontrak kerjasama produksi Pesawat NC 212 bersama Airbus Military. Rencananya seluruh pengerjaan pesawat dilakukan di markas PTDI, di Bandung.

Kerjasama ini penting karena PTDI yang telah memiliki lisensi European Aviation Safety Agency (EASA), membutuhkan partner global agar NC 212 bisa dipasarkan ke seluruh dunia. Di luar kelima agenda di atas, secara khusus juga akan dibahas tiga isu spesifik, menyangkut pangan, energi dan transportasi.

Karenanya agar misi diplomasi Indonesia di Jerman berjalan sesuai rencana, SBY menegaskan perlunya total and smart diplomacy. Maksudnya, segala celah yang memungkinkan dalam hubungan internasional harus dimanfaatkan. Selain itu juga lebih mengedepankan positive thinking dan tidak terjebak dalam jargon-jargon politik semata. Di atas semua itu ada yang namanya The Indonesian Way (TIW). Ini merupakan prinsip dasar yang melandasi politik bebas aktif kita.

Dalam ekonomi internasional, TIW yang dimaksudkan SBY adalah jalan Indonesia untuk mengelola ekonominya secara independen. Kita tahu, bagi sejumlah kalangan penganut ekonomi liberal fanatik, peran negara dalam ekonomi adalah sesuatu yang haram. Kelompok ini percaya mekanisme pasar akan menemukan keseimbangan harga dan pemerintah tidak perlu hadir. Itulah aliran kapitalisme absolut yang dipercaya banyak negara Barat.

Namun dogma di atas pelan-pelan kehilangan tajinya, terutama setelah Eropa dan AS terkena badai krisis beberapa tahun terakhir. Pasar terbukti sangat rentan terhadap guncangan, dan pasar tidak pernah punya pengendali utama yang bisa disalahkan bila ekonomi ambruk. Semua serba absurd seperti serangan capital outflow yang mendadak dan tidak terlihat, namun sangat mematikan efeknya bagi suatu negara. Indonesia sudah memiliki pengalaman itu kala krisis 1997 yang mengakhiri kejayaan ekonomi semu Orde Baru.

“Kita punya jalan sendiri, The Indonesian Way, yang walaupun tidak sama dengan ajaran guru-guru ekonomi di Barat, tetapi kita yakin Indonesia bisa selamat,” itulah kalimat kunci yang dikatakan Presiden menjelang pelepasan delegasi ke rangkaian pertemuan di Jerman.

Di sini TIW menggarisbawahi pentingnya peran negara dalam ekonomi, khususnya untuk mengontrol harga-harga komoditas primer yang banyak digunakan masyarakat. Selain itu negara hadir di ranah ekonomi untuk memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa yang terkadang merasa memiliki power di atas negara.

Pentingnya kunjungan Presiden SBY ke Jerman kali ini juga dapat dilihat dari padatnya rangkaian agenda pertemuan. Mulai dari upacara penyambutan di Kantor Presiden Republik Federal Jerman di Schloss Bellevue, pertemuan bilateral dengan Presiden Joachim Gauck, Business Luncheon, One-on-One meeting dengan sejumlah CEO terkemuka Jerman, hingga sejumlah kegiatan lainnya.

Dalam konteks politik bebas aktif, kerjasama dengan Jerman menunjukkan independensi Indonesia dalam geopolitik global. Indonesia  bukanlah negara yang berpatron dengan negara atau blok terntentu. Di saat menjalin kerjasama dengan Jerman sekarang ini, Indonesia juga menjaga hubungan dengan AS, meningkatkan kerjasama dengan Rusia, dan di kancah diplomatik lainnya mendukung Iran dalam pengembangan energi nuklir.

Kebebasan bersikap semacam ini merupakan barang mewah di masa lalu (Orde Baru) karena bandul diplomasi kala itu lebih condong ke kanan (AS dan Barat) dan mengambil jarak dengan Timur (Uni Soviet dan China). Di era sebelumnya, Orde Lama, kondisi terbalik, karena orientasi RI lebih condong ke Timur. Danke Deutschland! (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pangeran Arab akan Gugat Forbes

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler