Soal Ambulans DKI, Pakar: Akun Polda Bisa Termasuk Penyebar Hoaks

Kamis, 26 September 2019 – 22:47 WIB
Ambulans. Ilustrasi Foto: pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Spesialis keamanan siber Pratama Persadha menilai viralnya video ambulans DKI Jakarta dan PMI yang awalnya diduga membawa batu oleh akun sosial media milik TMC Polda Metro Jaya, bisa termasuk penyebaran hoaks.

"Itu akun Polda (bisa) termasuk penyebar hoaks sebenarnya," kata Pratama seperti dikutip dari Antara, Kamis (26/9).

BACA JUGA: Klarifikasi Polda Metro Jaya soal Ambulans Pemprov DKI Dituduh Suplai Batu

Menurut Pratama, pada prinsipnya semua pihak bisa menjadi penyebar atau memproduksi hoaks, baik sengaja maupun tidak disengaja. Kalau pun disengaja, lanjut dia, bisa terjadi karena ada penyediaan informasi yang kurang baik sehingga terjadi kesalahan informasi.

Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC itu menilai postingan tuduhan ambulans DKI mengangkut batu sebagai tuduhan serius. "Seharusnya akun aparat kepolisian tidak bertindak layaknya 'buzzer' politik," katanya.

BACA JUGA: Immawan Randi Tewas, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Serukan Aksi Nasional

Ia mengatakan seharusnya akun aparat kepolisian ikut menjadi akun media sosial yang mencerahkan, mengklarifikasi, bukan malah ikut memanaskan suasana. Yang jadi pertanyaannya, lanjut dia, apakah sang admin ada di lokasi? Dari mana konten ambulans ditangkap itu didapat. "Itu yang perlu ditelusuri," katanya.

Menurut dia, sebelum akun TMC memposting sudah ada akun buzzer yang posting. Apabila akun resmi tersebut mengambil konten dari akun buzzer, hal tersebut sangat berbahaya.

BACA JUGA: Keras, Ungkapan Kekecewaan JK Ambulans PMI Dituduh Bawa Batu Bagi Pedemo

Dengan adanya kejadian ini, Pratama menyarankan seharusnya ada mekanisme konten yang di-posting harus melewati jalur yang jelas. Kalaupun informasi itu didapat dari sesama aparat kepolisian, bisa ditelusuri. Karena, lanjut dia, dalam salah satu adegan dalam videonya ada tuduhan membawa batu.

"Kami menyayangkan dan berharap ini tidak terjadi lagi. Sangat berbahaya," kata Pratama.

Terkait permintaan maaf Polda Metro Jaya atas kekeliruan unggahan tersebut, Pratama mengatakan permintaan maaf perlu dan sudah dilakukan lewat media dan sangat perlu permintaan maaf langsung lewat media sosial serta menjelaskan kronologi kenapa hal itu terjadi. "Karena masyarakat harus dipuaskan rasa ingin tahunya," ujarnya.

Kejadian ini lanjut Pratama, menjadi pelajaran berharga bagi setiap admin akun media sosial. Selain mengamankan akunnya masing-masing, para admin harus bisa memilah konten mana yang layak dinaikkan.

"Situasi kemarin memang panas, tetapi admin sosmed mempunyai kewajiban mendinginkan suasan dengan beberapa cara," ujarnya.

Ia mencontohkan akun Instagram Kemendikbud. Para tim sosmednya mengambil gambar para demonstran dan mengoreksi setiap ejaan yang salah. Dan netizen sangat menghargai itu. "Masih banyak akun dan buzzer yang menyebarluaskan konten ambulans ini meski sudah diklarifikasi pihak Polda Metro Jaya. Padahal menyebarkan hoaks termasuk tindak pidana," katanya.

Dia menyebutkan, istilah 'hoax' atau hoaks tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun, ada beberapa peraturan yang mengatur mengenai berita hoaks atau berita bohong tersebut yakni Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No 19/2016).

Undang-undang mengatur mengenai penyebaran berita bohong di media elektronik (termasuk sosial media).

"Undang-undang itu menyatakan setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik," kata Pratama.

Ia melanjutkan, jika melanggar ketentuan Pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 yaitu:

Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. (antara/jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler