Soal Batasan Produksi Rokok, Najib: Jangan Sampai Ada Celah untuk Diakali

Rabu, 18 September 2019 – 07:54 WIB
Rokok ilegal yang diamankan Bea Cukai Kudus. Foto: Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Ahmad Najib ikut menanggapi wacana penggabungan Sikaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi 3 miliar batang yang saat ini masih dikaji oleh pemerintah.

Ahmad Najib mengingatkan bahwa menilai kebijakan yang tepat haruslah memiliki asas keadilan.

BACA JUGA: Jangan Sampai 28 Ribu Pekerja Pabrik Rokok Terkena PHK Massal

Penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah. Dengan demikian potensi kehilangan pendapatan negara dari cukai dapat diminimalisir.

“Prinsip dalam sebuah kebijakan itu salah satunya menganut asas keadilan, jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” terang Ahmad Najib, Selasa (17/9).

Aturan mengenai penggabungan batasan produksi SKM dan SPM ini sejatinya telah diterapkan pada PMK 146 Tahun 2017 kemudian direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018. Sayangnya, di aturan yang baru poin penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dihapuskan.

BACA JUGA: Pabrik Besar Bayar Cukai Rokok Murah, Negara Kehilangan Pendapatan Rp 926 M

Hal ini yang kemudian menjadi kegaduhan di industri rokok. Padahal melalui aturan tersebut sudah mencerminkan azas keadilan dimana pabrikan besar tidak akan berhadapan dengan pabrikan kecil.

“Batasan volume produksi dijadikan acuan besaran cukai sangat mudah untuk diakali, salah satunya dengan sengaja untuk tidak mencapai batasan volume tadi, sehingga bea yang diterapkan akan rendah,” jelas Ahmad.

Ahmad menegaskan kepada pemerintah untuk tidak menerapkan sebuah kebijakan yang dengan mudah di siasati sehingga tujuan dan target dari kebijakan yang akan diterapkan tidak akan pernah tercapai.

Sebelumnya, hasil penelitian INDEF menyatakan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM atau SPM tiga miliar batang. Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1).

Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, dan demikian sebaliknya. “Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara,” tegas Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad.

Data INDEF bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.

"Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," terang Tauhid.

Hal serupa juga terjadi pada SKM. "Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya Rp 715 miliar per tahun. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” tegas Tauhid.

Padahal, sesuai Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sebuah perusahaan masuk kategori besar jika penjualan mereka melampaui Rp 50 miliar per tahun. (esy/jpnn)

 


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler