Skizofrenia dan Urgensi Kepekaan Publik

Oleh: Anggia Ermarini, MKM

Jumat, 11 Oktober 2019 – 20:28 WIB
Anggia Ermarini, MKM. Foto: antaranews.com

jpnn.com, JAKARTA - Bagi para penikmat film, pastilah tahu kehadiran film berjudul Joker yang sedang marak ditayangkan di berbagai bioskop tanah air.

Ya. Film laga hidup yang sarat cerita psikologis dengan bumbu kekerasan berdarah yang kuat, perilaku mengganggu, serta bermuatan bahasa dan gambar seksual.

BACA JUGA: Wiranto Ditusuk di Pandeglang, AHY Beri Komentar Begini

Penulis tidak sedang mengkritisi cerita dan nuansa kekerasan dalam film tersebut, meskipun di Amerika Serikat sendiri banyak kalangan memprotes keras penayangan Joker. Bahkan sebagian bioskop tidak mendapatkan izin tayang karena alasan gangguan keamanan.

Sisi menarik Joker justru alur cerita tokoh utamanya yang sejak awal digambarkan penuh tekanan psikologis. Hidup dan karirnya penuh kegagalan, cemoohan, bahkan perlakuan kekerasan dari lingkungannya.

BACA JUGA: Ismawati Istigfar Berkali-kali Saat Mengetahui Syahrial Alamsyah Adalah Si Penusuk Wiranto

Dalam bahasa medis dan kesehatan jiwa, Joker mengalami apa yang disebut skizofrenia, yakni gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku.

Sebagian penderita skizofrenia juga mengalami gejala psikosis, yakni situasi saat penderitanya kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikirannya sendiri. Psikosis adalah salah satu gejala dari beberapa gangguan mental, yang di antaranya adalah skizofrenia. Dalam bahasa awam sering dicap sebagai “orang gila”.

BACA JUGA: Di Depan Jokowi, Prabowo Ungkap Alasan Dukung Pemindahan Ibu Kota

Menurut WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Penderitanya juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda.

Penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan, juga acap melekat pada diri penderita szikofrenia. Begitu rawan dan riskannya gangguan mental ini, jika tidak ada penanganan komprehensif, maka akibatnya bisa fatal seperti deskripsi film Joker.

Terkait film, hemat penulis, terlepas dari perdebatan di dalamnya, sebaiknya berfokus bukan pada kekerasan yang berpotensi menginspirasi penderita gangguan mental lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Namun, bahwa dampak skizofrenia dapat berakibat sefatal sebagaimana yang ada di film. Bahkan, dalam kehidupan nyata sangat mungkin ada penderita yang karena tidak tertangani secara baik, berefek lebih liar dan lebih kejam dari Joker.

Penanganan Skizofrenia
Diakui atau tidak, sebagian masyarakat kita boleh dibilang “tidak ramah” terhadap penderita skizofrenia. Bahkan di kampung-kampung, masih banyak yang meyakini cara terbaik menanganinya adalah dengan dipasung, dikurung dalam ruangan, atau dikucilkan.

Berbagai perlakuan demikian tentu melanggar HAM. Namun, sisi lain, agak susah menyalahkan masyarakat ketika alasannya dihadapkan pada penderita yang liar, merusak, bahkan berpotensi mengancam jiwa orang lain. Belum tentu kita sendiri ketika bertemu penderita demikian tidak merasa panik; daripada berisiko lebih fatal, lebih baik “mengamankan” penderitanya.

Karena itu, faktor pendidikan, kesadaran, kepekaan masyarakat, dan akses kesehatan jiwa terhadap penderita menjadi kunci utama menangani secara baik dan benar. Kita semua sebagai warga masyarakat seyogianya memahami penyakit ini sebaik mungkin; faktor-faktor yang melatarbelakanginya, penyebabnya, gejala, dan pengobatannya.

Pemahaman dan pengetahuan yang baik akan membuat kita mampu membuat keputusan tentang bagaimana cara terbaik untuk mengatasi gejalanya, memotivasi pasien untuk memulihkan dirinya (self-help), menangani kemunduran, serta bekerjasama menuju pemulihan.

Agar mampu memberikan dukungan dan perawatan yang lebih baik, bantuan dari pihak luar tentu sangat diharapkan. Karena itu, sebagai bagian dari warga, jangan segan-segan berkonsultasi dengan komunitas skizofrenia atau orang lain yang memahami benar tentang penyakit ini, maupuun dari lembaga bantuan lokal lainnya yang memungkinkan lingkungan masyarakat dapat banyak membantu mengangkat rasa stress, frustasi, serta ketakutan penderita.

Puskesmas, Masyarakat, dan Keluarga
Lembaga kesehatan yang paling merepresentasikan kehadiran negara adalah pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) yang ada di tingkat desa/kelurahan dan kecamatan. Dalam kasus skizofrenia, sebagai unit kesehatan paling dekat dengan masyarakat, puskesmas harus mampu dijangkau, bahkan merangkul langsung warganya yang sedang menderita.

Dokter, bidan, dan pelayan kesehatan lainnya, jika diperlukan, harus jemput bola ke rumah-rumah warga, serta mendeteksi potensi penderita skizofrenia yang mungkin saja menimbulkan gangguan di tengah-tengah masyarakat. Pelayanan model demikianlah yang sejatinya menjadi ukuran nyata kehadiran negara di tengah-tengah rakyatnya.

Selain itu, kepekaan masyarakat dalam ikut memulihkan penderita menjadi faktor yang jauh lebih penting dibanding kehadiran tenaga medis puskesmas. Dokter dan bidan memiliki keterbatasan tenaga dan waktu dibanding tetangga dan masyarakat sekitar kita. Kepekaan ini tentu saja butuh diasah, dilatih, dan dimunculkan di tengah-tengah masyarakat kita, lebih-lebih di wilayah masyarakat yang individualistis, pragmatis, dan hedonis.

Ingatlah bahwa lingkungan masyarakat kita layaknya satu tubuh. Jika ada yang sakit, efeknya akan mengganggu dan dirasakan oleh kelompok warga lainnya. Kesadaran ini perlu terus-menerus dipupuk intensif melalui aneka macam aktivitas sosial-kemasyarakatan maupun keagamaan.

Paling penting lagi adalah faktor keterlibatan, perhatian, dan kasih sayang keluarga penderita. Ini mutlak menjadi syarat utama cepat pulihnya penderita skizofrenia. Jika keluarga mendukung dan tidak kenal lelah memberikan atensi tenaga, fisik, moral, spiritual, dan kekuatan mental, maka proses pemulihan akan berlangsung lebih cepat. Sebab, tidak jarang keluarga penderita yang malah mengucilkan, merasa malu, tertekan, tidak mengakui, bahkan melakukan pembiaran. Ini tidak boleh terjadi.

Skizofrenia bisa dialami siapa saja, apalagi di tengah-tengah tingginya tingkat stress kehidupan masyarakat akibat kesulitan dan himpitan beragam faktor; ekonomi, politik, hukum, sosial, dan seterusnya. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa mulai memperkuat dan merekatkan kembali kohesi sosial sebagai bangsa yang beradab, bermoral, saling tolong menolong, gotong-royong, tepo-seliro, tenggang rasa, bahu-membahu, dan hidup rukun saling menghormati dan membantu. Itulah jati diri kita sebagai bangsa majemuk yang kaya akan keluhuran perilaku dan budi pekerti.

Sebagai bagian dari ikatan keluarga besar bernama bangsa Indonesia, jangan merasa sudah aman karena saat ini semua anggota keluarga kita sehat-sehat saja dan jauh dari penyakit. Kita hidup di lingkungan besar yang penuh dinamika, gesekan sosial, dan keruwetan yang memungkinkan siapapun terpapar gangguan mental seperti penderita skizofrenia. Lingkungan yang acuh, individualistik, oportunistik, dan tidak ramah sejatinya adalah bencana bagi kemunculan potensi penderita skizofrenia.

BACA JUGA: Remaja 16 Tahun Akhirnya Berani Ungkap Pria yang Menghamilinya Dua Kali, Oh Ternyata...

Mari bersama-sama sadar dan peduli terhadap nasib penderita skizofrenia, dampingi mereka dan pastikan di jalur pemulihan yang benar sekalipun sudah keluar dari rawat inap, jangan mengiyakan imajinasi pasien skizofrenia, dan bantulah mereka hidup mandiri.
Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.***

Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU, Anggota DPR RI FPKB 2019-2024


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler