SKL BLBI Harus Dihormati

Senin, 29 Desember 2014 – 14:29 WIB
SKL BLBI Harus Dihormati

jpnn.com - JAKARTA - Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pemeriksaan kembali terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) beberapa obligor BLBI patut dipertanyakan. Langkah tersebut dinilai bisa memberikan ketidakpastian hukum di Indonesia.  

Menurut Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Ahmad Deni Daruri, SKL merupakan keputusan lembaga negara yang harus dihormati semua pihak. Aneh apabila SKL yang merupakan keputusan negara dicoba dianulir terus-menerus.

BACA JUGA: AirAsia QZ8501 Tetap Terbang ke Singapura

Deni mengaku,  telah mengikuti perjalanan pengucuran BLBI dan penyelesaiannya melalui Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan Akta Pengakuan Utang (APU) hingga dikeluarkannya SKL.

"Kita harus tahu bahwa sebagai auditor negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah memeriksa semua proses penyelesaian BLBI hingga dikeluarkannya SKL. BPK secara resmi sudah mengeluarkan Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam rangka pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional, No 34G/XII/11/2006 Tanggal 30 November 2006, setebal 212 halaman," kata Deni dalam keterangan persnya, Senin (29/12).

BACA JUGA: Tambah Kenaikan Hingga Tutup Tahun

Menurut Deni, hasil pemeriksaan BPK itu menyatakan dengan tegas bahwa SKL layak  diberikan kepada para pemegang saham di antaranya Sjamsul Nursalim, Salim Group, Ibrahim Risjad, M Hasan, Sudwikatmono, karena mereka telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Produk lembaga negara tersebut, kata Deni sudah sesuai konsitusi dan sudah diserahkan BPK kepada DPR sebagai laporan pemeriksaan keuangan negara.

BACA JUGA: Target Investasi Industri Rp 270 Triliun

Apabila sekarang ada pihak yang menilai ada penyimpangan atas dikeluarkannya SKL, menurut Deni, sebaiknya membaca laporan BPK yang final dan mengikat.

"Saya mendukung sepenuhnya upaya pemberantasan korupsi. Namun, itu harus dilakukan dengan benar dan tidak menabrak aturan yang ada. Kalau ada pihak yang begitu saja menafikan hasil pekerjaan BPK dan DPR, maka kita sebenarnya bukan sedang memberantas korupsi, tetapi sedang merusak tatanan kehidupan bernegara," ujar Deni.

Agar tidak terjadi salah kaprah dalam penegakan hukum, Deni mengajak semua pihak untuk mengetahui secara benar duduk perkara persoalan BLBI yang bermula dari krisis keuangan 1997. Krisis dahsyat yang baru pertama kali terjadi di Indonesia itu membuat pemerintah berada dalam kesulitan.

Dimana pemerintah mengalami depresiasi rupiah hingga mencapai lebih dari 700 persen dan membuat para pengusaha tiba-tiba terbebani oleh utang yang membengkak sampai 7 kali lipat lebih.

Hal itu demi menyelamatkan sistem pembayaran nasional, atas dorongan IMF pemerintah menyuntikan dana BLBI kepada perbankan nasional untuk memperbaiki kondisi perekonomian yang sempat mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, minus 14 persen.

Para pemegang saham yang banknya menerima BLBI, pemerintah memutuskan untuk menyelesaikan kewajibannya melalui penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).  Pilihan ini ditempuh pemerintah karena secara yuridis posisi negara lemah. Berdasarkan Undang-undang Perseroan Terbatas, tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas pada modal yang disetorkan.

Tanggung jawab pemegang saham itu pun harus dibuktikan melalui pengadilan yang prosesnya memakan waktu yang lama. Terlebih lagi terjadinya hal ini disebabkan oleh krisis yang merupakan force majour, tidak ada pihak yang dapat disalahkan.

"Dari sini terlihat bahwa out of court settlement bukan dimintakan oleh para pemegang saham, tetapi ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, kemudian pemerintah meminta para pemegang saham untuk menyerahkan aset agar bisa memaksimalkan pengembalian uang negara," kata Deni.   

Ketika menilai aset, para pemegang saham tidak memiliki hak untuk menentukan perusahaan penilai. Pemerintah yang menetapkan perusahaan penilai yang berasal dari dalam dan luar negeri.

"Bahkan ketika itu bukan hanya aset yang diminta, tetapi diharuskan juga memberikan uang tunai" tambah Deni.

Ketika MSAA disepakati oleh pemerintah dan pemegang saham, pemerintah kemudian memberikan "Release and Discharge" kepada pemegang saham.  Dengan surat tersebut pemerintah menjamin dan membebaskan para pemegang saham dari tuntutan hukum apapun di kemudian hari berkaitan dengan penyelesaian BLBI.

Untuk memperkuat komitmen pemerintah, negara mengeluarkan lagi Ketetapan MPR No.8/2000, Undang-undang Propernas No. 25/2000, dan Ketetapan MPR No. 10/2001 yang intinya menugaskan kepada Presiden untuk konsisten menjalankan PKPS dalam penyelesaian MSAA, MRNIA, dan APU.

Karena itu, Presiden kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002.Keputusan ini pun sempat dipersoalkan, sehingga pemerintah menunjuk kembali auditor Diantaranya Ernst&Young (EY) untuk menilai kembali aset-aset PS BDNI

"Kesimpulan penilaian EY terhadap aset yang diserahkan oleh pemegang saham BDNI ialah terdapat kelebihan nilai aset yang diserahkan" kata Deni.

Dalam rangka penutupan BPPN, proses ini kemudian dinilai kembali oleh BPK Tahun 2006. Hasil pemeriksaan BPK No. 34G/XII/11/2006 Halaman 63 menyatakan “SKL tersebut layak diberikan kepada PS BDNI karena PS telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Instruksi Presiden No.8/2002”.

"Dari semua rekonstruksi itu terlihat bahwa SKL bukan dimintakan oleh pemegang saham. SKL diberikan oleh negara agar tercipta kepastian hukum. Karena itu aneh kalau sekarang coba dimunculkan langkah yang justru menciptakan ketidakpastian hukum yang baru," tegas Deni. (rmo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cadangan Devisa RI Terendah di Asia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler