Skenario Pelaku, Tebar Kebencian Antaretnis

Selasa, 03 Januari 2012 – 09:56 WIB

BANDA ACEH-Kekisruhan pesta demokrasi atau Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dikhawatirkan menjadi pemantik aksi kekerasan di Aceh. Sebanyak lima orang terbunuh dalam aksi kekerasan yang terjadi dalam dua hari terakhir ini, tepatnya pada 31 Desember 2011 dan 1 Januari 2012.

Hendra Fadli salah seorang Badan Pengurus Kontras Aceh, kemarin (2/1), di Banda Aceh menyatakan, kekerasan menjelang pergantian tahun ini, sangat mengkhawatirkan. Ini mengingat menjelang pelaksaaan Pemilukad di Aceh, pada 16 February 2012 mendatang.

“Jika Polisi gagal menangkap pelaku dan membongkar jejaring pelaku, kami mengkhawatirkan aksi kekerasan akan meluas dan berimplikasi serius terhadap Perdamaian Aceh,” urai Hendra Fadli dalam keterangan persnya yang juga disepakati bersama LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, dan Gerak Aceh.

Konon lagi, sambung dia, aksi kekerasan itu tidak semata-mata bercorak kriminal semata. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Karena insiden kekerasan yang terjadi dalam dua hari ini memiliki pola yang sama, terutama jika dilihat dari korban tindak kekerasan yang berasal dari etnis tertentu.

Menurutnya bisa diasumsikan, pelaku ingin menebar ketakutan secara khusus pada etnis tersebut sekaligus memicu bangkitnya kebencian antar etnis. Jika skenario ini berhasil diwujudkan oleh pelaku, maka tidak hanya Pilkada yang terganggu tapi perdamaian Aceh juga terancam. 

Situasi politik Aceh masih berada dalam perbedaan sikap dan pandangan terkait dengan pelaksanaan Pilkada Aceh. Sejauh ini, beber Hendra, proses Pilkada Aceh masih berlangsung ditengah penolakan oleh DPRA dan Partai Aceh sebagai Partai pemenang Pemilu.

Otomatis pemerintahan Aceh serta seluruh entitas sipil dan politik di Aceh mulai kehilangan konsentrasi bersama terhadap scenario pelanggengan perdamaian, karena semua kekuatan politik utama masih focus bergerak untuk kepentingan masing-masing. “Otomatis dalam situasi seperti ini, pelaku kekerasan bersenjata tentu akan semakin leluasa menjalankan misinya dan dikhawatirkan akan terus meluas,” jelasnya.

Kekerasan kian meluas, dan tersistemik ini, tidak semata-mata dapat dilawan dengan penegakan hukum. Kekerasan semacam itu, harus direspon secara konprehensif dalam kerangka resolusi konflik yang membutuhkan konsentrasi semua pihak, baik pemerintah (Pusat dan Daerah) maupun rakyat.

Selain itu, para pengambil kebijakan, dalam hal ini Pemerintah Pusat diharapkan dapat mencermati kondisi mutakhir Aceh secara mendalam dari semua sisi. Sehingga akan melahirkan langkah-langkah yang konstruktif bagi Pelanggengan perdamaian dan Demokrasi Aceh.

“Kami meyakini kisruh Pilkada merupakan salah satu faktor utama penyumbang atau pemantik aksi kekerasan bersenjata,” kata Hendra. 

Sayangnya sejauh ini Pemerintah pusat terkesan tidak memiliki kesamaan skenario untuk menuntaskan kisruh Pilkada Aceh. Hal ini terlihat jelas dari adanya perbedaan sikap dan tindakan antara Kemendagri dan Kemenko Polhukam.

Di satu sisi, Dirjen Otda terus mendorong kompromi dengan tawaran yang solutif untuk kenpentingan semua stakeholder politik, tapi di sisi lain Kemenko Pohukam melalui Deputinya justru mendorong agar Pilkada terus dilaksanakan tepat waktu ditengah masih adanya penolakan oleh DPRA. (den)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Hujan Dua Jam Berujung Longsor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler