jpnn.com, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko menilai China memberikan kebebasan warganya untuk memeluk agama apa pun sebagai sebuah ritual ibadah, asalkan tidak masuk dalam pengambilan kebijakan politik.
Terkait dengan persoalan etnis Muslim Uighur di Xinjiang, mantan aktivis 98 ini menyebut, Muslim di China tidak hanya Uighur, ada Suku Hui yang juga mayoritas Muslim.
BACA JUGA: China Usut 10.708 Kasus Pelanggaran HAM terhadap Muslim Uighur, Hasilnya Mengejutkan
Pria 51 tahun ini menilai tidak adanya tindakan apa pun dari Pemerintah China terhadap Suku Hui, karena memang tidak ada gerakan memisahkan diri dari China.
“Sementara Etnis Uighur berusaha memisahkan diri dari China dengan mendirikan Republik Turkistan Timur. Saya melihatnya ini lebih sebagai gerakan sparatisme dan saya kira tindakan Pemerintah China sudah tepat,” ujar Budiman.
BACA JUGA: Unggah Video Babi Menyusu Pada Anjing, Maia Estianty: Kalau di Indonesia Sudah Dibunuh
Menurut Budiman, Indonesia juga mengalami kasus serupa yang mirip dengan masalah Pemerintah China dengan Uighur.
"Misalnya kasus di Aceh dan saat ini dengan kasus sparatisme di Papua," sebutnya.
BACA JUGA: Menko Luhut Puji Kinerja Erick Thohir
Terpisah, Ken Setiawan Pendiri NII Crisis Center menilai langkah Pemerintah China terhadap permasalahan di Uighur adalah untuk memberikan efek jera.
“Meskipun dianggap oleh dunia internasional sebagai pelanggaran HAM, namun langkah Pemerintah China justru ingin menyelamatkan masyarakat yang lebih banyak,” tutur Ken Setiawan.
Ken mengungkapkan di China ada kelompok GICT (Groupe Islamiste Combattant Tunisien) merupakan partai Islam di Turkistan dan berafiliasi dengan kelompok-kelompok internasional.
Menurut Ken, Pemerintah China sedang berusaha menciptakan rasa aman untuk warganya dengan hukum yang berlaku.
Meski terkadang tindakannya dituding melanggar HAM, namun langkah tersebut untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar.
“Tindakan terorisme bukan hanya menghancurkan fisik, tapi juga menghancurkan mental, dan yang jelas negara tidak aman,” ucap Ken.
Sebelumnya, terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang dituduhkan Barat, aparat penegak hokum Daerah Otonomi Xinjiang telah memeriksa 10.708 kasus, hasilnya tak satupun tuduhan Barat tersebut terbukti.
Setelah melalui proses identifikasi dan pengecekan, lanjut dia, ternyata data tentang pelanggaran HAM tersebut tidak benar.
“Database ‘korban’ Xinjiang tersebut merupakan taktik lain untuk mencoreng China,” kata juru bicara Pemerintah Daerah Otonomi Xinjiang, Xu Guixiang, di Beijing, Jumat (Jumat (9/4).(chi/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penuhi Kebutuhan Teknologi Smart Hospital, Schneider Electric Kembangkan Platform Digital
Redaktur & Reporter : Yessy